"Tahan dulu. Jangan ada yang membalas. Panah api biru bukan dari pasukan kita".
"Kita tak bisa diam saja. Balas serangan. Habisi mereka"
"Serang. Habisi pemberontak itu". Suara prajurit berteriak begitu gaduh di barisan depan. Suara dan teriakan saling bersahutan.
Maka tanpa perlu komando lagi, kedua pasukan di barisan depan saling menyerang. Pertempuran pecah seketika dan tak bisa dihindari.
Ki Ageng Wanabaya dan pasukannya akhirnya menyerang Baruklinting dan pengikutnya dengan kekuatan penuh. Pasukan panah di barisan belakang mengawali serangan. Segera saja hujan puluhan anak panah tampak melesat ke angkasa dan mengarah ke barisan terdepan pasukan Baruklinting.Â
Disusul gelombang pasukan tombak dan pasukan parang di barisan depan merangsek maju.
Barisan pasukan Baruklinting bergerak maju sambil menepis puluhan anak panah yang mengarah ke tubuh mereka. Beberapa prajurit tumbang tersambar oleh anak panah yang menancap ke dada mereka. Namun barisan laskar di bagian depan bagai gelombang menerabas ke kerumunan pasukan tombak dan parang musuh tanpa rasa takut.Â
Keterampilan tempur laskar hasil gemblengan Ki Mijil dan Ki Gringsing di Kulonprogo dan Menoreh itu benar-benar nggegirisi. Sebagian pasukan tombak dan parang Ki Ageng Wanabaya tumbang terkena kelewang, keris dan pedang dari laskar prajurit Baruklinting yang bergerak bagai banteng ketaton itu.Â
Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Pertempuran belum usai.
Namun karena jumlah yang tak seimbang, pengikut Baruklinting berhasil dipukul mundur. Kekuatan pasukan Baruklinting melemah, sebagian telah menyerah kalah. Sebab gelombang serangan pasukan Ki Ageng Wanabaya mengalir tak pernah ada hentinya. Seolah seperti gugur satu selalu tumbuh seribu. Begitu seterusnya, membuat pasukan Baruklinting kewalahan.
Dan akhirnya Baruklinting dan beberapa pengawal pribadinya, antara lain Ki Suta dan Ki Nala terdesak mundur. Mereka dikejar terus oleh pasukan Ki Ageng Wanabaya hingga ke pinggir pantai Laut Selatan.