"Kami mau menjemput Ki Ageng. Kami mau serahkan..."
Belum usai kata-kata itu diucapkan oleh Ki Gringsing, mendadak dua orang utusan yang sedang berdiplomasi itu terkejut oleh berkelebatnya beberapa anak panah di sekitar mereka.Â
Hampir saja Ki Gringsing terkena sabetan anak panah yang berkelebat cepat ke arahnya. Beruntung dia mampu menghindari serangan itu.
Maka upaya diplomasi mereka itu buntu. Kedua orang itu kembali ke barisan pasukan masing-masing. Keadaan menjadi kian memanas. Semua orang berteriak, saling memprovokasi.Â
Beberapa panah berapi warna biru melesat ke arah barisan pasukan Ki Ageng Wanabaya. Dan saat itu juga dari arah sebaliknya beberapa panah lain yang berwarna api biru membalas serangan itu, ke arah barisan pasukan Baruklinting.
Tak ada yang tahu siapa yang telah melepaskan anak panah itu, karena situasi barisan depan pasukan telah menjadi gaduh. Tetapi peristiwa itu tak lepas dari pengamatan Ki Pamungkas yang bersembunyi tak jauh dari Palbapang.Â
Dia tahu bahwa kelebatan anak panah api biru itu berasal dari anak buahnya yang berhasil menyusup baik di kubu pasukan Ki Ageng Wanabaya maupun di barisan pasukan Baruklinting. Telik sandi Mataram itu benar-benar telah memprovokasi kedua belah pihak dan mengadudomba di antara mereka.
"Siapa yang memanah. Siapa memanah?"
"Tahan serangan. Jangan ada yang membalas serangan"
"Kita tak menyerang. Bukan kita. Tetapi mereka telah menyerang lebih dulu."
"Ada yang terluka. Panah api biru mengenai beberapa prajurit".