Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting-Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #25)

21 Mei 2023   09:43 Diperbarui: 21 Mei 2023   19:10 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angin berubah arah #25, designed by wibhyanto/dokumen pribadi

Maka di saat waktu yang telah ditentukan, Ki Ageng Wanabaya akhirnya bersama seluruh kekuatan pasukannya itu bergerak meninggalkan Gunungnkidul, mengelurug ke Kotapraja. Dia memimpin sendiri pasukannya untuk merebut kembali Kotapraja dari tangan Baruklinting dan para pemberontak lainnya.

Alun-alun Kotapraja

Di tempat lain, Baruklinting dan semua wadyabala pengikutnya tengah menggelar barisan pasukan di alun-alun Kotapraja. Baruklinting telah memutuskan dan telah bersiap-siap untuk berangkat menjemput Ki Ageng Wanabaya dan para Sentana Mangir yang berada di tempat pengungsian mereka di Gunungkidul. Gelar pasukan itu adalah prosesi penyambutan dan penjemputan Ki Ageng Wanabaya agar pulang kembali ke Ndalem Wanabayan dan memimpin kembali Mangir.

Semua wadyabala Baruklinting itu berbaris rapih, terdiri dalam tiga satuan prajurit, yaitu satuan pedang dan keris, satuan tombak dan tameng, dan satuan umbul-umbul. Tak ada satuan pemanah berkuda di antara mereka. Jumlah mereka sekitar seratus orang. Ki Suta dan Ki nala bersama beberapa perwira lainnya, termasuk Ki Mijil dan Ki Gringsing dari Menoreh ada dalam barisan depan laskar itu. Baruklinting di atas punggung kuda, memimpin langsung dan berada di barisan terdepan. 

Dia diapit oleh Ki Suta dan Ki Nala yang juga berkuda, bergerak beriringan. Barisan pasukan Baruklinting itu dari kejauhan tampak seperti barisan suatu pawai yang meriah. Sebab ternyata di antara pasukan itu lebih banyak orang yang membawa bendera umbul-umbul berwarna warni. Bendera kecil berwarna-warni diikat di ujung semua mata tombak. Sehingga satuan barisan laskar tombak dan tameng tampak mirip sebagai peserta sebuah karnaval.

Di saat matahari mulai beranjak tinggi, barisan wadyabala itu pun bergerak meninggalkan Kotapraja menuju Gunungkidul.

Markas tersembunyi, Suatu Tempat di Gunungkidul

Barisan limaratus pasukan itu berarak-arak bergerak rapi. Di baris terdepan, beberapa perwira berkuda berjalan perlahan. Mereka adalah para perwira yang disebut laskar pamungkas. Diikuti pasukan laskar tombak yang membawa tameng dan tombak. Di lapisan barisan ketiga laskar prajurit pedang bergerak gagah, lalu diikuti laskar barisan para pemanah berkuda.

Dan pada barisan terakhir terdiri dari pasukan pembawa umbul-umbul kebesaran Mangir, penabuh bende dan genderang perang. Ki Ageng Wanabaya tampak berada di atas punggung kuda sambil membawa tombak pusaka Kyai Upas. Dia diapit oleh dua orang berkuda Guntur Geni ayahku, dan Ki Demang Pandak. Ketiga orang itu berada dekat pasukan pembawa bendera dan umbul-umbul Mangir.

Dari kejauhan tampak gerakan pasukan itu menyemut, bagaikan gelombang peserta suatu iring-iringan sebuah pawai karnaval. Mereka meninggalkan Gunungkidul menuju Kotapraja Mangir. Bunyi bende dan genderang perang ditabuh dan nyanyian Budhalan perang Boto Rubuh disorakkan oleh para prajurit sepanjang perjalanan mereka itu.

"Boto rubuh budale wadyo gumuruh / Rumagang girang girang Cukat tandang tandang / Jumangkah gagah gumregah liru prenah / Wus samekto siogo / Gyo makaryo hangangkat karyaning projo murih kerto harjo / Hak..e Hak..e Hokyaa! Maju, maju, maju, maju pantang mundur. Maju, maju, maju, maju siap tempur, maju", teriakan para prajurit menyanyikan sorak Boto Rubuh. Gegap gempita suaranya, benar benar bergemuruh mboto rubuh.

Dari kejauhan suara mereka terdengar, membuat ciut nyali pihak lawan yang mungkin mendengar. Debu tanah mengepul ke udara di sepanjang jalan yang dilewati oleh barisan pasukan perang itu.

Prapatan Palbapang, Mangir

Adapun Baruklinting dan wadyabala tidak menyangka bahwa mereka justru akan bertemu dengan pasukan Ki Ageng Wanabaya yang jumlahnya begitu banyak di tengah perjalanan mereka menuju Gunungkidul. Baruklinting terkejut. Pada waktu itu Baruklinting tidak sempat membawa Tombak Baruklinting yang masih tersimpan di Ndalem Kapusakan Mangir. Sebab dia dan pengikutnya memang tidak dalam rangka ingin maju berperang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun