"Aku tak melakukan perbuatan keji itu. Apalagi memakai pakaian yang bukan milikku sendiri", jawab Baruklinting.Â
"Apakah orang-orangmu sendiri yang menyerang ke sanggar kedaton Wanabayan?".Â
"Bukan. Mereka entah gerombolan asing darimana. Aku tidak tahu. Terserah kamu mempercayai ucapanku ini atau tidak." Pungkas Baruklinting tegas. Pulanggeni dalam hati tidak mempercayai ucapan Baruklinting ini.Â
"Faktanya. Korban telah begitu banyak. Orang-orangku pun banyak yang mati sia-sia di tempat yang kau janjikan ini. Selanjutnya maumu bagaimana?" tanya Pulanggeni.Â
"Aku tak memutuskan apapun. Itu terserah kamu sendiri dan kelompokmu untuk tetap tinggal di Mangir atau tidak. Itu bukan lagi urusanku", ujar Baruklinting.Â
"Kupilih tetap tinggal. Tetapi ingatlah. Jangan sekali pun kau usik aku dan kelompokku. Aku tak akan mengusikmu atau orang-orangmu", pungkas Pulanggeni.
"Tetapi satu hal lagi aku minta", lanjut Pulanggeni.Â
"Katakan saja".Â
"Biarkan aku membalas dendam atas kematian orang-orangku. Biarlah kuburu dan kuhabisi orang-orang yang telah menyebabkan kematian itu. Mata dibalas dengan Mata. Setelah itu selesai. Agar kelompokku dan orang-orangmu bisa tenang hidup berdampingan tinggal di sini".Â
"Sak karepmu! Lakukan saja. Tetapi jangan sampai salah sasaran. Sebab aku tak akan membiarkan orang-orangku mati sia-sia oleh balas dendammu yang sedemikian itu".Â
"Sarujuk. Wes tak muleh. Aku undur diri", ujar Pulanggeni singkat. Baruklinting melepas kepergian Pulanggeni di depan pendopo Ndalem Wanabayan.