Memasuki Kotapraja (#19)
Pasar Gede, Kotapraja Mangir
Gerbang Kotapraja tampak di kejauhan. Dua buah gapura kembar bermotif ukiran candi, atau mirip seperti bangunan benteng keraton dalam rupa bangunan besar tampak berdiri kokoh, mengapit kiri dan kanan suatu jalan besar masuk ke dalam kawasan Kotapraja. Jalan besar itu mengarah ke tengah kota, menuju perempatan. Lalu jalan itu bercabang membelah kota dalam empat bagian besar. Masing-masing cabang jalan besar itu mengarah pada suatu kawasan perkampungan penduduk yang ditandai oleh gapura mirip gerbang pintu masuk sebuah candi.Â
Kota pusat pemerintahan Mangir ini merupakan kawasan yang luas, terdiri dari beberapa bangunan blok pusat Pasar Gede yang selalu ramai oleh pedagang, bangunan pergudangan palawija, dan beberapa blok pusat produksi barang pecah belah dan kerajinan gerabah.Â
Beberapa blok perumahan para bangsawan, perumahan pedagang, dan perumahan penduduk kota berderet rapi dengan halaman yang luas di sepanjang kiri kanan jalan raya kota. Kegiatan penduduk ditunjang oleh alat transportasi utama pusat kota yaitu kuda, pedati sapi dan andong, tampak berseliweran menarik penumpang dan barang di jalan-jalan besar, hingga jalan kecil ke perkampungan penduduk di tengah Kotapraja.Â
Di tengah kota terdapat alun-alun kota yang luas, ditandai empat pohon beringin besar berada di setiap sudutnya. Di samping alun-alun berdiri bangunan pendopo ageng Mangir tempat pertemuan agung yang dikelilingi bangunan benteng tinggi dan kokoh. Alun-alun berupa lapangan luas ini selalu ramai dikunjungi oleh penduduk karena menjadi pusat rekreasi dan hiburan bagi warga. Termasuk menjadi pusat kegiatan pasar malam, dan pementasan aneka jenis kesenian rakyat Mangir.Â
Di bagian lain dalam Kotapraja terdapat kawasan yang bernama Ndalem Wanabayan. Ya itu tempat tinggal Ki Ageng Wanabaya, para kerabat Sentana, punggawa dan perumahan perwira dan prajurit Mangir. Ndalem Wanabayan terdiri dari beberapa bangunan besar dan kecil yang berjejer tertata rapi, berada dalam suatu kompleks benteng tertutup, dimana setiap bangunan dan lorong jalan dalam kompleks dijaga ketat oleh para prajurit inti Mangir.Â
Seperti telah ditentukan waktunya. Iring-iringan belasan gerobak pedati sapi memuat aneka ragam palawijaya dan bahan pangan telah memasuki Kotapraja dari sisi Timur menuju ke Pasar Gede. Rombongan gerobak pedati itu berasal dari Kademangan pesisir Pantai Selatan, kiriman Demang Darismanta untuk dibawa ke pusat pasar itu. Setiap gerobak pedati ditarik oleh dua ekor sapi yang berjalan perlahan, karena setiap gerobak membawa muatan penuh dan banyak.Â
Terkadang satu atau dua gerobak terpaksa berhenti sejenak, karena sapi-sapi penarik gerobak itu tampak kelelahan. Iring-iringan itu tampak seperti barisan parade suatu karnaval, karena setiap gerobak sapi memiliki bak muatan yang diberi hiasan warna-warni.Â
Sementara di sisi lain, di sebelah Barat Kotapraja, masuk iring-iringan pedati dan delman memuat banyak orang berpakaian pedagang dan petani, bergerak menuju ke arah pasar yang sama. Jumlah gerobak dan pedati itu ada puluhan. Masing-masing gerobak mengangkut lima hingga sepuluh orang. Adapun setiap pedati memuat empat orang. Beberapa penunggang kuda mengawal perjalanan iring-iringan gerobak dan pedati itu, melewati tengah kota dan bergerak ke Pasar Gede.
Iring-iringan itu walaupun dalam jumlah banyak, namun tidak mencolok perhatian. Sebab penduduk Mangir menganggap mereka adalah para pedagang dan petani yang biasa datang dari mana saja di luar Kotapraja untuk berdagang terutama pada Hari Pasaran bagi Pasar Gede.Â
Hari Pasaran (Pancawara) dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno adalah hari-hari di mana pasar tradisional tersebut buka untuk umum, yaitu pada hari: Paing -- Pon -- Wage -- Kliwon -- Legi, mengikuti siklus mingguan kalender Jawa yang terdiri dari 5 hari Pancawara.Â
Kebetulan hari itu adalah Kamis Pon yang adalah Hari Pasaran bagi Pasar Gede Kotapraja. Para pedagang dan pembeli membeludak datang pada hari pasaran itu, untuk melakukan transaksi perdagangan di Pasar Gede. Mereka datang dari mana-mana, termasuk dari wilayah pinggiran Mangir.
Seperti telah diatur waktunya. Pada Hari Pasaran Kamis Pon itulah saatnya rombongan orang-orang Nogo Kemuning mulai memasuki dan menetap di Kotapraja Mangir. Mereka menyamar sebagai pedagang dan petani yang seolah hendak berdagang di Pasar Gede. Mereka  berada dalam iring-iringan pedati dan gerobak yang masuk dari sisi Barat Kotapraja.Â
"Jangan ada yang memakai atribut lambang Nogo Kemuning. Tak boleh", kata Pulanggeni yang berada dalam iring-iringan itu, mengingatkan rombongannya. "Bahkan umbul-umbul atau bendera warna kuning, atau apapun yang berwarna kuning, jangan!". Â
"Telah kita simpan dan sembunyikan semua, sinuwun", ujar Arya Jalu, kepala divisi pasukan Bayangan Hitam itu.Â
"Orang-orangnya Baruklinting akan mengatur dimana kita tinggal. Titik pertemuan awal di Pasar Gede ini. Ikuti saja apa perintah mereka. Jangan ada yang membuat kerusuhan", pesan Pulanggeni lagi. Dia berharap masuknya rombongan Nogo Kemuning ke Mangir itu berjalan lancar.
Suasana Pasar Gede bertambah ramai ketika dua kelompok rombongan iring-iringan pedati dan delman dari sisi Barat dan Timur Kotapraja itu saling bertemu di pelataran pasar. Buruh kuli panggul segera mengerubut pedati sapi yang memuat barang. Beberapa orang mengatur kerja para kuli panggul itu. Sebagian besar barang-barang dalam pedati dibawa oleh para kuli panggul itu ke dalam sebuah gudang di samping Pasar Gede. Sebagian muatan palawija dalam ikatan besar diserahkan kepada orang-orang Nogo Kemuning yang berpakaian pedagang dan petani itu.Â
Dari sudut sebuah warung, tak jauh dari pelataran Pasar Gede, Demang Darismanta telah mengatur semua pergerakan "serah terima" urusan logistik itu ke kelompok Nogo Kemuning. Seperti permintaan Baruklinting. Barang-barang berupa barang pangan itu akan dipakai untuk mencukupi kebutuhan awal kelompok Nogo Kemuning saat mereka memulai tinggal di Kotapraja Mangir.Â
"Serahkan semua isi pedati kepada orang-orang itu. Lalu hantarkan mereka ke empat titik perkampungan di Njaban Beteng, beteng luar Kotapraja. Di sana mereka akan tinggal", perintah Demang Darismanta kepada orang-orangnya, termasuk kepada para kuli panggul itu.
Pasar Gede semakin ramai ketika hari kian beranjak siang. Para tengkulak dan pedagang, petani dan buruh kuli panggul, termasuk para kusir delman dan pedati, juga para pembeli dari desa dan pelosok kota, seperti terus mengalir datang dan pergi berseliweran tak berhenti di Pasar Gede itu.Â
Para penduduk Mangir tidak menyadari bahwa pada Hari Pasaran itu di Pasar Gede telah menyusup puluhan orang asing yang sangar sekaligus berbahaya. Pulanggeni dan gerombolannya benar-benar telah hadir dan mulai menetap di Mangir.Â
Njaban Beteng, Kotapraja Mangir
Penduduk Mangir yang tinggal di beberapa perkampungan Njaban Beteng Kotapraja merasa gembira atas kedatangan tamu para pedagang ke kampung mereka. Sebab mereka para pedagang itu sebagai pendatang yang bersikap santun kepada penduduk setempat. Tak jarang para pedagang itu membeli barang-barang yang ditawarkan oleh para penduduk warga setempat kampung itu. Pun pula sebaliknya, para pedagang itu menawarkan barang-barang kerajinan yang bermutu tinggi dengan harga murah ke para penduduk setempat itu.
Para penduduk Kotapraja Mangir tidak menyadari bahwa para pedagang yang tinggal di kampung-kampung mereka di Njaban Beteng itu sebenarnya adalah kelompok garong dan preman berbahaya, penguasa begal kawasan Selo Merbabu yang mulai menetap di Mangir.Â
Kelompok Nogo Kemuning tidak mengalami kesulitan untuk melebur bersama kehidupan warga setempat Mangir. Mereka menempati empat kampung di Njaban Beteng Kotapraja. Antara lain Kampung Wetan Njaban Beteng, Kampung Kulon Njaban Beteng, Kampung Kidul Njaban Beteng dan Kampung Lor Njaban Beteng. Baruklinting sengaja menempatkan orang-orang Selo Merbabu di keempat titik perkampungan itu. Sebab di tempat-tempat yang ditentukan itu, Baruklinting lebih mudah memantau pergerakan Pulanggeni dan gerombolan Nogo Kemuning.Â
Sulit membedakan antara pedagang pendatang dan warga penduduk setempat di Njaban Beteng. Sebab rumah tinggal kediaman para pedagang itu membaur di perkampungan warga. Namun bagi Baruklinting dan orang-orang kepercayaannya, tidak sesulit itu untuk menemukan rumah tinggal dimana Pulanggeni dan gerombolannya. Sebab sebelum mereka memasuki kawasan Njaban Beteng, Baruklinting dan orang-orang kepercayaannya telah menandai setiap rumah tinggal yang akan mereka huni itu, dengan menoreh arang hitam dan mengikat janur kuning pada sudut setiap cagak rumah tinggal itu.Â
Semula Pulanggeni tidak berkenan dengan penanda rumah berupa janur kuning yang diikat pada tiyang atau cagak rumah itu. Sebab baginya warna kuning pada janur kuning itu melanggar wewaler atau aturan yang dia buat sendiri bagi kelompok Nogo Kemuning.Â
Namun Baruklinting melalui pesan yang dikirim melalui orang-orangnya meyakinkan Pulanggeni bahwa janur kuning itu adalah simbol keselamatan dan lambang kemakmuran. Maka atas alasan itu Pulanggeni menyetujui dan membiarkan rumah tinggal mereka di Njaban Beteng ditandai dengan janur kuning diikat pada cagak setiap rumah.Â
Rumah, suatu tempat di Njaban BetengÂ
Di sisi lain, pada waktu yang hampir sama, kelompok kecil intelijen Mataram telah menyusup ke Kotapraja tanpa diketahui keberadaannya. Mereka tinggal diam-diam, menyaru sebagai rakyat jelata, sebagai pedagang asongan, dan tinggal di sekitar perkampungan gerombolan Nogo Kemuning di Njaban Beteng Kotapraja.Â
"Telah sepasaran lebih kita tinggal di Mangir", kata Linduaji.
"Telah cukup banyak bahan kita peroleh. Dan bisa kita goreng segera, kakang", ujar Wisesa.
"Kita tahu bahwa titik lemah kota ini adalah pada pertahanan dan keamanan. Tak ada prajurit yang memadai yang menjaga tempat-tempat vital di Kotapraja, termasuk di Gudang-gudang perbekalan yang seharusnya dijaga oleh lebih banyak prajurit", ujar Ki Pamungkas.
"Benar-benar kita diuntungkan oleh keadaan ini, Ki". Berkata Widura.
"Dan aku tahu titik lemah gerombolan Nogo Kemuning. Mereka berusaha keras menyimpan erat identitas kelompok dengan menyembunyikan semua atribut warna kuning. Mereka tidak ingin penyusupan mereka di Mangir diketahui oleh warga. Justru kekhawatiran mereka ini yang bisa kita manfaatkan untuk gerakan adudomba", tegas kepala divisi Telik Sandi Matataram itu.Â
"Lalu langkah apa selanjutnya, Ki?", tanya Linduaji pada atasannya itu.
"Jangan berlama-lama. Kita tebar paku ranjau di jalan-jalan. Kita lakukan adudomba. Sehingga muncul kekacauan. Lalu biarlah di antara mereka saling gebug lebih dulu", kata Ki Pamungkas.
"Dan kita akan tahu hasil akhirnya kemudian", lanjutnya.
"Tetapi apakah ini tidak menimbulkan korban jiwa yang banyak berjatuhan, Ki?", sergah Wisesa mencemaskan akan banyaknya jatuh korban nantinya.Â
"Biarkan saja. Bukan urusanku. Toh dengan demikian kita benar-benar nabok nyilih tangan. Baik Mangir, Baruklinting maupun gerombolan preman bayaran dari Merbabu itu pun akan sirna semua dengan sendirinya, tanpa perlu cawe-cawe Mataram.", tegas Ki Pamungkas.
"Kita mulai gerakan besok pagi, sebelum ayam jago berkokok tiga kali", pungkas Ki Pamungkas tegas. "Kode sandi operasi adalah: Kriwikan dadi Grojogan", lanjutnya.
"Sendiko!", sahut ketiga anak buahnya hampir serempak berbarengan.Â
Pertemuan intelijen Mataram itu berlangsung singkat. Lalu malam itu juga mereka berpisah sendiri-sendiri, meninggalkan rumah pertemuan yang dirahasiakan lokasinya di sekitar Njaban Beteng itu.
Waktu berjalan lambat di tempat itu. Malam bertambah malam. Saat tergelap adalah saat tepat sebelum fajar menyingsing. Tetapi setitik fajar pagi akhirnya tampak lambat laun menyemburat di ufuk Timur langit Kotapraja. Entah apa yang kelak terjadi di Kotapraja esuk pagi.
***Â
(BERESAMBUNG Ke Episode #20)Â
* Baca Juga: Episode #18
* Baca Juga: Episode #17
* Baca Juga Episode #16Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI