Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sandhyakalaning Baruklinting - Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #8)

16 April 2023   10:40 Diperbarui: 22 April 2023   12:17 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Image Episode #8 , by: D.Wibhyanto / Dokiumen pribadi.

Lelaki Pertapa di Mulut Gua (#8)

Lereng Merapi Sebelah Barat Daya

Kabut tipis merambat di lereng gunung itu. Sebagian berhenti dan menebal di pepohonan pinus yang menggerumbul. Angin gunung berhembus perlahan, mengerisik bunyinya di sela-sela dedaun pohon cemara yang sesekali saling bergesekan. Bunyi itu dari kejauhan seperti suara ombak lautan yang menderu deru. Sinar matahari tak bisa menembus tempat itu, sebab segerumbul awan tebal dan kelabu telah menahan sinar itu di angkasa.

Langit menyebarkan sinar matahari membentuk warna putih kelabu. Siang tampak benderang, sementara senja masih jauh dari jangkauan. Bunyi Tongeret dan burung-burung liar terdengar seperti nyanyian alam merdu suaranya dari kejauhan.

Baruklinting akhirnya tiba mendarat di tempat itu. Sebuah tempat lapang, di depan sebuah mulut gua batu besar di pereng Merapi sebelah Barat Daya. Bunyi berdebum keras ketika blarak pelepah pohon kelapa yang dikendarainya menyentuh permukaan tanah tempat itu. Angin berhembus kencang sebentar, mengangkat debu-debu tanah terbang ke angkasa. Tetapi sesaat kemudian tempat itu sunyi.

Baruklinting melangkah mendekati pintu gua itu. Dari tempatnya berdiri, Baruklinting melihat siluet sesosok orang dalam bayangan gelap tengah bersila di sebuah batu besar didalam gua itu. Dia menarik napas dalam dalam. Apakah dia ini, bapaku? Tanya Baruklinting dalam hati. Dadanya mendadak berdegup kencang.

"Wahai panjenengan sang pertapa. Berhentilah bertapa brata barang sebentar. Saya ingin menemuimu, Bapa", kata Baruklinting kepada sosok bayangan yang ada di dalam gua itu. "Panjenengan Ki Ageng Wanabaya, keluarlah dari tempat semadimu".

Tak lama sesudah itu, sosok itu telah berdiri di depan mulut gua. Dia memakai pakaian seperti seorang petani, dengan suatu kain ikat melingkar di kepalanya.

"Mengapa kau usik tapa brataku anak muda. Kau menyebut namaku, apakah aku pernah mengenalmu? Siapa kamu sesungguhnya?", tanya lelaki itu dalam nada suara datar dan dalam. Suara itu begitu berwibawa bagi siapa saja yang mendengarnya.

"Sembah bekti saya kagem panjenengan. Maafkan saya mengusik ritual panjenengan, Bapa. Namaku Baruklinting, putra Dewi Ariwulan di Jalegong istri panjenengan. Aku adalah putra panjenengan bapaku Ki Ageng Wanabaya", ujar Baruklinting sambil kemudian dia duduk bersila beberapa depa jaraknya di depan lelaki yang berdiri di mulut gua itu.

Lelaki pertapa itu terkesiap mendengar ucapan anak muda itu. Dadanya berdegup kencang. Benarkah apa yang telah didengarnya itu? Anak muda itu menyebut namanya dan sebuah nama yang begitu lekat di hatinya, yaitu Dewi Ariwulan istrinya yang ditinggalkannya di Jalegong. Apakah anak muda ini putranya yang telah lahir dari rahim istrinya itu? Lelaki pertapa itu bertanya dalam hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam. 

"Apakah panjenengan bernama Ki Ageng Wanabaya berasal dari suatu perdikan di daerah pesisir Laut Selatan?", tanya Baruklinting lagi.

"Benar demikian anak muda. Namaku Ki Ageng Wanabaya dari Mangir", jawabnya. "Tetapi tunggu dulu, mengapa kau sebut aku bapamu? Tanda apakah yang bisa kau yakinkan aku bahwa kamu adalah anakku?", tanya Ki Ageng Wanabaya menyelidik.

Baruklinting kemudian teringat pada ucapan ibunya saat sebelum mereka berpisah kala itu.  "Simpanlah benda ini, dan berikan kepada Bapamu sebagai tanda bahwa kamu benar-benar putraku. Sehingga kelak bapamu tidak ragu, walaupun benda ini hanya mengganti keris pusaka itu". Benda itu adalah gelang pusaka emas dengan permata merah yang terbungkus di semacam kepompong. Kelak orang menyebut batu mulia itu adalah batu permata Merah Delima.

Baruklinting mengambil benda itu dari suatu kantung yang terselip di pakaiannya. Dia menyerahkan benda itu ke Ki Ageng Wanabaya. Baruklinting berkata.

"Terimalah benda ini sebagai tanda bahwa panjenengan adalah benar-benar bapaku. Benda ini adalah milik Dewi Ariwulan ibuku yang harus kuserahkan kepada panjenengan, Bapaku".

"Gelang pusaka emas permata Merah Delima", desis Ki Ageng Wanabaya sambil terkesiap. 

Dia menerima gelang pusaka itu. Hatinya berdesir, sebab dia menyadari bahwa anak muda di depannya itu adalah putra Dewi Ariwulan. Dia teringat di kala itu, dia memberikan gelang pusaka ini kepada Dewi Ariwulan istrinya sebelum mereka berpisah.

Maka dia tahu bahwa anak muda bernama Baruklinting itu adalah putranya sendiri! Tetapi hatinya masih diliputi sedikit keraguan. Di mana keris Bethok Budho itu apakah anak muda ini turut membawanya? Ki Ageng Wanabaya pernah berpesan pada istrinya di Jalegong itu bahwa barang siapa kelak yang membawa keris itu untuk menemui dirinya, dia adalah putranya sendiri.

"Tunggu dulu, Baruklinting. Apakah kamu membawa keris pusaka Bethok Budho dari ibumu?", tanya Ki Ageng Wanabaya. Baruklinting menarik napas dalam. Dia telah menduga bahwa bapanya akan menanyakan hal itu.

"Mohon maaf. Saya tidak membawanya. Sebab menurut ibu saya, pusaka itu telah lenyap dan berubah sebagai cahaya yang masuk ke dalam rahim ibu, ketika saya masih dalam kandungan ibu saya ketika itu", ujar Baruklinting menjelaskan. Seraut rasa kecewa melingkupi wajah Ki Ageng Wanabaya. Dia menyadari jika cerita pemuda itu benar, maka istrinya itu telah melanggar wewaler bahwa keris pusaka itu jangan sekali pun dipangku, sebab akan fatal akibatnya. Keris itu telah lenyap setelah diletakkan dalam pangkuan Dewi Ariwulan.

"Oleh karena kamu tak bisa menunjukkan keris pusaka itu kepadaku, dan aku masih ragu apakah kamu adalah benar putraku. Buktikanlah baktimu kepadaku sebagai orangtua. Jika kamu mampu memenuhi permintaanku, kurangkul kamu sebagai putraku dan kuboyong ke Mangir", kata Ki Ageng Wanabaya.

"Permintaan semacam apakah itu. Mohon haturkan, Bapa".

"Permintaanku adalah seperti ini", ujarnya sambil berjongkok ke tanah, mengambil sesuatu ranting dan menggambar sesuatu di tanah itu. Baruklinting menyimak baik baik.

"Ini adalah Gunung Merapi. Permintaanku adalah jika kamu mampu menanam segala macam benda pusaka yang telah kau isi dengan suatu pamor sehingga semua pusaka itu memiliki daya kesaktian, dan kau tanam benda pusaka itu di semua celah bukit, lembah, sumber air, termasuk hutan, mengelilingi Merapi dalam tempo sehari semalam, kamu kuakui sebagai putraku", demikian penuturan Ki Ageng Wanabaya. Baruklinting terkesiap.

"Jika itu permintaan panjenengan. Ijinkan saya untuk memenuhi permintaan itu. Saya pamit sekarang", ujar Baruklinting menyanggupi permintaan bapanya itu.

Belum sempat Ki Ageng Wanabaya berkata-kata lagi, anak muda bernama Baruklinting itu telah beringsut dari tempat duduknya, lalu merundukkan badannya dan menjejakkan tungkai kakinya ke tanah. Mendadak anak muda itu tubuhnya melenting ke udara seperti lompatan suatu belalang, lalu berada di angkasa, terbang melayang seperti kepakan seekor elang.

Ki Ageng Wanabaya takjub pada gerakan anak muda itu. Sejeda kemudian dia tak melihat tubuh Baruklinting. Sebab tubuh itu telah lenyap ditutup kabut yang berarak. Baruklinting telah pergi memenuhi permintaan bapanya.

Ketep, Sawangan -- Merapi

            Baruklinting akhirnya tiba di suatu tempat bernama Ketep, di Sawangan Merapi. Di suatu batu besar dia duduk bersila, sambil memandang Gunung Merapi yang tampak elok pemandangan alamnya dari tempatnya duduk bersila itu. Dia sedang berpikir keras bagaimana cara mewujudkan keinginan bapanya. Waktu yang begitu sempit yaitu sehari semalam yang diberikan sebagai batas waktu untuk ngideri Merapi sekaligus menanam berbagai tosan aji, adalah suatu kerja yang mustahil untuk dikerjakan siapa saja. Tetapi Baruklinting telah membulatkan tekadnya, maka dia kemudian manekung, manembah kang linangkung yaitu secara sungguh-sungguh berdoa mohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.

            Tak lama kemudian, Baruklinting menyadari bahwa tidak mungkin misinya untuk ngideri Merapi itu bisa dia lakukan sendirian. Maka terbersit dalam pikirannya bahwa dia memerlukan dukungan dari Pulanggeni bersama seluruh wadyabala jajaran pasukannya.

"Ya Pulanggeni", desisnya singkat. Baruklinting memantapkan hati. 

***

(BERSAMBUNG ke Episode #9 ) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun