"Benar demikian anak muda. Namaku Ki Ageng Wanabaya dari Mangir", jawabnya. "Tetapi tunggu dulu, mengapa kau sebut aku bapamu? Tanda apakah yang bisa kau yakinkan aku bahwa kamu adalah anakku?", tanya Ki Ageng Wanabaya menyelidik.
Baruklinting kemudian teringat pada ucapan ibunya saat sebelum mereka berpisah kala itu. Â "Simpanlah benda ini, dan berikan kepada Bapamu sebagai tanda bahwa kamu benar-benar putraku. Sehingga kelak bapamu tidak ragu, walaupun benda ini hanya mengganti keris pusaka itu". Benda itu adalah gelang pusaka emas dengan permata merah yang terbungkus di semacam kepompong. Kelak orang menyebut batu mulia itu adalah batu permata Merah Delima.
Baruklinting mengambil benda itu dari suatu kantung yang terselip di pakaiannya. Dia menyerahkan benda itu ke Ki Ageng Wanabaya. Baruklinting berkata.
"Terimalah benda ini sebagai tanda bahwa panjenengan adalah benar-benar bapaku. Benda ini adalah milik Dewi Ariwulan ibuku yang harus kuserahkan kepada panjenengan, Bapaku".
"Gelang pusaka emas permata Merah Delima", desis Ki Ageng Wanabaya sambil terkesiap.Â
Dia menerima gelang pusaka itu. Hatinya berdesir, sebab dia menyadari bahwa anak muda di depannya itu adalah putra Dewi Ariwulan. Dia teringat di kala itu, dia memberikan gelang pusaka ini kepada Dewi Ariwulan istrinya sebelum mereka berpisah.
Maka dia tahu bahwa anak muda bernama Baruklinting itu adalah putranya sendiri! Tetapi hatinya masih diliputi sedikit keraguan. Di mana keris Bethok Budho itu apakah anak muda ini turut membawanya? Ki Ageng Wanabaya pernah berpesan pada istrinya di Jalegong itu bahwa barang siapa kelak yang membawa keris itu untuk menemui dirinya, dia adalah putranya sendiri.
"Tunggu dulu, Baruklinting. Apakah kamu membawa keris pusaka Bethok Budho dari ibumu?", tanya Ki Ageng Wanabaya. Baruklinting menarik napas dalam. Dia telah menduga bahwa bapanya akan menanyakan hal itu.
"Mohon maaf. Saya tidak membawanya. Sebab menurut ibu saya, pusaka itu telah lenyap dan berubah sebagai cahaya yang masuk ke dalam rahim ibu, ketika saya masih dalam kandungan ibu saya ketika itu", ujar Baruklinting menjelaskan. Seraut rasa kecewa melingkupi wajah Ki Ageng Wanabaya. Dia menyadari jika cerita pemuda itu benar, maka istrinya itu telah melanggar wewaler bahwa keris pusaka itu jangan sekali pun dipangku, sebab akan fatal akibatnya. Keris itu telah lenyap setelah diletakkan dalam pangkuan Dewi Ariwulan.
"Oleh karena kamu tak bisa menunjukkan keris pusaka itu kepadaku, dan aku masih ragu apakah kamu adalah benar putraku. Buktikanlah baktimu kepadaku sebagai orangtua. Jika kamu mampu memenuhi permintaanku, kurangkul kamu sebagai putraku dan kuboyong ke Mangir", kata Ki Ageng Wanabaya.
"Permintaan semacam apakah itu. Mohon haturkan, Bapa".