Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting - Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #7)

15 April 2023   12:17 Diperbarui: 22 April 2023   09:45 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasukan Bayangan Hitam (#7) 

Oro-Oro Ombo, Selo Merbabu

       Selagi dia terbang melayang di udara, Baruklinting tiba-tiba merasakan suatu getaran daya yang menariknya untuk segera mendarat ke tanah. Itu adalah suatu daya kekuatan yang dikirimkan oleh Pulanggeni untuk menjangkau anak muda itu. Baruklinting tidak mencoba melawan daya tarikan ke bumi itu. Maka Baruklinting mendaratkan diri dan pelepah kelapa itu di suatu tempat bernama Oro-Oro Ombo di Selo Merbabu.

       Tempat itu adalah sebuah bulak yang ditumbuhi rumput kering dan gerumbul semak-semak di sekitarnya. Bunyi pelepah itu kemerosak ketika menyentuh permukaan tanah dan debu tampak berhamburan di sekitar tempat itu.

       Seseorang berpakaian dengan kain berwarna kuning melilit pada tubuhnya mirip seorang biksu Budha, tampak berdiri dengan gagah tak jauh dari tempat pendaratan Baruklinting. Mata orang itu begitu tajam mengarah kepada Baruklinting. Dia adalah Pulanggeni, pemimpin gerombolan Nogo Kemuning. Sang pemberi bau kematian!

       Sejeda kemudian keduanya tidak saling berkata-kata. Mulut Pulanggeni berkomat-kamit. Dia merapal suatu mantera.  

        "Siapakah kamu, berhentilah, sebutkan namamu sehingga kau tak mati sia-sia". Ujar Pulanggeni. Tubuhnya mengeluarkan hawa dingin yang langsung berhembus ke arah Baruklinting. Itu adalah suatu ajian untuk menyerang Baruklinting melalui getaran resonansi udara dan suara.

        Konon udara dingin itu jika terhisap oleh lawan, akan masuk ke rongga pernapasan dan membekukan organ dalam tubuh. Barangsiapa terkena ajian itu, tubuhnya akan menggigil dan organ tubuhnya membeku. Orang yang terkena ajian itu akan mati terbujur kaku tubuhnya beku bagai sebongkah es. Belum jelas apa nama ajijaya kawijayan yang telah dilontarkan oleh Pulanggeni ke arah Baruklinting itu.

            Baruklinting merasakan adanya serangan melalui getaran resonansi udara dingin dan suara yang dikeluarkan dari mulut lelaki berpakaian kuning di depannya itu. Tetapi dia tak menghiraukan serangan itu. Sebab baginya serangan yang membuat jantung dan paru-paru membeku itu, tak berpengaruh apa-apa bagi tubuhnya.

            "Siapakah kamu. Mengapa kau hentikan langkahku", ujar Baruklinting kemudian.

            "Sodron. Sombong sekali kamu. Ditanya malah balik bertanya", pungkas Pulanggeni.

            "Wajarlah orang bertemu di tempat asing, saling bertanya", kata Baruklinting lagi.

            "Sudahlah sinuwun, biarkan kami yang menyelesaikan orang ini!", tiba-tiba terdengar dari balik semak-semak tak jauh dari tempat itu. Baruklinting melihat ke arah suara itu. Beberapa pasang mata, mungkin puluhan, tampak menatap tajam ke arahnya. Orang-orang itu berada di balik gerumbul semak-semak di sebelah sana. 

        Pulanggeni mengangkat tangannya. Tak ada lagi suara dari anak buahnya. Sunyi sejenak di tempat itu, hanya kerisik angin yang berhembus membawa sekumpulan kabut dan embun Gunung Merbabu.

        Pulanggeni diam-diam menyadari betapa tinggi ilmu kanuragan anak muda ini. Sebab serangan resonansi udara dingin dan suara yang dia lakukan harusnya membuat seketika tumbang bagi yang terkena sasaran, nyatanya tak berakibat apa-apa pada Baruklinting. Pimpinan Nogo Kemuning itu menarik napas dalam dalam. Dia merasa harus lebih waspada menghadapi anak muda itu.

            "Namaku Pulanggeni. Tak boleh ada orang lewat daerah sini, kecuali atas seijinku. Sebutkan namamu, dan apa tujuanmu melewati tempatku ini", ujar Pulanggeni kemudian.

            "Aku Baruklinting, asalku Jalegong. Aku mau menemui bapaku seorang pertapa di Merapi", jawab Baruklinting.

            "Menemui bapamu seorang pertapa di Merapi?", desis Pulanggeni. Dia  sedikit terkejut, sebab dalam benaknya dia sebenarnya sudah lama tahu bahwa ada seseorang yang sedang bertapa di Gunung Merapi di pereng sebelah Barat Daya. Baruklinting mengangguk.

            "Benarkah bapamu seorang penting berasal di daerah perdikan pesisir pantai Laut Selatan?", tanya Pulanggeni kemudian.

            "Jadi kamu tahu siapa bapaku dan di mana dia kini sedang bertapa?", tanya Baruklinting.

            "Aku malah lebih tahu dari sekedar hal itu anak muda. Tahukah kamu, siapa nama bapamu?", tanya Pulanggeni. Baruklinting menggelengkan kepalanya.

            "Aku tak tahu nama bapaku. Tetapi dia seorang penting dari sebuah perdikan, dan dia sedang bertapa di Gunung Merapi", ujarnya. Baruklinting sekilas teringat pada ucapan ibunya, Dewi Ariwulan kala itu, "Ngger anakku. Bapamu adalah orang penting sebuah tanah perdikan di daerah pantai Laut Selatan. Dan sekarang dia sedang bertapa di Gunung Merapi". 

            "Aku tahu siapa nama bapamu, dan aku tahu di Merapi sebelah mana dia bertapa", ujar Pulanggeni. "Tetapi jika kau kuberitahu, aku minta suatu imbalan", pungkasnya kemudian.

            "Imbalan apa katakan, aku ingin tahu nama bapaku dan di mana persisnya dia bertapa", jawab Baruklinting. Dia teringat bahwa ibunya memang tidak pernah menyebut siapa nama bapanya. Dia sangat ingin tahu siapa nama bapanya itu.

            Sejurus kemudian, Pulanggeni tiba-tiba duduk bersila beberapa depa di depan Baruklinting. Dia memberikan suatu isyarat melalui gerakan tangannya, sehingga Baruklinting tahu maksud dari orang itu. Baruklinting pun mengikuti gerakan orang itu. Dia turut duduk bersila.

        Kedua orang itu tampak mengucap suatu mantera. Sebuah ajian sedang mereka terapkan secara bersamaan. Pulanggeni sadar bahwa anak muda itu mampu menguasai ajian itu.

        Baruklinting pun paham bahwa orang di depannya itu mengajaknya untuk masuk dalam dunia alam lain, memakai suatu ajian kuno dan langka.

       Kelak orang menyebut ajian yang mereka berdua terapkan itu adalah ajian kuno bernama Ngrogo Sukmo. Ajian Ngrogo Sukmo adalah ilmu tingkat tinggi di mana seseorang mampu melepaskan ruh dari raganya untuk sementara waktu, bukan mati. Dalam alam ruh, orang bisa melakukan suatu tindakan tanpa diketahui oleh siapa pun.

      Maka kedua orang itu berada di dalam alam ruh, setelah melepas ruh dari raga masing-masing. "Aku tidak ingin, orang atau bahkan anak buahku sekali pun, tahu apa yang kita bicarakan, maka kuajak kau memakai ajian Ngrogo Sukmo", ujar Pulanggeni. 

     "Katakan siapa bapaku dan di mana dia bertapa. Aku berjanji kuberikan apa yang kamu minta sebagai imbalan", kata Baruklinting. 

      Kedua orang itu tampak duduk bersila sambil memejamkan mata. Anak buah Pulanggeni saling berpandangan mata dari balik gerumbul semak-semak tempat mereka bersembunyi. Mereka tidak mengerti apa yang dilakukan oleh Pulanggeni kepada Baruklinting. Mereka menunggu dengan rasa cemas.

      "Ki Ageng Wanabaya, orang nomer satu di perdikan Mangir di daerah pesisir Laut selatan. Jadi itu nama bapaku? Benarkah demikian?", tanya Baruklinting setelah Pulanggeni mengatakan sesuatu. "Benar demikian", pungkas Pulanggeni masih di alam ruh bersama Baruklinting. 

      "Katakan apa permintaanmu sebagai imbalan atas informasimu ini", ujar Baruklinting.

      "Imbalanku, berikan aku dan kelompokku suatu tempat tinggal di pardikan itu yang bebas kupakai sebagai kegiatan apapun kelak bagi kelompokku di Mangir", kata Pulanggeni. 

      "Bagaimana aku bisa berikan itu kepadamu, bertemu dengan bapaku saja belum, apalagi memberikan sesuatu tempat yang aku sendiri belum tahu di mana keberadaan tempat itu. Itu sesuatu yang mustahil kupenuhi permintaan itu", kata Baruklinting kemudian. Dia mengerlingkan matanya. 

      "Aku sabar menunggu. Tetapi jika sesuatu tempat itu benar-benar kelak kau ikut menempati, aku ingin permintaanku ini sebagai janji yang kelak harus kau lunasi", jawab Pulanggeni. 

      "Baiklah jika demikian maumu. Aku pegang itu sebagai janji yang harus kulunasi", kata Baruklinting. "Sekarang tunjukkan di mana arah menuju tempat pertapaan bapaku". Maka ruh Pulanggeni bergegas berdiri, sementara badan wadagnya masih duduk bersila. Dia masih berada dalam daya kekuatan ilmu Ngrogo Sukmo. Tangannya menunjuk arah ke tebing Gunung Merapi yang terlihat dari tempatnya berdiri. Dia mengatakan tempat itu secara terperinci. Baruklinting menyimak baik baik apa yang dikatakan oleh Pulanggeni. 

      "Aku paham tentang tempat yang kau tunjukkan itu. Sekarang biarlah aku pergi ke tempat bapaku itu", kata Baruklinting. 

      "Pergilah sebelum petang tiba di tebing Merapi sebelah sana itu", pungkas Pulanggeni. 

       Maka sejeda kemudian, kedua orang itu menyudahi ajian Ngrogo Sukmo. Kedua sukma mereka masuk kembali ke raga masing-masing. Dalam beberapa gerakan, Baruklinting telah tampak kembali berada duduk di bonggol pelepah kelapa di sampingnya. Tangannya bersedekap dan wajahnya memandang ke depan arah Gunung Merapi. Lalu dia terbang bersama pelepah pohon kelapa itu, melesat tinggi meninggalkan Oro-Oro Ombo, tempat Pulanggeni berdiri dan tempat orang-orang Nogo Kemuning bersembunyi di balik gerumbul semak-semak kawasan tempat itu.  

       Angin berhembus keras secara tiba-tiba, dan bunyi kemerosak pelepah kelapa itu terseret di tanah, sesaat sebelum lepas landas dari permukaan bumi. Debu tanah mengepul di Oro-Oro Ombo melepas kepergian Baruklinting ke angkasa.

      "Hmmm. Ajian Blarak Sineret Bayu. Sungguh mengedab-edabi, menakjubkan", desis Pulanggeni. Dia memandang Baruklinting yang sesaat kemudian tampak hilang tertutup awan yang berarak di lereng Gunung Merapi. Semua anak buahnya yang dikenal sebagai Pasukan Bayangan Hitam itu tampak muncul dari gerumbul semak-semak tempat mereka bersembunyi. Mereka mendekat ke arah pemimpinnya itu.

      "Kita telah melempar kail suatu umpan. Biarlah dia menemui bapanya. Kelak kita ambil hasilnya di Mangir", ujar Pulanggeni kepada anak buahnya. Mereka tidak mengerti apa yang telah dikatakan Pulanggeni, tetapi semua anak buah yang kini berkumpul mengelilinginya itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah telah paham. 

      "Kita perlakukan anak muda itu biarlah seolah dia menang. Kita lepaskan dia, sebab kita justru menang tanpo ngasorake, menang tanpa merendahkan. Njupuk tanpo ndumuk, mengambil tanpa menyentuh. Ngerti ora kowe kabeh!", pungkas Pulanggeni ke anak buahnya semua.

      "Sendiko, mangertos!", ujar anak buahnya itu hampir serempak berbarengan. 

***  

(BERSAMBUNG ke Episode #8 )  

Di sni *) Daftar Pemakaian Istilah Bahasa Jawa di Cerbung  ) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun