Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting - Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #6)

15 April 2023   08:02 Diperbarui: 22 April 2023   12:14 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Image episode #6, by: D.Wibhyanto / Dok.pri

Gerombolan Begal Selo-Merbabu (#6)

Padepokan Nogo Kemuning, Simpang Selo -- Merbabu

Langit masih kelabu di Merbabu. Kabut tipis gunung yang bersebelahan dengan Merapi itu menutup sebagian sinar matahari yang berusaha menerobos melalui celah awan yang berarak di atas kawasan pusat kegiatan gerombolan Nogo Kemuning. Disebut demikian karena kelompok ini selalu memakai pakaian serba kuning, dengan simbol bendera warna kuning bergambar ular Naga melingkar di tengahnya. Mereka adalah kelompok begal yang amat disegani di daerah itu.

Kelompok begal yang bermukim di padepokannya di simpang Selo Merbabu itu tengah mengadakan suatu rembug ageng. Beberapa orang yang merupakan petinggi gerombolan itu berada duduk melingkar di dalam pendopo. Sebagian besar lainnya bersila dalam beberapa lapis di luar pendopo. Mereka berpakaian serba kuning. Umbul-umbul berwarna kuning terpasang di seputaran pendopo. Dan di tengah ruangan pendopo itu terpasang suatu bendera, lambang kebesaran kelompok itu. Bendera itu berupa kain kuning berukuran besar, dengan gambar ular Naga melingkar di tengahnya.

Kelompok para bandit itu dipimpin oleh dia yang berjuluk Pulanggeni. Nama Pulanggeni sendiri berarti dupa ratus atau kemenyan yang menebar bau harum wewangian. Maknanya bahwa manusia hidup haruslah memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik dan mengisi kehidupan dengan amal kasih kepada sesama manusia, sehingga hidupnya bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya, bangsa dan negara.

Tetapi Pulanggeni pemimpin gerombolan Nogo Kemuning justru perilakunya berkebalikan dari makna nama itu. Dia adalah orang yang dijuluki sebagai sang Penebar Bau Kematian! Dia dan kelompoknya terkenal sebagai gerombolan begal yang sering membuat onar, kerusuhan dan penjarahan di kawasan seputaran desa-desa di Merapi Merbabu. Pulanggeni tak segan-segan menghabisi orang yang melawannya atau kelompoknya. Pulanggeni adalah penebar bau teror dan kematian dalam arti sesungguhnya. 

Konon kelompok Nogo Kemuning menguasai kawasan Selo Merbabu sudah sejak lama. Mereka beranggotakan orang-orang sakti yang merupakan sempalan atau sisa-sisa laskar Kerajaan Majapahit. Sebagian dari mereka, termasuk Pulanggeni sendiri adalah bekas perwira pasukan elit Majapahit bersandi Bhayangkara.

 Sejak Majapahit runtuh di tahun 1400 saka karena serangan pasukan Demak Bintoro, kelompok ini mengungsi dan melarikan diri ke Selo Merbabu. Di tempat itu mereka tinggal sebagai kelompok yang memiliki aturan hidup sendiri, berdiri sebagai kelompok bebas, bahkan tidak pernah merasa mengikuti kekuasaan baik Pajang maupun Mataram.

Untuk bertahan hidup, mereka para orang sakti itu selalu menjarah rumah warga di desa-desa. Ajijaya kawijayan yang menjadi andalan kekuatan gerombolan ini adalah ajian yang mereka kuasai, bernama Ajian Teluh Wiso dan Gendam Jiwo. 

Ajian Teluh Wiso adalah ajian kuno yang disalurkan melalui metode teluh atau santet untuk membunuh lawannya. Adapun Wiso berarti racun bisa yang ganas. Maka Teluh Wiso merupakan teluh atau santet yang berupa racun bisa yang ganas untuk menghabisi lawan. Uniknya Teluh Wiso dibantu oleh kekuatan jin atau roh halus untuk memasukkan racun ganas itu kedalam tubuh orang yang menjadi sasaran. Sehingga orang yang terkena ajian Teluh Wiso biasanya tak mampu bertahan hidup lama, atau segera mati dalam ciri tubuh biru legam di sekujur tubuhnya.

Sedangkan Gendam Jiwo adalah ajian pengasihan sakti untuk menundukkan hati lawan sehingga seketika itu juga mengikuti keinginan atau kehendak orang yang menerapkan ajian ini. Disebut Gendam Jiwo karena ajian ini adalah suatu gendam yang ditujukan langsung ke arah jiwa lawan. Gendam Jiwo bisa diarahkan kepada siapa saja, perorangan atau ke suatu kelompok orang.

Itulah sebabnya ketika melakukan berbagai aksi penjarahan di berbagai tempat seperti di Wonolelo, Sawangan, Candimulyo, Tegalrejo, bahkan hingga sampai ke Ngablak, Kopeng dan Getasan, gerombolan Nogo Kemuning tak mengalami kesulitan. Sebab di berbagai desa itu, Pulanggeni dan kelompoknya menerapkan ajian Gendam Jiwo. Sehingga banyak orang terutama yang kurang waskita akan terpengaruh oleh ajian itu, dan tunduk pada kemauan mereka. Para penduduk yang terkena pengaruh ajian Gendam Jiwo akan turut menjarah harta penduduk lainnya, untuk kepentingan Nogo Kemuning.

Tak jarang justru kerusuhan itu dilakukan oleh sesama penduduk sendiri, kemudian merebak ke desa-desa yang berdekatan. Sementara kelompok Nogo Kemuning hanya menunggu setoran hasil penjarahannya saja. Itu mengapa kelompok Nogo Kemuning di kawasan Merapi Merbabu lebih dikenal sebagai kelompok begal Raja Gendam. 

Pulanggeni telah menelisik adanya kabar burung bahwa Kademangan Puserwening kini telah menjadi danau yang luas. Menurut kabar burung itu danau yang luas itu terjadi karena ulah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Pulanggeni dan Kelompok Nogo Kemuning merasa terusik, sebab mereka tidak suka ada pihak yang lebih sakti dari dirinya dan kelompoknya.

Tidak boleh ada orang atau siapa pun di sekitar kawasan Telomoyo, Merbabu dan Merapi yang mengungguli kesaktian orang-orang Nogo Kemuning. Jikalau ada orang itu harus dihabisi! Begitulah titah Pulanggeni kepada kelompoknya.

"Jadi apakah benar seperti kabar burung, bahwa Puserwening kini telah rata dengan air, gara-gara ulah seorang pemuda sakti? Bagaimana menurut pantauanmu, Margopati", tanya Pulanggeni di tengah pertemuan rembug ageng itu. Orang muda bernama Margopati itu pun, beringsut membetulkan tempat duduknya. Dengan hati-hati dia menjawab pertanyaan itu.

"Benar demikian, seperti saya lihat sendiri, sinuwun", ujar Margopati. Ucapannya itu didengar oleh semua orang yang hadir di pertemuan itu, dan membuat mereka berdecak satu sama lain. Mereka sedikit terkejut. Orang-orang gerombolan Nogo Kemuning tak ada yang menyangsikan akan kebenaran ucapan Margopati itu. Sebab Margopati adalah seorang telik sandi andalan, berkemampuan linuwih dan pasti berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai mata-mata. 

Rupanya Margopati adalah orang berpakaian petani yang melihat Puserwening yang telah menjadi danau, dari suatu tempat di Salengker, Sepakung kala itu.

"Coba teruskan bagaimana pelaporanmu", kata Pulanggeni.

"Saya melihat semua kejadian dari sebuah bukit batu, di Salengker. Bahkan sebelumnya saya sempat menyusup di antara orang-orang Desa Pathok yang sedang berpesta kesenian Kuda Lumping sebelum terjadi prahara di Puserwening itu. Menurut warga setempat, anak muda itu bernama Baruklinting. Dia berasal dari Jalegong. Sebelum saya menyingkir dari Salengker, saya mendengar kabar dari Rondo Kasihan, seorang perempuan yang berhasil selamat dari bencana alam di Puserwening. Dia berkata bahwa anak muda sakti itu hendak melanjutkan perjalanan menuju Merapi", kata Margopati menjelaskan. Pulanggeni menyimak baik-baik penjelasan itu. Dia menarik napas dalam.

"Jadi dia Baruklinting. Ke Merapi untuk tujuan apa, Margopati?", tanya Pulanggeni.

"Untuk tujuan apa, saya belum tahu, sinuwun. Tetapi saya pastikan bahwa dia cepat atau lambat akan menuju Merapi. Saat ini posisinya masih di sekitar Bukit Cinta di kaki Gunung Telomoyo", jawab Margopati.

"Lalu bagaimana langkah kita selanjutnya, sinuwun", tanya seseorang di ruang pertemuan itu. Dia adalah Ki Argoseto ahli peracik ramuan racun dan gendam di kelompok Nogo Kemuning. Pulanggeni menatap ke orang tua itu.

"Kita akan segera lakukan tindakan, Ki Argoseto", ujar Pulanggeni.

"Kita tak bisa membiarkan orang muda mengungguli pamor kesaktian kelompok kita. Jika diperbolehkan, utuslah saya untuk menghadang dan menghabisinya, sinuwun", kata Arya Jalu pemimpin divisi pasukan khusus bersandi "Bayangan Hitam" gerombolan itu.

Pasukan "Bayangan Hitam" adalah pasukan satuan elit Nogo Kemuning yang gerakannya sulit diketahui pihak musuh. Karena mereka bergerak bagai bayangan dalam kegelapan, lincah, gesit sekaligus berbahaya bagi lawan. Pasukan elit ini jumlahnya sekitar lima puluh orang pilihan kelompok Nogo Kemuning. Keberadaan pasukan khusus ini sudah dikenal keganasan dan kesaktian mereka di seluruh kawasan desa-desa sepanjang wilayah Merapi-Merbabu-Telomoyo.

            "Baiklah. Dengarkan titahku pada kalian semua", ujar Pulanggeni. "Aku sendiri yang akan memburu dan menghadang si Baruklinting itu. Dimas Arya Jalu bersama pasukan Bayangan Hitam ikutlah bersamaku. Sementara Margopati bersama tim telik sandi, bisa bergerak lebih dulu untuk berjaga pada beberapa titik jalur sepanjang Telomoyo hingga arah Merapi".

            "Kita akan rangket Baruklinting. Agar tak ada orang yang melebihi kesaktian kita, terutama di tempat kawasan Merbabu Selo Merapi ini. Apakah kalian semua siap bergerak?", pungkas Pulanggeni kepada semua anak buahnya di pertemuan itu.

            "Sendiko!", ujar gerombolan Nogo Kemuning secara serempak. Suara mereka bergemuruh memenuhi ruang pertemuan itu. 

Bukit Cinta, Tepi Rawapening

Sementara di suatu tempat, di Bukit Cinta suatu tepi danau Rawapening di kaki Gunung Telomoyo, Baruklinting bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke arah Merapi. Atas suatu wisik gaib dari keris Bethok Budho yang menyatu dalam tubuhnya, Baruklinting mendapat suatu pertanda bahwa letak Gunung Merapi berada di balik Gunung Telomoyo.

Lalu anak muda itu memateg suatu ajian kuno. Tubuhnya tampak merunduk ke tanah di samping sebuah pohon kelapa tua. Tinggi pohon kelapa itu sedikitnya limabelas meter dari permukaan tanah. Tiba-tiba Baruklinting menjejakkan kakinya ke tanah, lalu tubuhnya melenting bagai seekor belalang, melesat tinggi ke angkasa. Sejeda kemudian entah bagaimana, dia sudah tampak berada di pucuk pohon kelapa itu. Rambutnya yang tergerai, tampak berkibar-kibar tertiup angin. Lalu dengan gesit kakinya menjepit dan mematahkan sebuah pelepah kelapa itu. Pelepah yang kemudian lepas dari pokok pohon itu, sebelum jatuh ke bumi, Baruklinting telah meraihnya lebih dulu dengan tangannya.

Di pucuk pohon kelapa itu, Baruklinting dalam gerakan yang sangat cepat, tiba-tiba telah duduk bersila di bagian bonggol pelepah daun kelapa itu. Tangannya bersedekap dan wajahnya memandang lurus ke depan. Rambutnya yang tergerai, berkibar-kibar ke belakang tertiup oleh angin.

Baruklinting kini telah melayang bagai elang, bersama pelepah pohon kelapa yang dikendarainya. Gerakannya mirip nenek sihir mengendarai sapu ajaib seperti dalam dongeng anak di desa-desa. Kelak ajian terbang bersama pelepah pohon kelapa itu, orang menyebut sebagai ajian Blarak Sineret Bayu. Blarak adalah pelepah pohon kelapa, Sineret artinya diseret, Bayu artinya angin. Maka ajian Blarak Sineret Bayu artinya ajian terbang bersama pelepah pohon kelapa yang diseret oleh angin. Ajian ini termasuk ajian langka dan hanya sedikit orang linuwih di tanah Jawa yang mampu menguasai ajian ini.

Bersama pelepah pohon kelapa, Baruklinting meluncur tinggi, melewati awan-awan yang berarak, sesekali tampak menembus sekumpulan kabut, di pucuk Telomoyo. Sebagian rambutnya yang keluar dari ikat kepalanya berkibar-kibar terkena tiupan angin. Baruklinting telah membulatkan tekadnya bahwa dia benar-benar ingin menemui bapanya yang konon sedang bertapa di Gunung Merapi.

***

(Beersambung ke Episode #7 ) 

(Sebelumnya, di Episode #5 )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun