"Urip Kudu Mlaku"
"Suatu keadaan tak akan berubah, jika orang diam tak berbuat apa-apa. Dia seperti berada dalam cangkang sebuah telur. Namun Jika keadaan harus berubah, maka segala niat, tekad dan upaya harus dilakukan.
Cangkang telur harus dipecahkan, agar orang terbebas dari keadaan yang membelenggu.
Untuk menuju pada keadaan baru dan kesadaran baru itu, urip kudu mlaku! " -Â Guntur Geni Putra.Â
Note: CERBUNG ini fiktif, terinspirasi dari kisah kehidupan nyata, tutur para sepuh, literasi dan riset sederhana. Nama dan tempat dipakai untuk dramatisasi peristiwa, bukan mewakili nama tempat di dunia nyata. Kisah CERBUNG tak ada di dunia nyata!
***Â
PROLOG
Aku akan menceritakan suatu kisah. Tetapi jujur kukatakan isi kisahku ini tak banyak diketahui orang, atau cenderung disembunyikan. Ini tentang orang-orang linuwih, dimana mereka harusnya berbuat kebajikan lebih banyak bagi banyak orang. Tetapi faktanya tidak demikian.
Sampai kita akhirnya tahu, bahwa semua ini adalah tentang usaha hidup mulia, bermartabat, tetapi selalu dihadapkan pada ketidakadilan, perebutan kekuasaan, adudomba, irihati, intrik dan pengkhianatan. Mungkin orang akan menganggap kisahku tak pantas untuk diceritakan. Sebab berisi seolah mengumbar suatu aib di masa lalu.
Tetapi aku tak peduli. Sebab ini suatu pepeling, hal yang perlu diingat sebagai pembelajaran kolektif. Jangan pernah terjadi lagi peristiwa serupa. Atau jangan lagi ada hal buruk menimpa kita, dan anak cucu kita. Hal baik kita petik nilai manfaatnya, hal buruk kita tinggalkan.
Maka sekiranya itu disebut dosa-dosa sosial, peristiwa di masa lalu seharusnya diterima dan dimaafkan. Sebagian lagi harus dilarung dan diputus mata rantai kutukannya. Sehingga ke depan kita dan anak cucu lebih ringan menjalani kehidupan. Tanpa beban sejarah.
Konon sejarah itu kebohongan yang disetujui. Orang bilang alur sejarah ditulis oleh pemenang. Mereka lupa mengatakan bahwa seiring waktu berjalan, kisah sejarah dapat ditulis ulang. Diubah menjadi buku, ditulis oleh mereka yang kalah, atau yang tak pernah melaluinya. Â
Tetapi aku bukan seperti itu. Sebab aku pernah melaluinya. Semuanya bisa kuceritakan dengan lugas sebab aku memang terlibat dari awal. Langsung kulihat dan kudengar dari tutur sepuh di sekitarku, dan di Ndalem Sentana perdikan tempatku tinggal.
Kutulis semua ini di daun lontar, yang mungkin kelak lapuk oleh waktu. Tetapi aku tidak peduli. Setidaknya ini telah kulakukan demi kita dan generasi sesudah kita.
   Beginilah ceritaku
   Guntur Geni Putra
( Bumi Perdikan, Sirna Ilang Kertaning Bumi ) Â
***Â
Wujud Menggetarkan Bumi (#1)
Jalegong, Lereng Selatan Gunung Ungaran
Bulan belum sempurna menjemput malam. Semburat sinarnya yang keperakan bercampur kelabu tampak di punggung awan yang berarak perlahan di sebelah Barat. Sebagian sinar rembulan itu menerobos ke celah gerumbul pohon pinus yang bergoyang-goyang perlahan, tertiup angin lembah lereng gunung Ungaran. Bayangan gerumbul pohon pinus itu kemudian jatuh bersama sebagian sinar rembulan di pelataran Candi Sembilan di Jalegong; membentuk bayangan hitam dan menambah suasana mistis malam itu. Kerisik dedaun pohon yang saling bergesekan oleh hembusan angin lembah, dan suara burung Bulbul sesekali terdengar di kejauhan. Waktu seperti berjalan lambat di tempat itu. Malam telah larut, tetapi pagi masih jauh dari jangkauan.Â
"Akan kucari Bapaku. Dan kupertemukan ibu dan bapaku kelak di suatu tempat agar ibuku bahagia, utuh sebagai keluarga", tekad Baruklinting kepada dirinya sendiri. Dia baru saja meninggalkan ibunya. Dengan bulat hati dia memutuskan untuk mencari bapanya, yang konon sedang bertapa di Gunung Merapi.
Sebenarnya dia bisa dengan mudah memakai kesaktiannya untuk memulai perjalanannya itu. Misalnya dengan menggunakan ajian Kantong Macan yang dikuasainya, dia bisa menghilang di tempat itu lalu muncul dan menampakkan diri lagi di suatu tempat lain yang dia kehendaki. Bersama daya kesaktian Kantong Macan menjadikan dia mampu berteleportase atau berpindah tempat dalam waktu yang cepat. Tetapi tidak. Baruklinting tidak memakai ajian Kantong Macannya.
Cara lain yang bisa dipakainya adalah terbang memakai pelepah daun kelapa, lalu meluncur di angkasa melayang seperti kepakan seekor elang, atau seperti gerakan nenek sihir terbang bersama sapu ajaib seperti didongengkan oleh para orangtua ke anak-anak di desa. Ajian terbang naik pelepah pohon kelapa itu, disebut ajian Blarak Sineret Bayu. Baruklinting sebenarnya mampu melakukan hal itu. Tetapi tidak. Cara itu pun tidak. Baruklinting tidak memakai ajijaya kawijayan Blarak Sineret Bayu, walaupun jika dia mau Baruklinting bisa melakukannya dengan mudah.
Maka dalam pada itu, Baruklinting telah memantapkan diri berangkat mencari bapanya dengan cara tak lazim di kala itu, yaitu memakai ajian Sawer Tiwikrama. Ajian ini kuno dan sangat jarang orang di tanah Jawa yang menguasai ilmu kesaktian ini.
Sejurus kemudian Baruklinting duduk bersila di sebuah batu besar di pinggir hutan Sumowono perbatasan Jalegong. Dia bersedekap dan wajahnya menatap ke langit. Mulutnya mengucap suatu mantera kuno. Dia memateg mantera ajian Sawer Tiwikrama. Sawer artinya ular, Tiwikrama artinya perubahan wujud raksasa. Perubahan wujud ular raksasa yang dia kehendaki.
"Hyang Siro. Sun amateg aji sawer tiwikrama. Wadag iro jagad royo, jagad royo wadag iro. Dadya kanyasan digdya iro. Sawer tiwikromo yo iro. Branah srampah catu langin. Ingsun dityakala sawer dadya gede sak gede gunung anakan. Saka kersaning Gustiku, Gusti iro". Ujar Baruklinting sambil menarik udara dalam satu tarikan napas dalam.
Maka sejurus kemudian, tubuh pemuda itu mengeluarkan asap putih melalui pori-pori kulit tubuhnya. Asap putih itu bergerak semakin banyak menyelimuti sekujur tubuhnya yang bersila di atas batu besar itu. Secara perlahan tetapi pasti, tiba-tiba kulit tubuhnya telah berubah dipenuhi sisik-sisik kulit seekor ular. Lapisan kulit sisik ular itu berkilauan berwarna kuning kemerahan terkena pantulan cahaya rembulan malam itu, mirip lapisan sisik seekor Golden Red Arwana dalam kolam raksasa. Setiap sisik ular itu pun membesar ukurannya, seiringan dengan tubuh Baruklinting yang kemudian melar, memanjang seperti karet gelang, berubah wujud sebagai sosok seekor ular.
Sosok ular itu menggeliat, memanjangkan ukuran tubuhnya hingga sampai sepanjang ukuran tiga kali pohon kelapa tua, dengan garis tengah seukuran tampah anyaman bambu yang biasa dipakai petani memilah padi saat panen di sawah. Sisik-sisik ular itu pun telah dalam ukuran sempurna sebanding tubuhnya, berwarna kuning kemerahan dengan garis warna hijau kebiruan melintang dari sepanjang ekor hingga mendekati tulang rahangnya yang kokoh dan keras.
Kedua bola matanya bulat besar berwarna merah dalam garis lingkaran hitam, melihat kesana kemari; membuat ciut nyali siapa saja yang mencoba bertatapan mata dengannya. Pada kepala ular itu terdapat sepasang sungut yang panjangnya satu depa lebih, yang bergerak-gerak tak henti, seperti gerakan sungut seekor jengkerik raksasa.
Sebuah genta atau kelintingan menggantung sebagai kalung di leher ular besar itu. Bunyi genta itu bergemerincing terdengar setiap kali ular itu menggerakkan kepalanya. Kelak orang menyebut genta itu sebagai Genta Baruklinting!Â
Mulut ular itu memiliki sepasang taring panjang di bawah moncong dekat hidungnya. Mulut itu menganga menjulurkan lidahnya yang ujungnya bercabang berwarna merah, menjulur julur keluar seperti cahaya kilat di waktu malam. Di antara kedua bola mata ular itu, tepat di keningnya, terdapat batu pemata biru warnanya. Pancaran cahaya batu permata itu berpendar kesana-kemari terkena pantulan sinar rembulan malam itu. Kelak orang menamai batu permata ular itu sebagai Batu Mustika Baruklinting!Â
Baruklinting benar-benar telah berubah wujud sebagai ular Naga raksasa. Dia mendesis-desis, menimbulkan perasaan ngeri atau nggegirisi pada siapa pun mahkluk yang mendengar suara desisan ular itu. Bahkan jin dan bangsa prajineman di Gunung Ungaran tak mungkin berani mendekati Baruklinting. Para prajineman itu akan seketika merasa ciut nyalinya, seperti segerumbul daun tanaman putri malu beringsut tersentuh tangan pejalan kaki yang melintasinya.
Bumi seperti bergetar ketika Baruklinting telah sempurna sebagai wujud seekor ular raksasa. Baruklinting telah mampu berubah wujud berkat daya kesaktian yang dia miliki sedari lahir itu. Dengan wujud sebagai ular, Baruklinting lalu bergerak mencari bapanya.
Konon orang tuanya itu adalah seorang petinggi di suatu tanah perdikan di daerah pesisir Laut Selatan, dan orang itu sekarang sedang bertapa di Gunung Merapi. Baruklinting selalu teringat pada pesan ibunya, kala itu: "Bapamu adalah orang penting di suatu perdikan pantai Laut Selatan. Temuilah. dia sedang bertapa di Merapi". Â
Sekonyong-konyong tubuh ular dengan sisik-sisik yang keras sekeras lapisan baja itu menggeliat, lalu masuk amblas ke dalam bumi. Bergemerincing bunyinya, berasal dari genta yang melingkar di lehernya. Permukaan tanah mendadak bergetar dan retak mengelupas keluar bagaikan lapisan tanah yang terkelupas habis dibajak oleh sepasang kerbau di sawah. Baruklinting seperti membuldoser apapun yang ada di depan jalur perjalanannya. Pohon-pohon besar dan kecil bertumbangan. Bebatuan cadas rata dengan tanah. Sebagian terbelah berkeping keping, terlindas lintasan ular Naga sakti yang tengah mencari bapanya itu.
Baruklinting bergerak dari Sumowono turun ke lembah arah Banyubiru. Di sepanjang jalur yang dilaluinya, terbentuk alur sebuah sungai. Kelak sungai itu dinamai orang sebagai sungai Kali Panjang, dari kata Panjangka artinya tekad untuk mencapai suatu maksud atau tujuan. Sungai Kali Panjang terdapat melintas di desa Kerep, desa Panjang, dan membelah kawasan Ambarawa.
(BERSAMBUNG ke Episode #2 Â )
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H