Kita hidup untuk mati dan hidup lagi.
Ingat itu.
Ia terhentak. Kaget. di bawahnya terlihat tertanda Yuri Lestari. Nama itu menyeretnya untuk mengingat tragedi itu. Kejadian di ruang kelas, membantah apa yang belia sampaikan dengan serta merta telah menjatuhkan kredibilasnya sebagai seorang dosen yang telah mengajar selama 7 tahun. Hal itu nampak memalukan. Tanpa pikir panjang. Ia berteriak untuk mengeluarkan dari ruang kelas itu. Memang saat itu penuh emosi. Meski Yuri meminta ma'af berkali-kali tapi tak ia hiraukan. Karena baginya malu tidak dapat dihapus dengan kata maaf saja.
Sekarang ia membaca surat itu. Ia mengkroscek daftar hadir mahasiswa yang mengikuti ujian. Nama Yuri tak ada tanda tangannya. Tapi ini siapa yang menulis? Apakah benar-benar dari Yuri? Ataukah salah seorang temannya sengaja membawa pesannya? Pertanyaan itu terus berkecamuk. Ia memandangi kertas itu. Tak ada jawaban. Kemudian diakhiri dengan tarikan nafas dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H