"Sudahlah! jangan kau hiraukan, yang penting niat baik itu tetap ada di hatimu," pesan Tika kepada teman barunya Yuri. Berapa lama Yuri memendamkan asa ini. Menggelapkan tujuan, menikam keinginan hanya semata-mata untuk merubah prilaku di mata para dosennya. Namun sebaliknya semuanya itu menjadi sia-sia belaka, lantaran usahanya yang dilakukan selama ini tak kunjung membuahkan hasil.
Memang sudah diakui sendiri oleh Yuri. Tindakannya selama ini, memang patut disalahkan, patut dihukum. Tapi tidakkah seesorang punya keempatan untuk bertobat. Kembali kepada fitrah manusia, kembali melukis di atas kanvas baru, yang semestinya sehingga nampak keindahan dari rona-rona warna yang indah. Itu adalah keinginan manusia pada umumnya. Tidak lebih dari itu. Ingin dipandang baik di mata manusia lainnya.
"Nanti saja, itu urusanku. Kamu pergilah, saya di sini masih ingin sendiri", jawab Yuri.
"Tapi.. Inikan waktunya ujian?"
"Ya aku tahu. Tapi sudahlah. Lupakan saja. Saya sudah pikirkan masak-masak. Saya ingin mengulang kembali. Saya tidak ingin mereka menilai di saat aku masih menjadi sebuah gambar buruk di pikiran mereka."
Tika langsung memeluk Yuri. Ia tau perasaan temannya itu sedang tak menentu. Yuri butuh ketenangan. Mungkin itu adalah pilihan yang dapat dilakukan. Untuk meredam emosi dan gejolak antara niat baik dan sikap selama ini.
"Ya sudah! Saya berangkat dulu saja!" Tika beranjak dari tempatnya, pamitan berangkat kuliyah. "Kamu jaga diri baik-baik. Jangan biarkan pikiran kosong. Lakukan sesuatu untuk merubah mood."
Yuri mengangguk. Kemudian melanjutkan aktivitasnya. Berbaring, sibuk mengetik sesuatu di gadget. Ia mulai menuliskan beberapa kata untuk diposting di beranda media sosialnya.
Manusia terlahir fitrah
Dari apa manusia diciptakan, di situ manusia akan kembali padanya.
Adakah manusia yang suci dari debu?
Bahkan seorang nabi saja pernah ditegur?
Tidakkah kita lebih unggul dari nabi.
Bukankah kemulian itu ada pada kata "memaafkan"
Ingat kita hidup bukan untuk sekarang.
Kita hidup untuk mati dan hidup lagi.
Ingat itu.
Dia lalu membagikan kiriman itu. Kemudian meninggalkan hp tergeletak di tempat tidur.
***
Jam dinding menujukkan pukul 07.30 WIB. Itu artinya ia telat 30 menit. Buru-buru merapikan tempat tidur. Mencari buku merah, ditumpukan rak buku sebelah tempat tidur. Dengan pikiran kosong, tak mengerti apa yang ia lakukan. Lelaki muda itu langsung beranjak ke kamar mandi. Cuci muka dan mengemas apa saja yang dia butuhkan untuk ujian.
"Bangsat, di mana kacamataku?"
Ia mencari ke sana kemari tak menemukan. Kacamata baca untuk membantu menelaah kata dan kalimat dalam buku tak jua ditemukan. Ia lalu pergi berangkat tanpa kacamata. Kemudian menyetop taksi di depan rumah.
"Antarkan saya ke kampus FESBK" ujarnya kepada supir.
Ketika pintu kelas dibuka. Ia melihat seluruh mahasiswa telah datang menunggunya. Kemudian ia tersenyum kepada mereka tanpa mengucapkan ma'af. Ia tahu merekalah yang butuh dan sudah semestinya menunggu, meski telat.
Lembaran soal dibagikan satu persatu. Semua mahasiswa diam, sibuk mengerjakan soal filsafat yang rumit. Lelaki itu duduk di kursi dosen sambil mengawasi ujian.
"Waktu habis." Katanya. "Selesai nggak selesai langsung kumpulkan." Beberapa mahasiswa langsung berebut menyetorkan lembaran jawaban itu. Hari itu sengaja tidak langsung dinilai karena kata mata bacanya tertinggal di rumah. Ia hanya memeriksa siapa saja yang hadir untuk mengikuti ujian. Di tengah-tengah memeriksa lembaran jawaban itu, ia menemukan sebuah surat lipatan khusus dari buku tulis yang disobek. Ia membuka dan membacanya.
Manusia terlahir fitrah
Dari apa manusia diciptakan, di situ manusia akan kembali padanya.
Adakah manusia yang suci dari debu?
Bahkan seorang nabi saja pernah ditegur?
Tidakkah kita lebih unggul dari nabi.
Bukankah kemulian itu ada pada kata "memaafkan"
Ingat kita hidup bukan untuk sekarang.
Kita hidup untuk mati dan hidup lagi.
Ingat itu.
Ia terhentak. Kaget. di bawahnya terlihat tertanda Yuri Lestari. Nama itu menyeretnya untuk mengingat tragedi itu. Kejadian di ruang kelas, membantah apa yang belia sampaikan dengan serta merta telah menjatuhkan kredibilasnya sebagai seorang dosen yang telah mengajar selama 7 tahun. Hal itu nampak memalukan. Tanpa pikir panjang. Ia berteriak untuk mengeluarkan dari ruang kelas itu. Memang saat itu penuh emosi. Meski Yuri meminta ma'af berkali-kali tapi tak ia hiraukan. Karena baginya malu tidak dapat dihapus dengan kata maaf saja.
Sekarang ia membaca surat itu. Ia mengkroscek daftar hadir mahasiswa yang mengikuti ujian. Nama Yuri tak ada tanda tangannya. Tapi ini siapa yang menulis? Apakah benar-benar dari Yuri? Ataukah salah seorang temannya sengaja membawa pesannya? Pertanyaan itu terus berkecamuk. Ia memandangi kertas itu. Tak ada jawaban. Kemudian diakhiri dengan tarikan nafas dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H