Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lindungi Petani, Waspadai Korporat

18 Desember 2017   08:17 Diperbarui: 18 Desember 2017   08:24 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Antara.News

 Jika ingin lindungi Petani, benahi dulu sistem Pemilu agar tak lagi terjadi kolusi transaksional antara si pemilik modal dan kandidat, jika kesulitan, hapus saja Pemilihan Umum!

Perasaan dan akal pikiran tak lagi berkolerasi, hati mereka telah membeku begitupun wajahnya yang legam menghitam. Tak cukup sampai di situ mereka lupa siapa yang membayar mereka, mereka pikir pemilik modal, huhh seperti anak kecil saja. 

Ada anak kecil yang lebih mencintai saudaranya ketika lebaran-ketika mendapat THR darinya, begitupun Aparat penegak hukum. Melalui jutaan rupiah mereka gagah berani menginjak-injak para petani, tak segan-segan meratakan rumahnya dengan tanah hingga hancur melebur dengan satu alasan : Kesejahteraan!

Setelah mendapat kesejahteraan, dengan sorak sorai menyatakan keberhasilan ekonomi, pertumbuhan eknomi yang demikian dasyhat akibat suntikan modal asing. Membuat Investasi asing tak henti mendorong gairah baru, lapangan kerja terbuka lebar sehingga membuat Aparat semakin jumawa: saya telah memakmurkan negeri ini!

Para petani semakin dipinggirkan dengan kekerasan atas nama pembangunan maupun kepentingan para pemegang modal. Meski niatnya baik untuk memajukan perekonomian negeri ini, tetapi banyak lahan vital yang digusur setiap tahunnya.

Kebanyakan merupakan pemasok beras terbesar di masing-masing daerah mulai dari desa Sukamulyo, Desa Luwu Timur, hingga delapan desa di kurubuya kalimantan barat. Secara keseluruhan ada sekitar 450 konflik agraira 2.829.254 hekar menurut laporan konflik agraira konsorsium pembaruan agraira. Akibatnya Banyak petani dari desa-desa tersebut mengungsi dari kejaran Aparat kepolisian.

Tiga tahun yang lalu, elemen organisasi masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengajukan sidang uji materil terhadap beberapa pasal di Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Menurut para pemohon, konteks dan substansi Undang-Undang ini ternyata tak sebagus namanya, bahkan di dalamnya terselip agenda model pembangunan kekuatan modal besar yang akan meminggirkan petani kecil. Bagi elemen organisasi masyarakat Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tidak menjawab empat pokok persoalan agraria yaitu ketimpangan yang menyebabkan kemiskinan, konflik dengan kekerasan, kerusakan lingkungan membuahkan bencana, serta disharmoni peraturan perundang-undangan.

Atas dasar kemiskinan dan kerusakan lingkungan, bangsa ini telah lupa akan kemampuan dirinya, sebagai bangsa agraira yang pernah dijuluki negara berswasembada pangan 30 tahun yang lalu. Kepedulian pemerintah terhadap petani yang telah bekerja keras tiap harinya, mencangkul sawah demi sanak keluarga, semakin dihiraukan. Seakan mereka tutup kuping dan tak mau ambil pusing mengurusi keuntungan yang tidak pernah membuahkan hasil bagi golongan mereka. 

Berkongsi dengan Kapitalis selalu dijadikan kitab suci, bukan lagi UU Agraira, apalagi UUD 1945. Mereka telah membiarkan ribuan petani kelaparan, kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan meskipun mereka tahu rata-rata dari petani adalah rakyat miskin yang sebagian besar masih buta huruf. 

Jika dibiarkan maka pertanyaannya, darimana Petani menyambung hidup sedangkan mereka tak memiliki kemampuan untuk bekerja di sektor lain apalagi menciptakan lapangan pekerjaan-meski ada kecil kemungkinan namun Ratio-nya tidak seberapa.

 Indonesia negara hukum. Kalau hukum ditegakkan, ya sama-sama ditegakkan. Jangan cuma untuk urusan penggusuran

Demi pembangunan raksasa yang sudah jelas hanya akan menguntungkan segelintir orang, penulis berpendapat telah terjadi penyalahgunaan lahan ruang hidup di berbagai daerah. 

Realitas ini mengesampingkan hak atas tanah warga secara normatif (sertifikat tanah), sehingga perencanaan proyek tanpa dialog dan partisipasi warga petani akan menimbulkan kekerasan suatu saat. metode pengosongan paksa hampir seragam: menebangi pohon dan dibiarkan sisanya berserak dekat rumah warga; mengeruk jalan akses dari rumah warga ke jalan; mencabut meteran listrik; hingga merusak bangunan dengan alasan aset sudah dibeli untuk keuntungan para Korporat.

Ini selaras dengan UU no.2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umu, dalam regulasi tersebut, pemerintah harus menjaga keseimbangan antara kebijakan dan hak warga, disini artinya perlu adanya negoasiasi antar kedua belah pihak. Jika tidak sama sekali, maka sudah jelas ada banyak maladministrasi yang dilakukan pemerintah terhadap kawasan-kawasan agrairis selama ini.

Lindungi Petani

Konflik agraira paling panas akhir-akhir ini adalah yang terjadi di Kulon Progo, upaya pemerintah pusat saat ini sudah final yakni melakukan pembersihan total oleh Angkara Pura I sebagai kepanjangan presiden merujuk pada perpres No.98 tahun 2017.

Pembangunan bandara telah mencapai putusan pengadilan dimana proses ganti rugi akan dilakukan melalui proses konsinyasi. Ini yang menjadi tak wajar karena belum ada kesepakatan sama sekali. 

Seandainya begitu penulis menyarankan agar pemerintah melakukan negosiasi terlebih dahulu sebelum muncul konflik yang tak diperlukan. Membayar harga yang wajar kepada masyarakat setempat, meskipun sangat tidak masuk akal uang akan membayar segalanya, tentu tidak!

Jika dikatakan Sekretaris Daerah dipekerjakan di proyek pembangunan sebagai arsitek tidak sesuai tupoksi, begitupun kaum tani yang dipaksakan bekerja sebagai pramugari pesawat, atau pabrik-pabrik tekstil.

Semua elemen masyarakat, khususnya LBH harus benar-benar melindungi Petani. Ini disebabkan mereka memegang peran sentral dalam produksi pangan bangsa Indonesia. 

Akan hal ini kita harus melihat realitas dimana produksi beras menurun tiap tahunnya, bedasarkan data dari BPS, dapat dilihat Harga gabah kering giling untuk 2017 baik di tingkat petani maupun penggilingan mengalami kenaikan karena mulai terjadi penurunan produksi padi sehingga harga beras mulai naik sebagai akibat dari pembersihan lahan pertanian oleh pemerintah.

Demi keperluan pembangunan, berbagai proyek infrastruktur mulai dari jalan tol, hingga bandara pesawat dibangun di bekas lahan-lahan pertanian. Ini mungkin berpengaruh pada pereknomian namun tidak untuk stabilitas pangan. 

Meskipun argumentasi ini dapat disanggah atas dasar peningkatan taraf hidup masyarakat, tapi sepertinya keuntungan tersebut hanya menguntungkan segelintir elit. Makin banyak orang-orang kecil yang kesusahan memenuhi kebutuhan sehari-harinya, pada akhirnya kemandirian bangsa semakin diperparah setelah bangsa ini tak mampu lagi memproduksi beras, setelah bangsa ini kehabisan lahan untuk membangun sawah, setelah bangsa ini mengimpor sana-sini: duh.. memalukan!

Bedasarkan kebijakan publik, apa yang dilakukan pemerintah sekarang juga tak dapat dibenarkan sebab telah melanggar ketentuan paling mendasar yaitu "terpenuhinya kebutuhan publik" jadi tak bisa dibenarkan langkah mereka mengintimidasi para petani. 

Sepertinya pemerintah harus kembali belajar dalam membuat kebijakan, sepertinya pemerintah harus memakai nuraninya kembali, dan mempunyai ketegasan untuk menolak sokongan/rayuan binal korporasi meski rasanya tidak mungkin setelah elit pemerintah (ekekutif) mengemis-ngemis modal dari korporasi (pengusaha) sebelum ia terpilih sebagai Presiden, yah tak lain salah satu alasan mengapa para elit pemerintah saat ini lebih membela pengusaha daripada Petani disebabkan adanya kolusi Transaksional yang terjadi sepanjang Pemilu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun