Mohon tunggu...
Reza Maulana
Reza Maulana Mohon Tunggu... -

http://www.aqidah.info/about-me.html

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Haruskah Saling Menempelkan Kaki Bila Sholat Berjamaah ?

12 November 2015   13:02 Diperbarui: 20 Juli 2017   06:18 5837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahhirrohammirrohim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Mungkin pembaca yang hobi (alhamdulilah) sholat di masjid sering menemui hal ini, saat akan memulai sholat tiba-tiba orang disebelah kita sibuk menggeserkan kakinya untuk menempel di kaki kita dari berdiri rakaat awal hingga berdiri di rakaat akhir.

Hmm,  Saya pun sering mengalami hal tersebut, dan terus terang saya sangat tidak menyukainya.

Alasan saya hanya satu : GUNANYA BUAT APA…?

Mungkin jidat sebagian pembaca akan langsung membentuk huruf V membaca alasan saya se-simple itu hehehe… Tapi memang begitulah adanya kok, justru menurut saya menempel-nempelkan kaki itu malah mengganggu ibadah saya, ruang gerak saya jadi sempit karena kakinya dia pasti terbentang lebar “demi” mengejar kaki saya.

Lalu buntut-buntutnya saat takbir jadi tabrakan siku, saat sujut pun tabrakan tangan, saat duduk antara dua sujut jadi desak-desakan paha, siapa lebih kuat dia yang menang, dan saat duduk akhir ujung2nya saling tindih paha saking sempitnya tempat.

Benar-benar situasi yang sangat tidak “menyenangkan”, trus bagaimana saya bisa khusyuk kalau sdh begitu ? Perkara dia kok masih tetap bisa khusyuk sholatnya sih itu urusan dia, saya juga punya kepentingan di masjid ini, saya juga mau beribadah, dan ‘cara’ dia itu mengganggu sholat saya.

“Lho ? Itu kan perintah Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, kok kamu berani menentangnya ? “

Perintah yang mana bos…??? Ente mengganggu saya ibadah, saya sholat jadi gak khusyuk. Mana ada perintah Nabi yang bikin susah orang lain.

“Eh kamu kok begitu ? Kan ada haditsnya itu, shohih pula, memang mesti begitu, biar setan gak bisa lewat dan mengganggu kita sholat, kamu bisa masuk neraka kalau melawan begitu…”

Yah…Begitulah biasanya omongan orang atas alasan saya diatas. Jawaban klise dari jaman saya sekolah dulu. Udah jelas2 mengganggu orang eh malah mencari pembenaran dengan bawa2 hadits Nabi, perintah Nabi dan ancaman neraka… faktanya justru ente yang jadi setan, gangguin saya jadi gak khusyuk sholat kan ? Lagian setan itu mahluk gaib, gak terbatas ruang waktu, bahkan 100% gak bakal ngaruh buat setan meskipun kaki ente dijahit skalian ke kaki orang lain pas sholat jamaah kayak tadi.

Saya mau tanya, perintah Nabi itu sama dengan 'kebijaksanaan' Nabi atau ‘arogansi’ Nabi ? Kalau disebut ‘kebijaksanaan’ berarti ada alasan kuat kenapa beliau memerintahkan hal seperti itu, alasan yang dapat diterima logika manusia.

Nabi kan hidup di dunia manusia, mustahil rasanya kalau beliau bikin kebjaksanaan buat manusia tapi yang gak bisa masuk logika manusia. Jadi jangan juga bawa-bawa setan disini untuk dijadikan alasan.

Atau anggap saja saya setuju. Emang bener setannya (mungkin) jadi gak bisa lewat, karena itu, setannya masuk ke otak ente, trus bikin ente cuek bebek sama orang sekitar yang juga mau beribadah. Begitu.

Kenapa ? Mau marah sama saya ? Gak setuju dengan pendapat saya, gitu ? Oke, skrg saya tantang, coba kasih tau saya apa dalilnya ? Sebutin bunyi haditsnya dan itu riwayat siapa.

……???? ……???? ……????

Eng ing eng… dan seperti biasa, tong kosong nyaring bunyinya, gayanya sok nguasain hadits tapi ternyata cuma modal ikut-ikutan orang. Ternyata cuma bermodal denger dari kyai A, atau ustadz B, gak dipikirin lagi, gak dipelajari lagi, gak di analisa lagi, manut aja kayak orang buta diajak jalan.  Udah gitu pake acara ngotot pula.

Hedeeh…Lagak loe bos…

Ya sudahlah, mumpung masih ‘panas’ ayo kita buktikan dalil Hadits Nabi yang ente ributin tadi, yang (ternyata)  ente sendiri gak tau isinya itu, yang tadi katanya bisa bikin saya masuk neraka… wuih serem.

Hadits tentang menempelkan kaki saat sholat berjamaah.

Dari hasil pencarian saya, semua dalil tentang menempelkan kaki ini bersumber dari 2 Hadits di level Sahabat, sebagai berikut :

  1. Hadits dari Anas bin Malik

Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.  (HR. Al-Bukhari)

  1. Hadits dari An-Nu’man bin Basyir

An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: “Tegakkanlah shaf kalian!; Tegakkanlah shaf kalian!; Tegakkanlah shaf kalian!.  Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian”. Lalu An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.

(HR. Al-Bukhari kitab As-Shshahih, Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178, Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123)

Dengan melihat perawi hadits diatas, tentu kita (termasuk saya) sangat memaklumi bahwa hadits ini adalah shohih, apalagi yang nomor 2. Jadi kita sepakat ke absahan hadits ini tidak perlu diragukan lagi.

Sekarang mari kita analisa ‘makna’ isi hadits tersebut.

Meskipun telah saya baca berulang-ulang, saya tetap tidak menemukan adanya perintah menempelkan kaki disitu. Coba anda cermati, saya telah menebalkan kata-kata yang terucap dari mulut Nabi Muhammad SAW, selain dari kata2 yang saya tebalkan itu, menurut saya kata2 lainnya bukanlah terucap dari beliau. Itu adalah kata2 dari Anas dan Nu’man.

Perintah Nabi Muhammad sangat jelas, yaitu : “Tegakkan shaf kalian”, itu saja.

Pada hadits yang pertama, setelah Nabi memberi perintah, Anas bin Malik lalu berkata : “ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.”

Pada hadits yang kedua,setelah Nabi memberi perintah,  An-Nu’man bin Basyir lalu berkata : ”Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.”

Sangat jelas sekali bahwa Anas dan Nu’man itu sekedar “melihat” salah satu jamaah melakukan hal seperti itu. Mereka hanya bercerita bahwa mereka “melihat”, sekali lagi saya ulangi, mereka hanya “MELIHAT”. Itu saja. Sesederhana itu. Titik.

Bahkan siapa orang yang melakukan hal itu pun tidak disebutkan, atau dengan kata lain orang yang melakukan hal itu kemungkinan besar hanyalah jamaah biasa. Bila orang itu termasuk sahabat-sahabat utama Nabi Muhammad yang notabene sangatlah dekat dengan Nabi, maka pastilah nama orang itu akan disebutkan, demi menghormatinya.

Apabila Anas dan Nu’man melihat “seluruh” jamaah melakukan hal itu, termasuk para sahabat, maka hal tersebut dapat dikatakan hujjah (dalil/argumentasi).

Tentang hujjah ini, kalau bener hujjah maka bolehlah kita ikuti, berikut landasannya dari seorang ahli Ushul Fiqih yang mengatakan :

Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)

Nah, sekarang coba kita baca lagi kedua hadits diatas, apakah hal tempel menempel ini dilakukan semua jamaah ? atau hanya salah satu jamaah ? bisakah menjadi hujjah ?

Bahkan Anas bin Malik serta An-Nu’man bin Basyir sendiripun tidak melakukan hal itu ! Kata-katanya sangat jelas. Mereka ‘hanya’ melihat salah seorang jemaah melakukan hal itu. Titik.

Hal ini diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik sebelumnya diatas.

Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; “jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. “ [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]

Jadi Anas bin Malik bercerita bahwa beliau : melihat salah seorang jamaah melakukan hal tersebut dan jika hal itu ia lakukan juga maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas.

Tolong sepakat, kita gak usah membahas dan mempermasalahkan tentang ‘lari’ dan ‘keledai lepas’ nya, saya tahu, otak anda pasti sedang berbelok “menterjemahkan” hal itu, lebih baik kita fokus dulu ke permasalahan utama, acara tempel menempel kaki tadi. Setuju ?.

Nah, dari riwayat tambahan Ma’mar diatas, jelas berarti Anas bin Malik pun tidak melakukan acara tempel menempel kaki saat sholat berjamaah!

Oke, dalilnya sudah saya kasih, lalu saya mau tanya, tempel menempel kaki cara ente sholat itu ngikutin siapa bos…?

Ngikutin perintah Nabi nggak, ngikutin anjuran Anas nggak, ngikutin anjuran An-Nu’man jg nggak. Jadi ente mencontoh salah satu jemaah itu ya ? Jamaah yang gak jelas itu ? Hebat banget aqidah ente bos…

Saya bingung kok ente bisa ngotot paling bener gitu ? Pake acara ngancem saya bakal masuk neraka pula. Mentang situ pake gamis berpeci haji sedangkan saya pake kaos oblong bercelana jeans toh tetap saja ente gak berhak ngomong sembarangan. Ente istighfar dulu dah sono dipojokan.

Kepalang kita ngomongin pasal tempel menempel kaki dan kehadiran setan dalam shaf sholat. Ini saya menemukan 1 hadits lagi.

Dari Abdullah bin Umar r.a, Rasulullah bersabda :

“Luruskanlah shaf-shaf, sejajarkanlah pundak dengan pundak, isilah bagian yang masih renggang, bersikap lembutlah terhadap lengan teman-teman kalian (ketika mengatur shaf), dan jangan biarkan ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barangsiapa yang memutus shaf maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya).” [HR Abu Daud (666). Hadits shahih.]

Dalam hadits ini terdapat 4 perintah yaitu :

  1. meluruskan shaf
  2. mensejajarkan pundak dengan pundak
  3. mengisi bagian yang masih renggang
  4. jangan biarkan ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan.

Perintah pertama dan ketiga saya rasa jelas, perintah kedua dan ke empat itu perlu dianalisa.

Bila kita mensejajarkan pundak/bahu dengan pundak lainnya atas pengertian “ketinggian pundak”, sepertinya hal itu agak aneh, sebab tinggi tiap orang belum tentu sama, berarti tinggi pundak tidak dapat dijadikan patokan.  Yang lebih masuk akal adalah mensejajarkan bahu agar tidak ada yang lebih maju atau lebih mundur dari shaf saat posisi berdiri, pengertian ini juga sejalan dengan perintah pertama yaitu ‘meluruskan shaf’.

Perintah ke-4, jangan biarkan ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan. Sebelumnya, tolong di ingat bahwa kata-kata didalam kurung itu adalah bersifat kata bantu. Jadi pada dasarnya kata-kata tersebut sebenarnya tidak ada. Hal ini juga kerap digunakan pada tafsir arti ayat Al Quran.

Nah, bila kita merujuk pada kalimat tanpa kata bantu, perintah ke 4 adalah “jangan biarkan ada celah untuk syaithan”. Dan menurut saya, itu hanya kata kiasan saja.

Jadi saat sholat berjamaah kita mesti mengisi bagian yang masih renggang (perintah 3), jadi shafnya akan rapi dan teratur, agar kita pun enak sholatnya, nyaman, kita bisa lebih fokus dan khusyuk sholatnya jadi setan gak bisa (atau susah) mengganggu pikiran kita (perintah 4).

Memang saya sadari bahwa banyak ulama yang berpengertian tentang mensejajarkan pundak/bahu itu berarti merapatkan pundak/bahu dengan pundak/bahu jamaah lainnya, bahkan hingga menempel.  Karena bagi mereka kata bantu itu harus digunakan agar lebih memperjelas maknanya.

Sangat berbeda dengan pendapat saya tadi.

Lalu kenapa saya lakukan ini ? bukan karena saya merasa lebih pintar dari ulama atau si ahli tafsir, namun bila kata bantu tersebut dipakai, maka hal aneh yang akan muncul dipikiran. Seolah perintah itu bermaksud agar kita saling merapat/menempel tanpa celah sedikitpun dalam sholat supaya setan tidak bisa masuk atau melewati shaf. Kan begitu jadinya ?

Bila hadits itu benar2 mesti dipahami dengan kata bantu, maka pertanyaan saya hanya satu. Ngapain setan mau nyusup-nyusup dari celah shaf… ? Emang begitu apa kode etik si setan dalam kerja ?

Sudah sangat jelas dalam Al Quran, bagaimana cara setan mengganggu manusia.

 “Iblis menjawab : “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”  (QS. Surat Al A’raf : 16 – 17)

Ayat itu jelas menerangkan bahwa iblis (bosnya setan) ngomong soal Standard Operational Precedures (SOP) yang resmi dipakai perusahaannya, atau cara mereka dalam bekerja yakni mengganggu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Dan dia ngomong jujur pastinya, gila kalau iblis berani bohong di depan Allah.

Jadi meskipun bahu rapat tertempel, toh bagian lainnya tidak. Setan masih dapat mengganggu dari depan dan belakang tubuh, serta dari kiri dan kanan muka, pinggang, paha, betis, dan kaki yang terbuka lebar.

Jadi apa gunanya saling tempel menempel bahu ? Itu cuma bikin susah gerak saja pas sholat.

Masih gak mau terima ? Itu Al Quran bos, hebat banget kl ente berani meragukan Al Quran, Allah sudah ngomong sebegitu jelasnya, dan Allah juga berjanji memelihara omongannya (Al Quran). Tidak seperti hadits.

Kalau di Al Quran sudah sebegitu jelasnya, ngapain ngeributin hadits ? apalagi perkataan ulama yang jelas-jelas bukan Nabi begitu.

Tidak ada jaminan Allah bahwa Dia akan memelihara hadits. (makanya Islam di Indonesia ini banyak bergolongan umumnya karena perbedaan pemahaman makna Hadits, sadarilah itu).

Tentu saja kita (termasuk saya) mesti menghormati para ulama, kyai, ustadz dan semua guru agama Islam. Tapi permasalahannya, apakah mereka akan membela kita kelak di akhirat bila ternyata aqidah mereka yang kita ikuti itu ternyata dikatakan Allah salah ?

Kita sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan aqidah kita masing-masing.  Sumber segala ilmu adalah Al Quran dan Hadits, itupun berkali kali dikatakan Allah. Ingat, Al Quran ‘dan’ Hadits, Allah tidak mengatakan Al Quran ‘atau’ Hadits. Selalu dikatakan Al Quran dan Hadits. Pake kata ‘dan’.

jadi dahulukan Al Quran dalam mencari solusi atas setiap masalah, bila dirasa masih kurang jelas karena keterbatasan kita berpikir, maka kita harus merujuk ke Hadits. Tapi bila jawaban (kalimat) di Al Quran sudah sangat jelas ya sudah, selesai perkara.

Tentang aqidah dan perkataan para Imam, ulama, kyai, ustadz dan alim ulama lainnya, sebaiknya kita tidak boleh menelan mentah-mentah, karena mereka bukan sumber ilmu. Mereka hanya perantara, itu saja.

Bila kita mendapat ilmu dari mereka, ucapkan Alhamdulilah, tapi kita cek lagi terlebih dulu di Al Quran, kalau masih membingungkan maka cek lagi di Hadits, setelah semua proses itu dijalankan, dan setelah benar-benar kita yakini barulah kita amalkan, barulah ilmu tersebut dapat dikatakan sudah menjadi milik kita, sudah menjadi aqidah dan pemahaman kita sendiri.

Aqidah dan perkataan beliau-beliau itu hanya dijadikan referensi saja, hanya sebagai penguat aqidah kita. Dan emang udah seharusnya begitu. Al Quran dan Hadits lah yang mesti menjadi sumber ilmu kita.

Jadi gak ada tuh kasus kalau udah ngotot trus kalah debat jawabnya “wah saya gak ngerti, itu kan kata ulama A yang terkenal itu” atau “eh ini ustadz B yang ngomong begitu, beliau kan orang hebat” atau kalimat-kalimat pengecut lainnya yang melemparkan tanggung jawab pada orang lain seperti itu.

Jangan seperti kerbau di cocok hidungnya, baru juga denger doang udah manut buta kayak begini. Di cek saja nggak apalagi dipahami dalil sumbernya yang asli, eh tau-tau udah berani nyalahin orang lain, berani ngancam orang masuk neraka, hebat banget ente bos.

Nih, saya kasih tau lagi perkataan Allah, tentang sifat manut buta ente tadi. Coba baca baik2, trus direnungin maknanya.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra:36)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl : 116)

Silahkan buka Al Quran, cek ulang dulu, jangan juga ditelan mentah-mentah apa yang saya omongin ini. Bisa jadi saya yang khilaf, salah tulis ayat.

Sekarang terserah, mau tetap ngikutin sang ustadz idola itu, atau ngikutin Al Quran. Gitu ajalah.

Yang baca tulisan ini dan masih gak mau kalah, tetap mau ngajak debat, sono debat sama tembok aja. Ini aqidah saya sendiri, dan saya tidak memaksa situ ngikutin aqidah saya, jadi jangan paksa saya juga untuk hal yang sama.

Itu berarti mindset ente dan mindset saya beda, silahkan baca artikel saya tentang mindset disini : MIndset

Semoga bermanfaat.

Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Artikel asli dapat dibaca disini : Hukum tempel menempel kaki saat sholat berjamaah

Silahkan dibaca juga :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun