Mohon tunggu...
Aprilliyana Mustofa
Aprilliyana Mustofa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Nama: Aprilliyana Mustofa Nim: 43222010026 Prodi: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan: S1 Akuntansi Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   10:43 Diperbarui: 14 Desember 2023   11:18 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat oleh penulis

Durasi merupakan faktor kritis dalam Hedonistic Calculus, dan dalam kasus korupsi, dapat mencakup seberapa lama efek merugikan dari korupsi tersebut dirasakan oleh masyarakat. Korupsi yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dapat memiliki dampak yang lebih berkelanjutan dan merugikan, memberikan bobot lebih tinggi dalam perhitungan keseluruhan konsekuensi etis.

Kepastian atau ketidakpastian dalam hasil korupsi juga menjadi pertimbangan penting. Jika korupsi memiliki kemungkinan terjadi lagi atau menjadi norma dalam sistem, maka tingkat kepastian akan menjadi faktor yang mempengaruhi evaluasi etisnya. Ketidakpastian dapat meningkatkan tingkat penderitaan karena menciptakan ketidakstabilan dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Jumlah orang yang terlibat atau terdampak oleh korupsi juga menjadi kriteria penting. Semakin banyak orang yang merasakan dampak buruk dari korupsi, semakin besar jumlahnya dalam perhitungan Hedonistic Calculus. Korupsi yang merugikan banyak orang dapat dianggap lebih tidak etis dibandingkan dengan kasus yang hanya merugikan sedikit orang.

Saatnya terjadi adalah aspek penting dalam analisis Hedonistic Calculus. Dalam konteks korupsi, dampak jangka pendek atau jangka panjang dari tindakan tersebut dapat mempengaruhi penilaian etisnya. Misalnya, korupsi yang memberikan keuntungan segera mungkin memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan korupsi yang menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang.

Kemungkinan dampak yang terjadi lagi juga dapat menjadi kriteria yang relevan dalam menganalisis korupsi. Jika suatu sistem atau lingkungan mendukung dan memfasilitasi korupsi berulang, maka efek negatifnya dapat terus berlanjut. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana masyarakat mengalami penderitaan berulang karena korupsi yang tidak terkendali.

Kemurnian, atau sejauh mana suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan murni tanpa campuran penderitaan, dapat diartikan sebagai keberlanjutan kebijakan atau tindakan korupsi dalam jangka panjang. Jika suatu tindakan korupsi terus-menerus merugikan masyarakat tanpa adanya kompensasi atau perbaikan, maka dapat dianggap memiliki dampak yang kurang murni.

Dalam konteks kejahatan korupsi, faktor kemungkinan sanksi hukum juga perlu dipertimbangkan. Hedonistic Calculus dapat membantu memahami apakah ancaman atau penerapan hukuman memiliki potensi untuk mengurangi tingkat korupsi dengan menciptakan kepastian bahwa tindakan tersebut akan dihukum.

Penerapan Hedonistic Calculus dalam analisis korupsi dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsekuensi etis dari tindakan tersebut. Dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria ini, kita dapat mengukur dan membandingkan tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang dihasilkan oleh korupsi dalam masyarakat. Analisis ini dapat membantu pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat untuk membuat keputusan yang lebih informasional dan berdasarkan data untuk mengurangi dampak negatif korupsi dan mempromosikan kesejahteraan sosial.

Selain itu, dalam menerapkan Hedonistic Calculus untuk menganalisis fenomena kejahatan korupsi, perlu juga mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan politik yang dapat memengaruhi penilaian terhadap konsekuensi etis. Bentham menciptakan Hedonistic Calculus dalam konteks utilitarianisme, yang menekankan pada prinsip kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Namun, keterbatasan metode ini muncul ketika menghadapi realitas kompleksitas kehidupan sosial.

Dalam banyak kasus, korupsi dapat terjadi dalam konteks budaya tertentu di mana praktik korupsi dianggap sebagai norma atau bahkan diterima sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat. Hedonistic Calculus mungkin kurang efektif dalam mengukur dampak korupsi dalam budaya seperti ini, di mana beberapa orang mungkin menganggap kebahagiaan mereka terkait erat dengan keberhasilan atau keuntungan pribadi yang diperoleh melalui tindakan korupsi.

Selain itu, aspek keadilan dan distribusi hasil dari tindakan korupsi perlu diperhitungkan. Meskipun Hedonistic Calculus mengevaluasi jumlah keseluruhan kebahagiaan dan penderitaan, mungkin tidak secara langsung menangkap ketidaksetaraan yang mungkin timbul dari tindakan korupsi. Jika korupsi menyebabkan redistribusi sumber daya atau peluang yang tidak adil, maka aspek keadilan sosial dan distribusi kebahagiaan perlu diperhatikan secara khusus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun