Mohon tunggu...
Apriliyantino
Apriliyantino Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pendidik, penulis dan editor

Hidup telah mengajarkan seorang lelaki asal Lubuk Seberuk ini untuk yakin pada satu hal, yaitu takdir. Ia tertulis dan fixed sejak sebelum segala kejadian terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Road to 2045: Pemuda, Tantangan, dan Harapan

17 Mei 2020   21:09 Diperbarui: 17 Mei 2020   21:22 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun itu Indonesia memiliki komposisi penduduk yang berada pada puncak "Deviden Demografi" atau "Bonus Demografi". Saat itu, 70% penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) dimulai dari rentang tahun 2020-2045. Kondisi ini tentu menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kita semua sebagai warga bangsa.

Kegagalan dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan emas tersebut akan menjadi blunder bagi kita semua. Akan menjadi sumber masalah serius, sebab semakin meningkatnya masalah social; kemiskinan, kesehatan, lapangan kerja dan tentu saja kriminalitas yang meningkat tajam. Fakta ini tidak bisa dihindari, sebab statistik memang telah memprediksi demikian. 

Angka kelahiran yang tinggi akhir-akhir ini---akibat adanya perbaikan kualitas hidup, meningkatnya keamanan dan taraf ekonomi sebagaian besar masyarakat kita. Oleh karena itu, perlu usaha dan persiapan yang serius dalam menyongsong bonus demografi tersebut.

Sebaliknya, apabila kita sukses memanfaat peluang ini, maka kita akan mampu melompat sebagai satu bangsa menengah ke maju. Sejarah mencatat sejumlah negara mencapai kesejahteraan sebagai hasil dari bonus demografi yang termanfaatkan dengan baik (Anis Matta,  Gelombang Ketiga Indonesia: hal. 73). 

Hal ini pernah dilakukan oleh bangsa Amerika Serikat (1970) pasca Perang Dunia II dan juga bangsa Jepang (1965) setelah bangkrut akibat bom Hirosima dan Nagasaki. Begitu juga dengan Hongkong dan Singapura (1980), Korea (1985) dan China baru pada tahun 1990. Lihatlah bangsa-bangsa besar ini. Sebagian mereka sama-sama sempat mengalami berbagai kebangkrutan, akan tetapi akhirnya mampu bangkit karena berhasil memanfaatkan momentum "Bonus Demografi". Sekarang tinggal bagaimana kita menyadari semua fakta ini, untuk segera berbenah dan kemudian bangkit. Semua kebangkitan, tentu harus dimulai dari satu unit terkecil suatu bangsa; yaitu keluarga.  

Pemerintah Indonesia telah memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Isinya adalah rencana terkait pencanangan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025. 

Pada tahun itu Indonesia direncanakan telah menjadi negara maju, mandiri, makmur dan adil. Pendapatan perkapita yang menjadi target berada di angka 15.000 USD. Selain itu, Indonesia ditargetkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Sehingga nanti pada tahun 2045, Indonesia didorong menjadi salah satu dari tujuh kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD 47.000.  

Semua hal tersebut di atas tentu tidak didapat dengan mudah. Ibarat harta karun, ia perlu dicari---dieksplorasi dan digali dengan penuh kesungguhan. Semua pihak harus dilibatkan---sebab ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh segelintir orang atau bahkan negara saja. Sebagai sebuah agenda besar, maka semua elemen bangsa harus terlibat dan diikutsertakan. 

Setiap kita bisa mengambil peran sekecil apapun. Kita mulai dari diri sendiri dan keluarga. Setelah keluarga dipastikan memiliki kemampuan untuk menyiapkan generasi unggul, selanjutnya adalah kurikulum pendidikan di sekolah yang membutuhkan perhatian serius.      

Kurikukulum pendidikan yang mampu mengakomodir antara pengaruh kemajuan informasi dan teknologi, antara keinginan bebas dan normal yang membatasi---sangat dibutuhkan untuk menyambut bonus demografi. Maka lahirlah berbagai strategi pendidikan yang digulirkan, mulai dari pendidikan berbasis karakter dan terakhir, karena adanya pandemi global COVID-19, muncul pula kurikulum darurat pandemi---sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya, ketika belajar dialihkan ke rumah. Semua berubah begitu cepat dan serba tak terduga. Konsekuensi logis dari semua fenomena ini adalah perluanya suatu struktur kurikulum yang dinamis dan adaptable terhadap semua kondisi.

Lembaga pendidikan, sebagai ujung tombak pelaksana system formal di sekolah, perlu memiliki naluri yang dinamis dan inovatif dalam menghadapi arus perubahan. Generasi millennials, yang cenderung cepat 'mature' akibat terpapar arus informasi, menjadi tanggungjawab yang tidak ringan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun