Oleh; Apriliyantino, S.Pd.*
Generasi muda adalah harapan bangsa. Kalimat ini telah popular entah sejak kapan. Lima deret kata-kata yang ada di dalam kalimat nominal tersebut terdengar ringan di lisan, namun berat diwujudkan. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan segera dilakukan untuk membuat kalimat tersebut benar-benar berwujud nyata.Â
Lantas, apa yang perlu dikerjakan dan siapa yang bertanggungjawab terhadap "harapan" kepada diri para pemuda tersebut? Tentu saja ini membutuhkan sebuah kesepahaman yang bisa diterima oleh semua pihak yang diberi beban. Harus ada sinergi yang selaras dan seimbang, antara orangtua, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara. Â Â
Untuk mewujudkan lahirnya generasi harapan bangsa, setidaknya ada tiga hal besar yang menentukan keberhasilannya. Ketiganya tidak boleh ada yang diabaikan, sebab satu hal saja terabaikan, kacaulah semuanya.Â
Yang pertama, peran orangtua di dalam mengawal pendidikan keluarga. Kedua, peran sekolah---beserta perangkat kurikulum---yang tidak setengah-setengah (kurikulum yang komprehensif dan terpadu). Yang terakhir, kebijakan pemerintah---dalam hal ini besar kaitannya dengan kebijakan dan anggaran pendidikan (20%). Ketiga faktor ini saling terkait---berkelindan.
Peran orangtua menjadi titik tolak dominan dalam menyiapkan generasi yang memenuhi kualifikasi "harapan bangsa". Walau bagaimanapun, dari keluargalah pendidikan anak dimulai. Dari sanalah kurikulum paling dasar diterapkan kepada seorang anak; tentang bagaimana menjadi manusia, menjadi bagian dari entitas yang lebih besar---keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.Â
Di dalam lingkungan keluarga, anak-anak dibina sejak belia tentang dasar-dasar nilai dan norma untuk bisa hidup berterima dan diterima. Orangtua, terutama ayah---menjadi figur sentral dan menentukan dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan kepada anak-anaknya. Selain tentu saja dibantu oleh adanya seorang ibu---sebagai madrasatul ula. Di tangan seorang ayah kendali nahkoda keluarga berada. Para ayah menjadi pemimpin yang dominan terhadap keberhasilan di tahap ini.
Menyiapkan figur generasi harapan bangsa yang qualified, hendaknya menjadi agenda besar bersama setiap keluarga. Untuk itu, perlu adanya kesatuan visi yang segera diterjemahkan dalam misi di sebuah keluarga. Visi yang memandang bahwa setiap anak adalah anugerah dan sekaligus amanah yang tidak ternilai.Â
Memahami ini, tentu perlu adanya dorongan---berupa pendampingan dan penyuluhan terhadap setiap keluarga secara nasional dari negara. Ketahanan keluarga menjadi kata kunci bagi ketahanan bangsa. Keluarga kuat, berkualitas---lahir dan batin---akan mendorong semakin kokohnya bangsa dan negara.Â
Tanpa usaha yang terus-menerus dalam mengawal keluarga-keluarga di seluruh tanah air oleh negara, dengan memperhatikan kondisi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan mereka, maka akan sulit menyiapkan generasi yang unggul guna menyongsong bonus demografi di tahun 2045.
Jika kita berhitung, maka akan kita dapati bahwa pada tahun 2045 tersebut merupakan seratus tahun NKRI berdiri. Ini menjadi momentum seratus tahunan yang bisa dikonversi menjadi keuntungan dan lompatan besar suatu bangsa. Apalagi jika kita melihat pada proyeksi jumlah penduduk di tahun tersebut.Â
Pada tahun itu Indonesia memiliki komposisi penduduk yang berada pada puncak "Deviden Demografi" atau "Bonus Demografi". Saat itu, 70% penduduk Indonesia dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun) dimulai dari rentang tahun 2020-2045. Kondisi ini tentu menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kita semua sebagai warga bangsa.
Kegagalan dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan emas tersebut akan menjadi blunder bagi kita semua. Akan menjadi sumber masalah serius, sebab semakin meningkatnya masalah social; kemiskinan, kesehatan, lapangan kerja dan tentu saja kriminalitas yang meningkat tajam. Fakta ini tidak bisa dihindari, sebab statistik memang telah memprediksi demikian.Â
Angka kelahiran yang tinggi akhir-akhir ini---akibat adanya perbaikan kualitas hidup, meningkatnya keamanan dan taraf ekonomi sebagaian besar masyarakat kita. Oleh karena itu, perlu usaha dan persiapan yang serius dalam menyongsong bonus demografi tersebut.
Sebaliknya, apabila kita sukses memanfaat peluang ini, maka kita akan mampu melompat sebagai satu bangsa menengah ke maju. Sejarah mencatat sejumlah negara mencapai kesejahteraan sebagai hasil dari bonus demografi yang termanfaatkan dengan baik (Anis Matta, Â Gelombang Ketiga Indonesia: hal. 73).Â
Hal ini pernah dilakukan oleh bangsa Amerika Serikat (1970) pasca Perang Dunia II dan juga bangsa Jepang (1965) setelah bangkrut akibat bom Hirosima dan Nagasaki. Begitu juga dengan Hongkong dan Singapura (1980), Korea (1985) dan China baru pada tahun 1990. Lihatlah bangsa-bangsa besar ini. Sebagian mereka sama-sama sempat mengalami berbagai kebangkrutan, akan tetapi akhirnya mampu bangkit karena berhasil memanfaatkan momentum "Bonus Demografi". Sekarang tinggal bagaimana kita menyadari semua fakta ini, untuk segera berbenah dan kemudian bangkit. Semua kebangkitan, tentu harus dimulai dari satu unit terkecil suatu bangsa; yaitu keluarga. Â
Pemerintah Indonesia telah memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Isinya adalah rencana terkait pencanangan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025.Â
Pada tahun itu Indonesia direncanakan telah menjadi negara maju, mandiri, makmur dan adil. Pendapatan perkapita yang menjadi target berada di angka 15.000 USD. Selain itu, Indonesia ditargetkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Sehingga nanti pada tahun 2045, Indonesia didorong menjadi salah satu dari tujuh kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD 47.000. Â
Semua hal tersebut di atas tentu tidak didapat dengan mudah. Ibarat harta karun, ia perlu dicari---dieksplorasi dan digali dengan penuh kesungguhan. Semua pihak harus dilibatkan---sebab ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh segelintir orang atau bahkan negara saja. Sebagai sebuah agenda besar, maka semua elemen bangsa harus terlibat dan diikutsertakan.Â
Setiap kita bisa mengambil peran sekecil apapun. Kita mulai dari diri sendiri dan keluarga. Setelah keluarga dipastikan memiliki kemampuan untuk menyiapkan generasi unggul, selanjutnya adalah kurikulum pendidikan di sekolah yang membutuhkan perhatian serius. Â Â Â
Kurikukulum pendidikan yang mampu mengakomodir antara pengaruh kemajuan informasi dan teknologi, antara keinginan bebas dan normal yang membatasi---sangat dibutuhkan untuk menyambut bonus demografi. Maka lahirlah berbagai strategi pendidikan yang digulirkan, mulai dari pendidikan berbasis karakter dan terakhir, karena adanya pandemi global COVID-19, muncul pula kurikulum darurat pandemi---sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya, ketika belajar dialihkan ke rumah. Semua berubah begitu cepat dan serba tak terduga. Konsekuensi logis dari semua fenomena ini adalah perluanya suatu struktur kurikulum yang dinamis dan adaptable terhadap semua kondisi.
Lembaga pendidikan, sebagai ujung tombak pelaksana system formal di sekolah, perlu memiliki naluri yang dinamis dan inovatif dalam menghadapi arus perubahan. Generasi millennials, yang cenderung cepat 'mature' akibat terpapar arus informasi, menjadi tanggungjawab yang tidak ringan.Â
Berbagai kemajuan yang sedang bergulir, disertai pula dengan adanya dekandensi moral yang menjadi penumpang gelap. Kemerosotan moral, sikap serba masa bodo dan cenderung 'nakal' yang mereka perlihatkan, sebagiknya disikai dingin dengan pendekatan yang baik. Hal ini untuk menekan angka pelanggaran yang seolah mereka tunjukkan sebagai ajang "cari perhatian" dan "aktualisasi" diri.Â
Dengan pendekatan yang humanis, mengayomi dan merangkul generasi calon pemimpin di periode puncak bonus demografi 2045 ini, tentu kita telah ikut mengawal "harta karun" bangsa ini.Â
Berbagai system pendidikan, sebaiknya mulai menerapkan pola-pola yang terpadu---untuk membentuk generasi yang yang seimbang antara intak dan ipteknya. Sebagi misal, sekolah-sekolah menerapkan kruikulum Islam Terpadu, sebagai jawaban atas adanya masalah dikotomi---Sekolah Umum dan Agama.
Terakhir, pemerintah tentu menjadi sandaran pokok dari sisi kebijakan pendidikan. Termasuk di dalamnya terkait dengan nasib para guru. Menyiapkan generasi emas 2045 tentu harus juga menyiapkan para guru yang akan mengawal rencana dan target besar---mengubah peluang menjadi keuntungan pada puncak "Bonus Demografi" nanti.Â
Negara harus benar-benar hadir, anggaran pendidikan yang sudah dicanangkan sebesar 20% itu harus bisa dimaksimalkan penggunaannya. Akhirnya, jika semua bisa bersinergi dan berkolaborasi, pemuda yang digadang-gadang sebagai harapan bangsa benar-benar teruwujud. Mari, bergandengan tangan memanfaatkan peluang, dan menjadikannya momen kebangkitan!
*)Penulis adalah pendidik, editor dan penulis
Referensi:
Â
2. Â https://keluargaindonesia.id/kabar/generasi-emas-2045-harta-karun-itu-bernama-bonus-demografi
3. Â https://www.wartaekonomi.co.id/read118955/momentum-bonus-demografi-jangan-sampai-lepasÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H