Mohon tunggu...
Lovely April
Lovely April Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Follow FB : https://www.facebook.com/lovely.april999

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mantra

27 April 2024   16:32 Diperbarui: 5 Mei 2024   06:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meisya melangkah cepat dengan nafas memburu. Nenek berkebaya hitam dengan rambut  tergelung di atas kepala itu masih mengikutinya. Sesampainya di ujung jalan, Meisya membalikkan badannya. Mereka berhadapan-hadapan sekarang. Wanita tua itu menatap Meisya dengan mata menyorot tajam. Mata itu memancarkan daya magis yang seakan bisa menembus hingga ke relung jiwanya.

"Siapa Anda? mengapa anda mengikuti saya sejak tadi? " Meisya melempar pertanyaan yang sejak tadi ingin ditanyakannya pada sosok wanita itu. 

Dadanya naik turun, mengatur nafasnya yang tak beraturan. 

Wanita tua itu bukannya menjawab, melainkan justru berkomat-kamit membaca rangkaian frasa yang terdengar aneh di telinga Meisya. Kalimat yang dibaca berulang-ulang dengan artikulasi tak jelas. Kemudian, dengan gerakan sangat cepat, wanita tua tersebut meniupkan bacaannya tersebut ke tubuh Meisya. 

Meisya menarik tubuh untuk menghindar, namun tak bisa. Ada kekuatan tak  kasat mata yang menahannya sehingga badannya tak dapat digerakkan. Meisya mendengar suara angin yang berhembus kencang yang berputar-putar lalu menyambar tubuhnya. 

Dan, Meisya pun terjaga dari tidurnya. Jantungnya berdetak kencang.  Firasat apakah mimpinya tadi ? ia bertanya dalam hati, seraya mengusap keningnya yang berpeluh. 

***

Rabu sore. 

Meisya tengah di kantornya, bersiap untuk pulang. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada notifikasi pesan masuk. 

Meisya membuka pesan Whatsapp masuk. Sesaat, kedua mata indahnya menyipit dan dahinya berkerut. Sebuah pesan berisi sapaan manis selamat sore dikirim dari nomor asing yang tak dikenalnya. Meisya membuka foto profilnya dan terkejut melihat foto yang terpampang di sana. Edwin?

Hmmm, sudah setahun lebih ia tak pernah jumpa dengan Edwin. Edwin adalah seorang pria yang telah bertahun-tahun berjuang mendapatkan hatinya. 3x pria itu menyatakan cinta pada Meisya dan sebanyak 3x pula lah Meisya menolak dengan halus. Cinta Edwin bertepuk sebelah tangan, karena Meisya tak memiliki perasaan yang serupa dengannya. Meisya hanya menganggapnya sebagai teman biasa. 

Edwin menghubunginya dan meminta kesediaan Meisya untuk bertemu dengannya. Sekedar silaturahmi tak ada salahnya, pikir Meisya. Meisya pun  mengiyakan ajakan Edwin. 

Jumat sore. 

Mereka bertemu di cafe di bilangan Cilandak. 2 insan manusia dengan 2 hati yang saling bertolak belakang berjumpa. Sang pria, dengan cintanya yang panas membara dan sang wanita yang sedingin es. Awalnya seperti itu.

Namun yang terjadi setelahnya tidak demikian lagi. Sepulang dari pertemuan mereka sore itu, Meisya merasakan hatinya berubah. Hati yang dulu dingin kini laksana dibakar oleh kayu di tungku api sehingga hangat. Meisya mulai merasakan senandung renjana mengalun di hatinya. Ia mulai sering membuka-buka foto Edwin yang ada di galeri ponselnya. Rasa iba terbit di sanubarinya karena beberapa kali menolak cinta pria itu. Padahal cinta Edwin besar terhadapnya. Apakah aku terima saja cintanya jika ia mengungkapkan cinta lagi? apakah ia adalah jodohku? pikiran Meisya dipenuhi berbagai pertanyaan. Hatinya kini juga sering berbunga-bunga jika teringat Edwin. 

"Meisya, apakah aku ini sedang tidur dan bermimpi indah? " tanya Edwin padanya kala suatu sore mereka jalan-jalan berdua di pantai.

"Apa maksudmu, Win? kamu tidak sedang tidur, tapi kamu sedang di pantai bersamaku, "sahut Meisya setengah heran dengan pertanyaan Edwin. 

"Justru karena itu aku bertanya. Nyatakah ini, aku sedang menggandeng tangan gadis yang begitu kucintai ? yang dulu, ehm pernah menolak cintaku 3x, "Edwin tersenyum seraya merengkuh jemari wanita yang entah mengapa telah membuatnya terobsesi sedemikian rupa. 

Meisya tersenyum manis, semanis sang mentari sore yang sebentar lagi akan terbenam. 

"Ini nyata, Edwin. Bukan mimpi," ujar Meisya. 

Edwin menatap gadis di hadapannya Sekelebat ada perasaan bersalah melintas di benaknya. Rasa bersalah pada gadis yang dicintainya. Rasa yang hanya ia sendiri yang tahu.

Matahari mulai berangsur menghilang di bawah garis cakrawala. Langit terlihat berwarna merah berhias gradasi jingga. Swastamita nan elok rupawan, menjadi saksi asmaraloka Edwin dan Meisya. 

***

3 bulan setelah merajut tali kasih, Edwin mengatakan pada Meisya bahwa ia hendak melamar gadis itu. Meisya sangat bahagia.

Setiap malam, gadis itu merasakan rindu yang bertalu-talu pada Edwin. Terkadang, ia sampai kurang tidur karena berkhayal tentang dirinya dan kekasihnya itu. Rasa cinta yang besar ini nampaknya hanya akan terobati dengan menerima lamaran pria itu. Karena nantinya mereka akan selalu bersama. 

Wanita itu tiba-tiba menangis.

"Bagaimana bisa dulu aku menolak cintamu, Edwin ? ternyata aku sangat mencintaimu, maafkan aku yang dulu, "gadis pemilik hidung mancung dengan sepasang mata indah bak bintang kejora itu memeluk foto Edwin sembari terisak-isak. 

Namun sejurus kemudian, isaknya itu  berubah menjadi tawa. 

"Tapi, yang penting sebentar lagi aku akan jadi nyonya Edwin Saputra. Dan kita akan punya anak-anak yang lucu, Edwin. 1 anak lelaki dan 1 anak perempuan ya? oh apa, terserah Tuhan kasih ke kitanya apa ? baiklah sayangku, " Meisya tertawa  sendiri, seolah-olah ia sedang berbicara dengan Edwin. 

Tanpa disadari oleh gadis itu, sepasang mata tajam mengawasinya dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. 

"Adikku bertingkah aneh. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi padanya,mungkin  betul apa yang dikatakan pakde haji Firdaus, "batin sosok tersebut, yang tak lain adalah Yoga, kakak Meisya. 

Yoga paham betul Meisya tak pernah membalas cinta Edwin sejak dulu. Bahkan Meisya sering kabur jika pemujanya itu mencarinya. Yoga tahu karena mereka bertiga kuliah di kampus yang sama. Edwin bukanlah type pria yang disukai adiknya itu. Dan lagi, Yoga melihat sosok Edwin masih kekanakan, belum matang secara emosional. Yoga khawatir Edwin kelak akan melukai Meisya. 

Beberapa hari yang lalu, pakde Firdaus kakak sulung bapak menelponnya. Pakde mengatakan bahwa ia mendapat firasat Meisya terkena mantra-mantra. Dan pakde berpesan padanya untuk mengajak Meisya menemuinya. 

Walau setengah tak percaya, pada akhirnya Meisya mau diajak ke rumah pakde Firdaus. Pakde hanya membacakan doa saja dan meniupkannya pada wajah Meisya. 

"Pakde berdoa, semoga Tuhan selalu melindungimu. Dan bila ada energi tak baik yang mengikatmu, maka akan terlepas" ujar pakde Firdaus, yang memang memiliki kepekaan terhadap hal yang tak kasat mata. 

Meisya merasakan ada energi yang sejuk meliputi badannya. Energi tersebut mengaliri sekujur tubuhnya, lalu menghilang. Bersamaan dengan energi tersebut hilang, perutnya terasa mual, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Sesosok wanita tua berkebaya hitam berkelebat !

"S... siapa itu tadi, pakde? " tanya Meisya ketakutan. 

"Bukan siapa-siapa, " pakde Firdaus hanya tersenyum. 

Meisya merasa seram dengan yang barusan dilihatnya. Samar-samar, ia mengenali nenek tua yang berkelebat tadi. Hei, bukankah dia adalah si nenek tua yang datang ke mimpinya beberapa bulan lalu ? yang mengejar dan membacakan mantra padanya ! 

"Masih mau menikah dengan Edwin? " Yoga bertanya pada Meisya, memecah lamunan gadis itu. 

Meisya terdiam sejenak. Ah, kemana perginya rasa rindu menggebu-gebu terhadap Edwin yang melandanya setiap saat ? kenapa hatinya justru ingin marah pada pria itu? apa yang terjadi padaku? Meisya bingung. 

Ponsel Meisya berdering. Nama Edwin muncul di layar ponselnya. 

Entah mengapa, Meisya tak berharap Edwin menghubunginya. Duh, kenapa aku bisa menjadi pacarnya? keluh Meisya. Bahkan ia telah mengiyakan rencana Edwin untuk melamarnya. Apa yang terjadi bila semua itu terlanjur terjadi, sementara sejatinya ia tak mencintai pria kekanakan itu ? wajah Meisya pucat pasi. 

Suara panggilan telepon dari Edwin berdering kembali. Hati Meisya resah. Dengan gamang dipandanginya gawai di tangannya. 

Perlahan, Meisya menekan tombol tolak panggilan di gawainya. Entah mengapa, hatinya jadi dingin pada Edwin, sedingin dulu, sebelum ia mimpi aneh bertemu nenek tua di malam itu, nenek yang telah meniupkan mantra kepadanya. 

Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun