Matahari mulai berangsur menghilang di bawah garis cakrawala. Langit terlihat berwarna merah berhias gradasi jingga. Swastamita nan elok rupawan, menjadi saksi asmaraloka Edwin dan Meisya.Â
***
3 bulan setelah merajut tali kasih, Edwin mengatakan pada Meisya bahwa ia hendak melamar gadis itu. Meisya sangat bahagia.
Setiap malam, gadis itu merasakan rindu yang bertalu-talu pada Edwin. Terkadang, ia sampai kurang tidur karena berkhayal tentang dirinya dan kekasihnya itu. Rasa cinta yang besar ini nampaknya hanya akan terobati dengan menerima lamaran pria itu. Karena nantinya mereka akan selalu bersama.Â
Wanita itu tiba-tiba menangis.
"Bagaimana bisa dulu aku menolak cintamu, Edwin ? ternyata aku sangat mencintaimu, maafkan aku yang dulu, "gadis pemilik hidung mancung dengan sepasang mata indah bak bintang kejora itu memeluk foto Edwin sembari terisak-isak.Â
Namun sejurus kemudian, isaknya itu berubah menjadi tawa.Â
"Tapi, yang penting sebentar lagi aku akan jadi nyonya Edwin Saputra. Dan kita akan punya anak-anak yang lucu, Edwin. 1 anak lelaki dan 1 anak perempuan ya? oh apa, terserah Tuhan kasih ke kitanya apa ? baiklah sayangku, " Meisya tertawa sendiri, seolah-olah ia sedang berbicara dengan Edwin.Â
Tanpa disadari oleh gadis itu, sepasang mata tajam mengawasinya dari balik pintu kamar yang setengah terbuka.Â
"Adikku bertingkah aneh. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi padanya,mungkin  betul apa yang dikatakan pakde haji Firdaus, "batin sosok tersebut, yang tak lain adalah Yoga, kakak Meisya.Â
Yoga paham betul Meisya tak pernah membalas cinta Edwin sejak dulu. Bahkan Meisya sering kabur jika pemujanya itu mencarinya. Yoga tahu karena mereka bertiga kuliah di kampus yang sama. Edwin bukanlah type pria yang disukai adiknya itu. Dan lagi, Yoga melihat sosok Edwin masih kekanakan, belum matang secara emosional. Yoga khawatir Edwin kelak akan melukai Meisya.Â