Hmmm, sudah setahun lebih ia tak pernah jumpa dengan Edwin. Edwin adalah seorang pria yang telah bertahun-tahun berjuang mendapatkan hatinya. 3x pria itu menyatakan cinta pada Meisya dan sebanyak 3x pula lah Meisya menolak dengan halus. Cinta Edwin bertepuk sebelah tangan, karena Meisya tak memiliki perasaan yang serupa dengannya. Meisya hanya menganggapnya sebagai teman biasa.Â
Edwin menghubunginya dan meminta kesediaan Meisya untuk bertemu dengannya. Sekedar silaturahmi tak ada salahnya, pikir Meisya. Meisya pun  mengiyakan ajakan Edwin.Â
Jumat sore.Â
Mereka bertemu di cafe di bilangan Cilandak. 2 insan manusia dengan 2 hati yang saling bertolak belakang berjumpa. Sang pria, dengan cintanya yang panas membara dan sang wanita yang sedingin es. Awalnya seperti itu.
Namun yang terjadi setelahnya tidak demikian lagi. Sepulang dari pertemuan mereka sore itu, Meisya merasakan hatinya berubah. Hati yang dulu dingin kini laksana dibakar oleh kayu di tungku api sehingga hangat. Meisya mulai merasakan senandung renjana mengalun di hatinya. Ia mulai sering membuka-buka foto Edwin yang ada di galeri ponselnya. Rasa iba terbit di sanubarinya karena beberapa kali menolak cinta pria itu. Padahal cinta Edwin besar terhadapnya. Apakah aku terima saja cintanya jika ia mengungkapkan cinta lagi? apakah ia adalah jodohku? pikiran Meisya dipenuhi berbagai pertanyaan. Hatinya kini juga sering berbunga-bunga jika teringat Edwin.Â
"Meisya, apakah aku ini sedang tidur dan bermimpi indah? " tanya Edwin padanya kala suatu sore mereka jalan-jalan berdua di pantai.
"Apa maksudmu, Win? kamu tidak sedang tidur, tapi kamu sedang di pantai bersamaku, "sahut Meisya setengah heran dengan pertanyaan Edwin.Â
"Justru karena itu aku bertanya. Nyatakah ini, aku sedang menggandeng tangan gadis yang begitu kucintai ? yang dulu, ehm pernah menolak cintaku 3x, "Edwin tersenyum seraya merengkuh jemari wanita yang entah mengapa telah membuatnya terobsesi sedemikian rupa.Â
Meisya tersenyum manis, semanis sang mentari sore yang sebentar lagi akan terbenam.Â
"Ini nyata, Edwin. Bukan mimpi," ujar Meisya.Â
Edwin menatap gadis di hadapannya Sekelebat ada perasaan bersalah melintas di benaknya. Rasa bersalah pada gadis yang dicintainya. Rasa yang hanya ia sendiri yang tahu.