Desa Ngampel tengah dikunjungi oleh rombongan tari dari daerah seberang laut. Mereka rombongan tari perjalanan yang berjalan dari desa ke desa. Pasukan tari terdiri dari beberapa orang penari wanita disertai sekelompok pria yang memainkan perangkat pengiring tari seperti rebab dan gamelan.
Dan malam ini, pertunjukkan oleh rombongan tari tersebut diselenggarakan di lapangan balai desa. Penduduk telah ramai berdatangan untuk menyaksikan hiburan rakyat tersebut. Bunyi tetabuhan gamelan berpadu dengan gesekan dawai rebab mengawali pertunjukan, kemudian muncul 5 orang wanita muda mengenakan kain atasan berwarna hijau dipadukan jarik dan selendang. Rambut yang disanggul dengan hiasan ronce bunga melati menambah  pesona para gadis muda ini. Mereka dengan gemulai menari mengikuti irama gamelan.
Kamandaka, pemuda bertubuh tegap kekar berada di barisan depan penonton. Bola matanya tertumbuk pada sosok penari yang berada di tengah. Gadis itu berwajah bulat telur dengan dagu meruncing. Matanya besar dan indah, dipayungi lengkungan alis hitam legam, yang mana alis itu berpangkal pada hidung yang bak dasun tunggal. Paras gadis itu secantik batari dari kayangan.
Kamandaka bagai terhipnotis. Pada wajah  yang bersinar bak rembulan malam itu, pada gerakan tubuh dan jemari lentiknya yang seakan mengandung daya magis yang membuatnya takluk pada daya pikat sang batari.Â
"Namanya Sekar ayu," tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinganya, memecah lamunan Kamandaka.Â
Satemo, kawannya sejak kecil telah berdiri di sampingnya. Pria itu tersenyum ke arahnya.Â
"Kamu naksir yo sama gadis itu? "tanya Satemo.Â
"Entahlah, Mo. Tapi hatiku seperti bergendang riang saat memandangnya," sahut Kamandaka.Â
Satemo yang berperawakan pendek dan gemuk itu menepuk bahunya, lalu mendekatkan kepala ke arah temannya.Â
"Pesanku hati-hati, Daka. Orang dari daerah seberang laut ada yang mengatakan padaku bahwa gadis yang kau sukai itu telah bersekutu dengan bangsa lelembut, "Satemo berkata dengan suara yang direndahkan.Â