Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia
Ranggawarsita, seorang pujangga dan filsuf Jawa, melalui karya-karya sastra dan filosofi, mengemukakan pandangan yang mendalam mengenai kondisi sosial dan politik masyarakat.Â
Raden Ngabehi Ranggawarsita, salah satu pujangga besar di era Kasunanan Surakarta, menulis berbagai karya yang sarat makna, terutama dalam memahami kondisi sosial-politik dan moral masyarakat Jawa di zamannya. Tiga era yang diangkat dalam karyanya—Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu—melambangkan perubahan zaman yang penuh tantangan bagi kehidupan manusia. Kalasuba menggambarkan masa keemasan, Katatidha mencerminkan era ketidakpastian, sementara Kalabendhu melukiskan era kerusakan moral dan kehancuran.
Dari ketiga era ini, khususnya dalam Serat Kalatidha, Ranggawarsita memperkenalkan konsep jaman edan atau "zaman gila." Dalam konteks ini, jaman edan mencerminkan masa di mana manusia sulit membedakan antara benar dan salah, sementara tuntutan dan tekanan sosial membuat mereka terjebak dalam tindakan tak bermoral. Fenomena ini, jika kita tarik ke masa kini, sangat relevan dengan masalah korupsi yang merajalela di Indonesia. Dalam kondisi di mana integritas dan etika terabaikan, kita dihadapkan pada pilihan: ikut dalam arus "kegilaan" atau berpegang teguh pada prinsip moral.
Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802–1873), seorang pujangga besar Jawa dari Kesultanan Surakarta, adalah salah satu tokoh penting yang karyanya memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman kita tentang perjalanan zaman, baik dari aspek spiritual, sosial, maupun politik. Pemikiran dan ramalan Ranggawarsita tentang siklus zaman dikenal melalui Serat Kalatidha dan sejumlah karya lainnya yang menyoroti tiga fase penting dalam peradaban manusia: Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Setiap fase ini, dalam pandangan Ranggawarsita, tidak hanya berbicara tentang fenomena yang terjadi pada masa itu, tetapi juga memiliki relevansi luar biasa terhadap situasi kontemporer, termasuk fenomena korupsi di Indonesia.
1. Siapa Ranggawarsita dan Apa Itu Tiga Era?
Ranggawarsita bukan hanya sekadar penyair, melainkan juga seorang visioner yang mampu meramalkan perubahan zaman dengan ketepatan yang mengejutkan. Dalam Serat Kalatidha dan karya lainnya, ia menciptakan konsep tiga era sebagai kerangka besar untuk memahami siklus peradaban manusia. Dalam kerangka ini, setiap era menggambarkan kondisi sosial, spiritual, dan moral masyarakat:
Kalasuba: Era keemasan, di mana kebenaran, keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan merata. Ranggawarsita menggambarkan masa ini sebagai ideal dari hubungan antara raja (pemimpin) dan rakyat yang harmonis.
Katatidha: Zaman ketidakpastian, di mana masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada pemimpin, dan kebingungan menjadi ciri utama. Pada masa ini, kekuasaan mulai mengalami erosi moral, dan keraguan akan masa depan tumbuh di masyarakat.
Kalabendhu: Masa kehancuran total, ditandai dengan kerusakan sosial dan moral yang sangat dalam. Pada fase ini, korupsi, ketidakadilan, dan krisis nilai mencapai puncaknya, menghancurkan fondasi sosial masyarakat.
Melalui kerangka ini, Ranggawarsita memberikan gambaran siklus sejarah yang tak terhindarkan—di mana setiap peradaban melewati fase kejayaan, kemunduran, dan kehancuran. Konsep ini relevan dengan fenomena sosial-politik modern, termasuk korupsi yang mengakar di Indonesia.
2. Kalasuba: Zaman Keemasan dan Idealitas yang Hilang
Kalasuba menggambarkan zaman yang dipenuhi dengan harmoni antara pemimpin dan rakyat. Pada masa ini, pemimpin memerintah dengan bijaksana dan penuh integritas, sedangkan rakyat menikmati keadilan, kemakmuran, dan keamanan. Sistem pemerintahan berjalan lancar tanpa adanya penyimpangan, dan masyarakat hidup dalam kebahagiaan. Ranggawarsita melihat era ini sebagai masa yang ideal—sebuah utopia yang pernah ada atau setidaknya diidamkan oleh masyarakat Jawa pada zamannya.
Namun, dalam konteks Indonesia modern, Kalasuba dapat diartikan sebagai cita-cita yang sulit diraih. Meskipun Indonesia pernah menikmati masa-masa stabilitas dan kemajuan, terutama pada masa pasca-kemerdekaan dan beberapa dekade berikutnya, kondisi ideal ini perlahan memudar seiring dengan berkembangnya masalah-masalah internal, termasuk ketidakstabilan politik, ketidakadilan sosial, dan munculnya praktik korupsi. Era reformasi yang diawali dengan harapan tinggi akan perubahan politik dan perbaikan sistem, kini sering dianggap gagal dalam memenuhi ekspektasi banyak pihak. Pada tingkat tertentu, Kalasuba menjadi simbol dari idealitas yang hilang—sebuah masa keemasan yang diinginkan namun sulit dicapai dalam realitas.
Di era modern, Kalasuba bisa dibandingkan dengan periode-periode awal negara baru yang idealis. Ketika Indonesia pertama kali merdeka, cita-cita proklamasi adalah untuk menciptakan negara yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, realitas politik dan ekonomi Indonesia kemudian mengalami tantangan besar yang membuat impian tersebut sulit dicapai. Masyarakat sering meromantisasi masa lalu sebagai Kalasuba, sebuah masa di mana korupsi tidak merajalela, dan pemerintahan dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis yang tulus.
3. Kalatidha: Era Ketidakpastian dan Krisis Kepercayaan
Gambaran Bait ke-7 dalam Serat Kalatidha
Bait ke-7 dalam Serat Kalatidha menjadi bagian yang paling dikenal, karena mengandung makna mendalam tentang kondisi "jaman edan." Berikut adalah bait ke-7 dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Teks dalam Bahasa Jawa
Amenangi jaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan nora tahan,
Yen tan milu anglakoni,
Boya kaduman melik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah karsa Allah,
Begja-begjaning kang lali,
Luwih begja kang eling lan waspada.
Terjemahan Bahasa Indonesia
Hidup di zaman gila,
serba sulit dan repot dalam bertindak.
Ikut gila tidak tahan,
kalau tidak ikut melakukan,
tidak kebagian pendapatan,
kelaparan akhirnya.
Namun sudah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri,
masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Bait ini menggambarkan keadaan di mana orang yang hidup di "jaman edan" akan kesulitan untuk tetap teguh pada moral dan prinsip hidup yang baik. Istilah Ewuh aya ing pambudi menandakan bahwa di masa tersebut, sulit bagi seseorang untuk bertindak benar karena masyarakat telah tercemar oleh tindakan amoral dan materialisme. Seseorang yang memilih tidak ikut "edan" atau "gila" mungkin menghadapi kesulitan ekonomi dan bahkan kelaparan (kaliren wekasanipun). Namun, di akhir bait, Ranggawarsita menyampaikan harapan bahwa kebahagiaan sejati ada pada orang yang "eling lan waspada" (ingat dan waspada) karena mereka mempertahankan integritas moralnya.
Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Ranggawarsita
Ranggawarsita menutup bait tersebut dengan refleksi filosofis tentang kebahagiaan sejati yang diperoleh dari kesadaran dan kewaspadaan moral, bukan dari harta atau kepemilikan duniawi. Dalam hal ini, beliau menekankan pentingnya hidup dengan kesadaran yang tinggi akan moralitas dan kepercayaan pada takdir Allah. Filosofi ini berakar pada pandangan dunia Jawa yang percaya pada keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme.
Implikasi dan Relevansi Sosial
Bait ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang moralnya terdegradasi, orang yang memilih untuk mengikuti arus "jaman edan" mungkin merasakan kemudahan sementara, tetapi konsekuensinya adalah ketidakbahagiaan yang sejati. Hal ini relevan dengan situasi di Indonesia di mana banyak individu dan pejabat tergoda untuk melakukan tindakan korupsi demi kepentingan pribadi.
Pada dasarnya, orang yang terlibat dalam tindakan korupsi mungkin akan mendapatkan kekayaan atau pengaruh sesaat, tetapi kehilangan integritas dan rasa puas yang sesungguhnya. Hal ini tercermin dalam frasa Begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada, yang berarti bahwa kebahagiaan orang yang mengikuti arus "jaman edan" masih kalah dengan kebahagiaan yang didapatkan oleh mereka yang tetap menjaga kesadaran dan kewaspadaan moral.
Kata-Kata Kunci dan Konsep Penting dalam Bait
1.Amenangi - Menyaksikan atau hidup di dalam zaman tertentu. Dalam hal ini, menyaksikan "jaman edan".
2.Jaman edan - Suatu masa yang penuh dengan kegilaan, atau lebih tepatnya moralitas yang rusak.
3.Ewuh aya ing pambudi - Kesulitan dalam bertindak atau mengambil keputusan yang benar.
4.Milu edan nora tahan - Ikut gila tetapi tidak tahan, yang berarti seseorang terjebak dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan nuraninya.
5.Eling lan waspada - Mengingat dan waspada; ajakan untuk tetap sadar akan moralitas dan tetap berhati-hati dalam bertindak.
Setelah era keemasan, datanglah Katatidha—zaman ketidakpastian yang dipenuhi dengan keraguan dan krisis kepercayaan. Ranggawarsita menggambarkan masa ini sebagai era di mana moralitas mulai goyah, dan masyarakat kehilangan arah. Ketidakpastian ini ditandai dengan rasa ketidakadilan, ketidakjelasan masa depan, serta hilangnya kepercayaan pada para pemimpin. Krisis kepemimpinan yang terjadi pada Katatidha mendorong rakyat untuk mempertanyakan moralitas dan kompetensi pemimpin yang ada.
Kalatidha adalah representasi dari masa transisi yang kacau, dan ini sangat relevan dengan situasi politik dan sosial di Indonesia pasca-Orde Baru. Masa transisi menuju demokrasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa harapan besar, namun juga menciptakan ketidakpastian yang masif. Reformasi yang seharusnya membawa perubahan signifikan justru membuka jalan bagi kebangkitan aktor-aktor politik yang tidak sepenuhnya memiliki komitmen pada demokrasi dan keadilan sosial.
Fenomena korupsi yang terjadi pada masa Kalatidha mencerminkan bagaimana transisi politik yang tidak tuntas membuka celah bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa ini, korupsi bukan hanya terjadi di tingkat elit, tetapi juga merambah ke level birokrasi yang lebih rendah. Ketidakpastian dalam sistem hukum dan politik membuat korupsi menjadi endemik, dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada institusi-institusi negara.
Makna Filosofis dan Moralitas dalam Teks Serat Kalatidha
Dalam konteks zaman "Kalatidha" atau "jaman edan" yang digambarkan Ranggawarsita, dunia berada pada kondisi moral dan sosial yang kacau balau. Ranggawarsita menuliskan "jaman edan" untuk mengungkapkan masa di mana manusia menjadi serba sulit dalam membedakan benar dan salah. Istilah "edan" atau "gila" mengacu pada perilaku masyarakat yang cenderung mengabaikan moralitas, etika, dan norma sosial demi kepentingan pribadi.
Frasa Ewuh aya ing pambudi menekankan kondisi yang membuat orang sulit untuk berpikir atau bertindak dengan baik dan benar. Dalam keadaan seperti ini, menjadi sulit bagi seseorang untuk mempertahankan integritas dan kebijaksanaan di tengah masyarakat yang semakin materialistis dan egois. Namun, Ranggawarsita menekankan bahwa meskipun dunia tampak rusak, seseorang tetap harus mencoba menjaga kesadaran dan kewaspadaan (eling lan waspada) agar tidak terjebak dalam kerusakan moral tersebut.
Kenapa Korupsi Merajalela di Era Kalatidha?
Korupsi di Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu konsekuensi dari krisis kepercayaan yang terjadi di era Katatidha. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan institusi mulai terkikis, terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang membuat korupsi seolah-olah menjadi hal yang wajar. Beberapa faktor penyebab korupsi pada era Katatidha antara lain:
Krisis Kepemimpinan: Pemimpin yang diharapkan mampu memberikan arah yang jelas dan kebijakan yang tegas justru terjebak dalam krisis moral dan integritas. Banyak pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.
Ketidakpastian Hukum: Sistem hukum yang lemah dan rentan terhadap intervensi politik membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Ketidakjelasan dalam penerapan hukum menciptakan celah bagi para koruptor untuk lolos dari hukuman.
Budaya Materialisme: Di era ini, nilai-nilai moral tergantikan oleh dorongan materialisme dan konsumsi yang berlebihan. Orang-orang lebih fokus pada pencapaian kekayaan materi daripada integritas dan moralitas. Hal ini memperkuat praktik korupsi, di mana kekayaan dianggap sebagai ukuran keberhasilan.
4. Kalabendhu: Zaman Kegelapan dan Puncak Korupsi
Setelah ketidakpastian era Katatidha, datanglah Kalabendhu—era kehancuran dan kegelapan. Pada masa ini, moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan runtuh, dan korupsi mencapai puncaknya. Ranggawarsita menggambarkan Kalabendhu sebagai fase di mana para pemimpin tidak lagi peduli dengan kesejahteraan rakyat, melainkan tenggelam dalam keserakahan dan ambisi pribadi. Hukum kehilangan kekuatan, dan keadilan menjadi barang langka.
Kalabendhu adalah simbol dari era di mana korupsi bukan lagi dianggap sebagai tindakan kriminal yang harus dilawan, tetapi menjadi bagian dari budaya dan struktur sosial yang mengakar. Fenomena ini terlihat dalam kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi di Indonesia, di mana seringkali hukum tidak mampu menjerat para pelaku.
Bagaimana Korupsi Mencapai Puncaknya di Era Kalabendhu?
1.Korupsi Struktural: Di era Kalabendhu, korupsi tidak lagi terbatas pada individu-individu tertentu, melainkan telah menjadi bagian dari struktur pemerintahan dan masyarakat. Dalam sistem yang korup, semua orang dipaksa untuk terlibat dalam korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.Pelemahan Institusi Anti-Korupsi: Salah satu karakteristik utama Kalabendhu adalah melemahnya institusi yang seharusnya menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Di Indonesia, meskipun telah dibentuk lembaga-lembaga anti-korupsi seperti KPK, pelemahan lembaga ini kerap terjadi melalui intervensi politik dan revisi undang-undang yang membatasi kekuasaannya.
3.Penghancuran Nilai-Nilai Sosial: Pada masa Kalabendhu, nilai-nilai kejujuran, integritas, dan moralitas sudah hilang dari tatanan sosial. Orang-orang lebih menghargai kekayaan dan status daripada kejujuran, dan korupsi dianggap sebagai jalan yang sah untuk mencapai tujuan pribadi.
4.Pembiaran Sosial: Di era Kalabendhu, masyarakat cenderung membiarkan praktik korupsi berlangsung tanpa adanya perlawanan berarti. Rasa apatis dan ketidakpedulian terhadap korupsi menjadi bagian dari budaya, dan upaya pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit.
Hubungan dengan Konteks Zaman Modern dan Fenomena Korupsi
Fenomena "jaman edan" yang digambarkan Ranggawarsita dapat dianalogikan dengan situasi di Indonesia saat ini, terutama dalam hal korupsi yang merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan dan masyarakat. Korupsi dapat dilihat sebagai cerminan dari jaman edan, di mana para pelakunya terperosok dalam perilaku "gila" atau tidak bermoral demi memperkaya diri.
Bait tersebut mengingatkan bahwa orang yang berusaha menjaga integritas di tengah godaan mungkin mengalami kesulitan, seperti frasa Kaliren wekasanipun yang menggambarkan risiko kelaparan atau ketidakadilan bagi mereka yang memilih untuk tidak "ikut gila". Hal ini menyiratkan dilema moral yang dialami oleh individu yang ingin tetap teguh dalam prinsipnya di tengah masyarakat yang materialistis. Kendati demikian, Ranggawarsita menunjukkan bahwa orang yang "eling lan waspada" (ingat dan waspada) akan memiliki kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada harta atau status sosial.
Mengapa Konsep Ranggawarsita Relevan Bagi Indonesia?
Pandangan Ranggawarsita tentang siklus zaman mengajarkan bahwa fenomena korupsi di Indonesia bukan hanya masalah politik atau hukum semata, melainkan juga bagian dari krisis nilai yang lebih dalam. Era Kalatidha dan Kalabendhu menunjukkan bahwa korupsi adalah gejala dari kehancuran moral dan sosial, dan hanya bisa diatasi dengan membangun kembali nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan dalam masyarakat.
Dalam konteks modern, siklus yang digambarkan oleh Ranggawarsita memberikan peringatan bahwa setiap peradaban, termasuk Indonesia, harus siap menghadapi konsekuensi dari keserakahan, ketidakadilan, dan korupsi yang merusak sistem. Jika kita gagal mengatasi korupsi, maka siklus Kalabendhu akan terus berlangsung, dan bangsa ini akan sulit mencapai Kalasuba atau masa kejayaan yang diimpikan.
Ranggawarsita memberikan harapan bahwa setelah kegelapan, akan ada pencerahan kembali. Namun, pencerahan ini hanya bisa dicapai jika masyarakat Indonesia, khususnya para pemimpinnya, mampu kembali kepada nilai-nilai luhur yang pernah ada.
Pemikiran Ranggawarsita melalui konsep tiga era—Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu—memberikan kita perspektif mendalam tentang siklus peradaban manusia, yang tidak hanya relevan pada zamannya tetapi juga mampu menggambarkan situasi Indonesia saat ini. Setiap era memiliki karakteristik yang berbeda, namun saling berhubungan dalam sebuah siklus yang tak terhindarkan. Kalasuba mewakili era keemasan dan harmonis, di mana integritas dan moralitas menjadi nilai utama dalam masyarakat. Namun, ketika masyarakat mulai kehilangan arah dan terjadi krisis kepercayaan pada kepemimpinan, maka tibalah Katatidha, sebuah era yang penuh dengan ketidakpastian dan ambiguitas moral. Akhirnya, ketika krisis mencapai puncaknya dan nilai-nilai moral semakin terkikis, muncullah Kalabendhu, yang merupakan puncak dari kehancuran sosial dan moral masyarakat.
Fenomena korupsi di Indonesia dapat dipahami sebagai refleksi dari siklus Kalabendhu, di mana praktik korupsi telah menyusup ke dalam setiap aspek pemerintahan dan sosial masyarakat. Korupsi di Indonesia bukan hanya masalah hukum atau politik, tetapi juga masalah moral yang dalam, di mana masyarakat dan pemimpin telah meninggalkan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi dasar dalam bertindak dan memerintah. Krisis kepemimpinan, ketidakpastian hukum, dan pengabaian nilai-nilai sosial memperburuk kondisi ini, menjadikan korupsi sebagai endemik dalam sistem negara.
Namun, meski Ranggawarsita menggambarkan siklus zaman ini sebagai sesuatu yang pasti, ia juga menyiratkan bahwa setiap kegelapan dapat diakhiri dengan adanya kebangkitan moral dan spiritual. Harapan ini ada di tangan masyarakat dan pemimpin yang berkomitmen untuk memulihkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan integritas. Dengan memahami konsep tiga era ini, kita mendapatkan peringatan bahwa hanya dengan membangun kembali fondasi moral dan integritas, Indonesia bisa keluar dari Kalabendhu menuju masa kejayaan Kalasuba yang baru.
Pemikiran Ranggawarsita memberikan kita gambaran bahwa perubahan zaman bukan hanya tentang transformasi ekonomi atau politik, tetapi juga transformasi moral dan spiritual. Krisis nilai yang terjadi pada era Kalabendhu menggambarkan betapa pentingnya peran moralitas dalam mempertahankan stabilitas dan kesejahteraan sosial. Untuk itu, mengatasi korupsi tidak hanya membutuhkan reformasi sistem hukum dan politik, tetapi juga reformasi sosial dan moral yang mendalam.
Menyelami karya-karya Ranggawarsita memberikan wawasan bahwa upaya pemberantasan korupsi membutuhkan perubahan mendasar dalam cara berpikir, bertindak, dan memperlakukan kekuasaan. Di tengah siklus Kalabendhu, terdapat secercah harapan untuk kebangkitan baru—namun, hanya akan terjadi jika seluruh lapisan masyarakat berkomitmen untuk menolak korupsi dan menghormati nilai-nilai keadilan dan integritas. Dengan demikian, pesan Ranggawarsita tidak hanya menjadi pengingat, tetapi juga inspirasi untuk menciptakan era Kalasuba yang baru di Indonesia.
Daftar Pustaka
1.Arifin, E., & Murtani, A. (2022). "Pengaruh Nilai-Nilai Moral terhadap Pencegahan Korupsi di Indonesia." Jurnal Etika & Moralitas Indonesia, 5(3), 189-202.
2.Dewi, S., & Prayogo, A. (2021). "Kepemimpinan Etis dalam Pemberantasan Korupsi: Kajian Terhadap Pengaruh Moralitas pada Masa Transisi Demokrasi di Indonesia." Jurnal Kepemimpinan & Kebijakan Publik, 4(2), 112-126.
3.Gunawan, T., & Fathoni, Y. (2020). "Pemikiran Ranggawarsita dan Relevansinya Terhadap Problematika Moral Kontemporer." Jurnal Kajian Nusantara, 7(1), 75-89.
4.Hanif, A., & Putra, M. (2023). "Korupsi dan Krisis Kepercayaan di Era Reformasi: Analisis Sosial dan Hukum." Jurnal Hukum dan Keadilan Indonesia, 6(2), 215-229.
5.Hidayat, R., & Susanto, D. (2022). "Budaya dan Fenomena Korupsi di Indonesia: Telaah Sosial dan Religi." Jurnal Sosiologi Indonesia, 8(4), 305-318.
6.Jones, M., & Roberts, T. (2022). "The Cultural Dimensions of Corruption in Southeast Asia: A Comparative Analysis." Journal of Asian Studies, 28(3), 283-299.
7.Kartika, R., & Priyanto, H. (2021). "Korupsi dalam Perspektif Budaya Jawa: Refleksi Terhadap Pemikiran Ranggawarsita." Jurnal Budaya dan Etika, 5(2), 120-137.
8.Lestari, P., & Setiawan, E. (2023). "Mengatasi Fenomena Kalabendhu di Indonesia: Perspektif Filosofis dan Praktis." Jurnal Filsafat Indonesia, 9(1), 33-50.
9.Nugroho, M., & Wijaya, R. (2020). "Fenomena Kalatidha dan Relevansi Terhadap Era Postmodernisme di Indonesia." Jurnal Humaniora Indonesia, 4(3), 193-208.
10.Prawira, F., & Wibowo, A. (2022). "Ethics in Governance: The Indonesian Experience of Fighting Corruption in the Post-Reform Era." International Journal of Governance and Public Policy, 15(4), 410-425.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H