Mohon tunggu...
Apriliana Jumiyati
Apriliana Jumiyati Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Teknik Sipil - NIM 41124010091 - Fakultas Teknik - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ranggawarsita Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

31 Oktober 2024   21:13 Diperbarui: 31 Oktober 2024   21:22 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam konteks zaman "Kalatidha" atau "jaman edan" yang digambarkan Ranggawarsita, dunia berada pada kondisi moral dan sosial yang kacau balau. Ranggawarsita menuliskan "jaman edan" untuk mengungkapkan masa di mana manusia menjadi serba sulit dalam membedakan benar dan salah. Istilah "edan" atau "gila" mengacu pada perilaku masyarakat yang cenderung mengabaikan moralitas, etika, dan norma sosial demi kepentingan pribadi.

Frasa Ewuh aya ing pambudi menekankan kondisi yang membuat orang sulit untuk berpikir atau bertindak dengan baik dan benar. Dalam keadaan seperti ini, menjadi sulit bagi seseorang untuk mempertahankan integritas dan kebijaksanaan di tengah masyarakat yang semakin materialistis dan egois. Namun, Ranggawarsita menekankan bahwa meskipun dunia tampak rusak, seseorang tetap harus mencoba menjaga kesadaran dan kewaspadaan (eling lan waspada) agar tidak terjebak dalam kerusakan moral tersebut.

Kenapa Korupsi Merajalela di Era Kalatidha?

Korupsi di Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu konsekuensi dari krisis kepercayaan yang terjadi di era Katatidha. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan institusi mulai terkikis, terjadi pergeseran nilai-nilai sosial yang membuat korupsi seolah-olah menjadi hal yang wajar. Beberapa faktor penyebab korupsi pada era Katatidha antara lain:

Krisis Kepemimpinan: Pemimpin yang diharapkan mampu memberikan arah yang jelas dan kebijakan yang tegas justru terjebak dalam krisis moral dan integritas. Banyak pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.

Ketidakpastian Hukum: Sistem hukum yang lemah dan rentan terhadap intervensi politik membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Ketidakjelasan dalam penerapan hukum menciptakan celah bagi para koruptor untuk lolos dari hukuman.

Budaya Materialisme: Di era ini, nilai-nilai moral tergantikan oleh dorongan materialisme dan konsumsi yang berlebihan. Orang-orang lebih fokus pada pencapaian kekayaan materi daripada integritas dan moralitas. Hal ini memperkuat praktik korupsi, di mana kekayaan dianggap sebagai ukuran keberhasilan.

4. Kalabendhu: Zaman Kegelapan dan Puncak Korupsi

Setelah ketidakpastian era Katatidha, datanglah Kalabendhu—era kehancuran dan kegelapan. Pada masa ini, moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan runtuh, dan korupsi mencapai puncaknya. Ranggawarsita menggambarkan Kalabendhu sebagai fase di mana para pemimpin tidak lagi peduli dengan kesejahteraan rakyat, melainkan tenggelam dalam keserakahan dan ambisi pribadi. Hukum kehilangan kekuatan, dan keadilan menjadi barang langka.

Kalabendhu adalah simbol dari era di mana korupsi bukan lagi dianggap sebagai tindakan kriminal yang harus dilawan, tetapi menjadi bagian dari budaya dan struktur sosial yang mengakar. Fenomena ini terlihat dalam kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi di Indonesia, di mana seringkali hukum tidak mampu menjerat para pelaku.

Bagaimana Korupsi Mencapai Puncaknya di Era Kalabendhu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun