kalau tidak ikut melakukan,
tidak kebagian pendapatan,
kelaparan akhirnya.
Namun sudah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri,
masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Bait ini menggambarkan keadaan di mana orang yang hidup di "jaman edan" akan kesulitan untuk tetap teguh pada moral dan prinsip hidup yang baik. Istilah Ewuh aya ing pambudi menandakan bahwa di masa tersebut, sulit bagi seseorang untuk bertindak benar karena masyarakat telah tercemar oleh tindakan amoral dan materialisme. Seseorang yang memilih tidak ikut "edan" atau "gila" mungkin menghadapi kesulitan ekonomi dan bahkan kelaparan (kaliren wekasanipun). Namun, di akhir bait, Ranggawarsita menyampaikan harapan bahwa kebahagiaan sejati ada pada orang yang "eling lan waspada" (ingat dan waspada) karena mereka mempertahankan integritas moralnya.
Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Ranggawarsita
Ranggawarsita menutup bait tersebut dengan refleksi filosofis tentang kebahagiaan sejati yang diperoleh dari kesadaran dan kewaspadaan moral, bukan dari harta atau kepemilikan duniawi. Dalam hal ini, beliau menekankan pentingnya hidup dengan kesadaran yang tinggi akan moralitas dan kepercayaan pada takdir Allah. Filosofi ini berakar pada pandangan dunia Jawa yang percaya pada keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme.
Implikasi dan Relevansi Sosial
Bait ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang moralnya terdegradasi, orang yang memilih untuk mengikuti arus "jaman edan" mungkin merasakan kemudahan sementara, tetapi konsekuensinya adalah ketidakbahagiaan yang sejati. Hal ini relevan dengan situasi di Indonesia di mana banyak individu dan pejabat tergoda untuk melakukan tindakan korupsi demi kepentingan pribadi.