3. Praktik Kebajikan
Nilai-nilai kebajikan dalam Kejawen, seperti kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap sesama, sangat selaras dengan ajaran Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia menekankan bahwa moralitas bukan sekadar teori yang harus dihafal, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Dengan mengedepankan praktik kebajikan, Panji berupaya membentuk karakter manusia yang tidak hanya bertanggung jawab, tetapi juga beretika. Pendekatan ini mendorong individu untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial mereka, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan penuh saling menghargai. Melalui contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari, Panji menginspirasi manusia untuk menjadikan kebajikan sebagai landasan dalam menjalani kehidupan yang bermakna.
Dalam mengeksplorasi gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono, beliau memperkenalkan pendekatan kepemimpinan yang berakar pada spiritualitas dan kearifan lokal, serta seberapa penting untuk menggali lebih dalam berbagai metafora yang mencerminkan nilai-nilai yang menyatukan manusia dengan alam semesta. Metafora ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang kepemimpinan, tetapi juga menegaskan hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta.
Dalam pandangan Sosrokartono, kepemimpinan adalah manifestasi dari keharmonisan antara moralitas dan spiritualitas, di mana seorang pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan batin dan tanggung jawab sosial. Pandangan ini menekankan pentingnya keseimbangan dalam menjalankan tugas kepemimpinan, yang menghubungkan nilai-nilai spiritual dengan kehidupan sehari-hari serta hubungan antarmanusia.
1. Metafora: Mandor Klungsu
Mandor Klungsu yang merujuk pada biji pohon asem Jawa. Dalam metafora ini, mandor dipahami bukan sebagai pemilik, melainkan sebagai simbol loyalitas kepada pemilik kehidupan, yaitu Tuhan atau Tuan. Loyalitas ini tercermin dalam komitmen untuk mengikuti perintah yang baik dan menjalankan tanggung jawab dengan sepenuh hati. Setiap tindakan baik yang dilakukan oleh mandor dipersembahkan kepada Tuhan sebagai wujud pengabdian yang tulus. Metafora ini mengajak manusia untuk merenungkan posisi mereka dalam kehidupan. Layaknya mandor yang berusaha memelihara kebun milik orang lain, manusia diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam masyarakat dengan bertindak secara bertanggung jawab. Dengan cara ini, terbentuklah hubungan yang harmonis antara individu, masyarakat, dan Tuhan.
2. Metafora: Joko Pering
Selanjutnya, kita menjumpai metafora Joko Pering, yang menggambarkan gairah muda dan simbolik murni. Dalam konteks ini, Pering diibaratkan sebagai bambu, yang melambangkan keaslian dan kesederhanaan. Ajaran Kejawen mengajarkan bahwa bambu memiliki beragam jenis dan karakteristik yang unik. Konsep eling tanpa nyanding menegaskan bahwa setiap manusia, tanpa memandang latar belakang, memiliki martabat yang setara. Lebih jauh, prinsip pring padha pring, weruh padha weruh yang menggambarkan pentingnya saling memahami dan menghargai satu sama lain. Konsep ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerjasama dan rasa kebersamaan dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Istilah pertapan pringgodhani menggambarkan tempat refleksi dan pertumbuhan spiritual, di mana manusia dapat merenungkan diri dan berusaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
B. Mengapa Metafora Mandor Klungsu dan Joko Pering Penting dalam Diskursus Kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono?
Melalui metafora mandor klungsu dan joko pering, Raden Mas Panji Sosrokartono memberikan gambaran yang mendalam mengenai peran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Keduanya menekankan pentingnya kearifan lokal, tanggung jawab sosial, dan pengembangan diri yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan. Dalam konteks pendidikan dan kehidupan sehari-hari, ajaran-ajaran ini berfungsi sebagai pedoman untuk menciptakan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas dan beretika, sehingga mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat.