Mohon tunggu...
Aprilia Safira
Aprilia Safira Mohon Tunggu... Lainnya - --

nn

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kedung Ombo : Tinggalan Kemiskinan Masa Lalu yang Belum Usai

24 Oktober 2018   16:07 Diperbarui: 27 Oktober 2018   17:24 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hal penggusuran dengan dalih pembangunan. Ketika itu penggusuran besar -- besaran dilakukan oleh pemerintah di 37 desa di 3 Kabupaten di Jawa Tengah. Penggusuran tersebut dilakukan lantaran pemerintah hendak membangun waduk Kedung Ombo.

Proyek pembangunan Waduk Kedung-Ombo dilakukan di lahan seluas 59.340 hektar yang terletak di tiga daerah yakni Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan di Jawa Tengah. Proyek itu berdampak pada 37 desa dan 5.390 keluarga.

Infrastruktur yang dibangun di 3 kabupaten tersebut terbangun lewat dana pinjaman dari bank dunia. Dengan menggunakan dana sebesar 283 juta dolar AS yang berasal tiga sumber pendanaan yaitu 156 juta dolar AS dari Bank Dunia, 105,8 juta dolar AS dari pemerintah Indonesia dan 21,3 juta dolar AS dari kredit ekspor.

Pembangunan waduk tersebut awalnya direncanakan oleh pemerintah untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air dengan kapastitas 22,5 mega watt, pengendali banjir dan irigasi.

Namun kini setelah 30 tahun bukan kemakmuran yang didapatkan oleh warga sesuai dengan rencana awal pemerintah malah justru kehidupan warga tidak jauh lebih baik, bahkan lebih memprihatinkan.

Waduk tersebut dibangun selama 11 tahun yaitu tahun 1980 -- 1991  di atas lahan yang relative subur dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Itulah mengapa warga yang tergusur merasa sangat dirugikan karena mereka harus kehilangan mata pencaharian setelah pembangunan waduk tersebut.

Hal tersebut diperparah dengan masalah ganti rugi yang diberikan pemerintah tak kunjung selesai.

Sebanyak 33,5% korban mengaku belum mendapatkan ganti rugi, 24,6% hanya menerima Rp99 per meter persegi, 32,5% menerima Rp250 per meter persegi dan 13,2% lain mendapatkan Rp 300 meter persegi. Padahal Bank Dunia memberikan pinjaman pembangunan proyek telah mengajukan proposal anggaran ganti rugi Rp400 per meter persegi. Sedangkan, Gubernur Jawa Tengah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 593/135/1987 menyebutkan uang ganti rugi Rp700 per meter persegi. Realisasi ganti rugi tersebut tidak berjalan. Dan yang lebih menyakitkanya lagi harga tanah sesuai pasar di sekitar waduk saat itu Rp2.600 per meter persegi. Dimana harga tersebut sangat jauh dari yang diterima olah sebagian warga dan keputusan Gubernur Jawa Tengah maupun anggaran dari Bank Dunia saat itu.

"Ketika sebagian besar warga berpindah ke tempat-tempat lain, masih ada 600 keluarga yang bertahan di daerah genangan dan sabuk hijau. Mereka menuntut ganti rugi yang sesuai, karena uang ganti rugi yang mereka terima sangat kecil.

 Setelah diusut, ternyata ada pihak yang telah melakukan penipuan terhadap warga Kedung Ombo [...] uang ganti rugi yang berasal dari Bank Dunia itu telah diselewengkan," tulis Iip Yahya dalam buku Romo Mangun - Sahabat Kaum Duafa (2005: 198).

Akibatnya mereka mengalami kemiskinan berkelanjutan dari penggusuran tersebut. Bahkan, seluruh warga yang tergusur merasa bahwa fasilitas sejak pembangunan Waduk Kedung Ombo, tak sesuai harapan. Untuk warga transmigran yaitu warga yang mengalami pemindahan ke Bengkulu sebagian besar merasa fasilitas tidak tersedia dengan baik. 

Contoh, kondisi jalan atau infrastruktur rusak, tak ada lampu penerangan jalan, sarana transportasi dan pasar. Selain itu Bengkulu yang memiliki tanah gambut juga menyebabkan para transmigran kedung ombo susah untuk memanfaatkan lahannya untuk bertani.

Begitu juga dengan warga yang masih tetap menetap di sekitar waduk juga merasakan dampak dari pembangunan waduk mulai dari kurangnya lahan pertanian yang mana merupakan mata pencaharian sehingga pendapatan mereka juga menurun drastis, akses terputus, hingga sarana dan prasarana penunjang, baik kesehatan, pendidikan, pasar dan lain-lain minim, pemerintah pun ketika itu memberikan alternatif pekerjaan sebagai nelayan tambak, namun penyuluhan dan pelatihan sangatlah minim. Begitu juga modal, tak ada bantuan padahal sebagai nelayan tambak perlu membangun keramba dan merawat perahu. Belum lagi mereka tak memiliki pengalaman.

Masalah menjadi tambah merunyam ketika masyarakat yang tidak terima dengan uang ganti rugi melakukan aksi protes ke pemerintah. Masyarakat yang melakukan penolakan terhadap uang ganti rugi tersebut malah justru mendapatkan intimidasi, kekerasan hingga korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Pemerintah yang melibatkan aparat kepolisian dan TNI masa itu malah justru semakin memperkeruh proses ganti rugi yang sudah bermasalah sebelumnya.

Aksi terebut juga berakhir pada aksi protes pada penyumbang dana yaitu Bank Dunia. Masyarakat melakukan protes kepada Bank Dunia yang dinilai tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap pencairan dana ganti rugi yang mereka janjikan.

Dan dampak sosial dari waduk kedung ombo ini tidak hanya dirasakan oleh generasi terdahulu namun juga dirasakan oleh generasi sekarang. Akibat dari pembangunan waduk tersebut malah justru memberikan dampak yang negatif. Saat ini masyarakat yang direlokasikan akibat proyek tersebut mengalami penurunan kualitas hidup.

Pembangunan waduk saat itu diwarnai dengan perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan tanah leluhur juga dirasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat tidak layak.  Disisi lain warga yang nekat bertahan mengalami terror penggusuran  yang di sponsori Negara berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air sehingga mereka mau direlokasi sebagai transmigran ke Sumatra. Gaya represif Negara dan mekanisme ganti rugi yang penuh muslihat ini benar-benar sebuah pelecehan terhadap kemanusiaan dan keluar dari nalar sehat.

Dari kasus kedung ombo ini secara faktual rezim pemerintah saat itu telah melakukan teror yang nyata melalui represife state apparatus (sumber kekerasan fisik Negara : polisi, tentara, dan aparat lainya) pada warga sipil yang tak bersenjata. 

Seperti dalam sebuah kata-kata bijak jawa bahwa sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, lan menang tanpo ngasorake (kaya bukan karena harta, berani bukan karena memiliki pasukan, dan menang tanpa menindas yang kalah) musti menjadi praktek holistik dan persepsi dalam melihat dunia agar peristiwa anti-kemanusiaan seperti tragedi WKO 1985, peristiwa anti-Tionghoa tahun 1918 di karanggede, sampai dengan peristiwa pembantaian PKI tanpa proses peradilan tahun 1966 di gunung botak dan boyolali kota tidak terulang lagi. Kasus WKO haruslah menjadi bahan renungan bersama agar kasus WKO tahun 1985 benar-benar menjadi yang terakhir dari sekian peristiwa anti-kemanusiaan yang pernah terjadi di boyolali. Semua manusia berhak diadili dalam keadaan nyawa yang melekat diraganya, karena sesungguhnya tidak pernah ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia yang lainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun