Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hal penggusuran dengan dalih pembangunan. Ketika itu penggusuran besar -- besaran dilakukan oleh pemerintah di 37 desa di 3 Kabupaten di Jawa Tengah. Penggusuran tersebut dilakukan lantaran pemerintah hendak membangun waduk Kedung Ombo.
Proyek pembangunan Waduk Kedung-Ombo dilakukan di lahan seluas 59.340 hektar yang terletak di tiga daerah yakni Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan di Jawa Tengah. Proyek itu berdampak pada 37 desa dan 5.390 keluarga.
Infrastruktur yang dibangun di 3 kabupaten tersebut terbangun lewat dana pinjaman dari bank dunia. Dengan menggunakan dana sebesar 283 juta dolar AS yang berasal tiga sumber pendanaan yaitu 156 juta dolar AS dari Bank Dunia, 105,8 juta dolar AS dari pemerintah Indonesia dan 21,3 juta dolar AS dari kredit ekspor.
Pembangunan waduk tersebut awalnya direncanakan oleh pemerintah untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air dengan kapastitas 22,5 mega watt, pengendali banjir dan irigasi.
Namun kini setelah 30 tahun bukan kemakmuran yang didapatkan oleh warga sesuai dengan rencana awal pemerintah malah justru kehidupan warga tidak jauh lebih baik, bahkan lebih memprihatinkan.
Waduk tersebut dibangun selama 11 tahun yaitu tahun 1980 -- 1991 Â di atas lahan yang relative subur dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Itulah mengapa warga yang tergusur merasa sangat dirugikan karena mereka harus kehilangan mata pencaharian setelah pembangunan waduk tersebut.
Hal tersebut diperparah dengan masalah ganti rugi yang diberikan pemerintah tak kunjung selesai.
Sebanyak 33,5% korban mengaku belum mendapatkan ganti rugi, 24,6% hanya menerima Rp99 per meter persegi, 32,5% menerima Rp250 per meter persegi dan 13,2% lain mendapatkan Rp 300 meter persegi. Padahal Bank Dunia memberikan pinjaman pembangunan proyek telah mengajukan proposal anggaran ganti rugi Rp400 per meter persegi. Sedangkan, Gubernur Jawa Tengah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 593/135/1987 menyebutkan uang ganti rugi Rp700 per meter persegi. Realisasi ganti rugi tersebut tidak berjalan. Dan yang lebih menyakitkanya lagi harga tanah sesuai pasar di sekitar waduk saat itu Rp2.600 per meter persegi. Dimana harga tersebut sangat jauh dari yang diterima olah sebagian warga dan keputusan Gubernur Jawa Tengah maupun anggaran dari Bank Dunia saat itu.
"Ketika sebagian besar warga berpindah ke tempat-tempat lain, masih ada 600 keluarga yang bertahan di daerah genangan dan sabuk hijau. Mereka menuntut ganti rugi yang sesuai, karena uang ganti rugi yang mereka terima sangat kecil.
 Setelah diusut, ternyata ada pihak yang telah melakukan penipuan terhadap warga Kedung Ombo [...] uang ganti rugi yang berasal dari Bank Dunia itu telah diselewengkan," tulis Iip Yahya dalam buku Romo Mangun - Sahabat Kaum Duafa (2005: 198).
Akibatnya mereka mengalami kemiskinan berkelanjutan dari penggusuran tersebut. Bahkan, seluruh warga yang tergusur merasa bahwa fasilitas sejak pembangunan Waduk Kedung Ombo, tak sesuai harapan. Untuk warga transmigran yaitu warga yang mengalami pemindahan ke Bengkulu sebagian besar merasa fasilitas tidak tersedia dengan baik.Â