Contoh, kondisi jalan atau infrastruktur rusak, tak ada lampu penerangan jalan, sarana transportasi dan pasar. Selain itu Bengkulu yang memiliki tanah gambut juga menyebabkan para transmigran kedung ombo susah untuk memanfaatkan lahannya untuk bertani.
Begitu juga dengan warga yang masih tetap menetap di sekitar waduk juga merasakan dampak dari pembangunan waduk mulai dari kurangnya lahan pertanian yang mana merupakan mata pencaharian sehingga pendapatan mereka juga menurun drastis, akses terputus, hingga sarana dan prasarana penunjang, baik kesehatan, pendidikan, pasar dan lain-lain minim, pemerintah pun ketika itu memberikan alternatif pekerjaan sebagai nelayan tambak, namun penyuluhan dan pelatihan sangatlah minim. Begitu juga modal, tak ada bantuan padahal sebagai nelayan tambak perlu membangun keramba dan merawat perahu. Belum lagi mereka tak memiliki pengalaman.
Masalah menjadi tambah merunyam ketika masyarakat yang tidak terima dengan uang ganti rugi melakukan aksi protes ke pemerintah. Masyarakat yang melakukan penolakan terhadap uang ganti rugi tersebut malah justru mendapatkan intimidasi, kekerasan hingga korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Pemerintah yang melibatkan aparat kepolisian dan TNI masa itu malah justru semakin memperkeruh proses ganti rugi yang sudah bermasalah sebelumnya.
Aksi terebut juga berakhir pada aksi protes pada penyumbang dana yaitu Bank Dunia. Masyarakat melakukan protes kepada Bank Dunia yang dinilai tidak melakukan pengawasan dengan baik terhadap pencairan dana ganti rugi yang mereka janjikan.
Dan dampak sosial dari waduk kedung ombo ini tidak hanya dirasakan oleh generasi terdahulu namun juga dirasakan oleh generasi sekarang. Akibat dari pembangunan waduk tersebut malah justru memberikan dampak yang negatif. Saat ini masyarakat yang direlokasikan akibat proyek tersebut mengalami penurunan kualitas hidup.
Pembangunan waduk saat itu diwarnai dengan perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan tanah leluhur juga dirasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat tidak layak.  Disisi lain warga yang nekat bertahan mengalami terror penggusuran  yang di sponsori Negara berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air sehingga mereka mau direlokasi sebagai transmigran ke Sumatra. Gaya represif Negara dan mekanisme ganti rugi yang penuh muslihat ini benar-benar sebuah pelecehan terhadap kemanusiaan dan keluar dari nalar sehat.
Dari kasus kedung ombo ini secara faktual rezim pemerintah saat itu telah melakukan teror yang nyata melalui represife state apparatus (sumber kekerasan fisik Negara : polisi, tentara, dan aparat lainya) pada warga sipil yang tak bersenjata.Â
Seperti dalam sebuah kata-kata bijak jawa bahwa sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, lan menang tanpo ngasorake (kaya bukan karena harta, berani bukan karena memiliki pasukan, dan menang tanpa menindas yang kalah) musti menjadi praktek holistik dan persepsi dalam melihat dunia agar peristiwa anti-kemanusiaan seperti tragedi WKO 1985, peristiwa anti-Tionghoa tahun 1918 di karanggede, sampai dengan peristiwa pembantaian PKI tanpa proses peradilan tahun 1966 di gunung botak dan boyolali kota tidak terulang lagi. Kasus WKO haruslah menjadi bahan renungan bersama agar kasus WKO tahun 1985 benar-benar menjadi yang terakhir dari sekian peristiwa anti-kemanusiaan yang pernah terjadi di boyolali. Semua manusia berhak diadili dalam keadaan nyawa yang melekat diraganya, karena sesungguhnya tidak pernah ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia yang lainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H