Mohon tunggu...
Aprillia Ramadhina
Aprillia Ramadhina Mohon Tunggu... -

penulis, blogger, manajer band, co-founder Meon Design yang senang melukis di waktu senggang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyair di Masa Lalu

25 Februari 2017   20:51 Diperbarui: 26 Februari 2017   08:00 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bacaan apa yang kau suka?”

“Aku suka karyanya Kafka dan Kundera. Dua penulis itu yang paling kusuka. Kau?”

“Aku suka puisi Neruda dan Poe. Menurutku mereka penyair yang luar biasa. Juga Rilke, ya, dan Pizarnik. Bagiku puisi selalu punya kekuatan magis.”

Wajahnya lucu sekali ketika tersenyum, persis penyairku yang dulu.

“Kau akan tinggal berapa lama di Jogja?”

“Selama aku ingin.” ujarku

 “Kau suka puisi?”

Ah, pertanyaan ini….

“Ya. Sesekali aku menulis puisi, tapi tak sampai hati kusebut diriku penyair. Karena para penyair sungguhan pasti akan menggodaku, ‘Kamu itu puisi, masa’ puisi nulis puisi.’ Kata-kata itu tak hanya keluar dari satu penyair saja.”

“Kalau aku akan bilang, puisi yang menulis puisi itu punya nilai estetika yang sangat tinggi.”

Naufal Bastian. Seorang penyair, mengajakku berkenalan di acara peluncuran buku Malaikat Salju yang ditulis temanku. Mengenal dirinya, membuatku bertanya-tanya sendiri, entah berapa penyair lagi yang harus kutemui ketika aku berkunjung ke Yogyakarta. Melihat Naufal membuat ingatanku melayang kepada penyairku yang dulu. Setelah 5 tahun tak bertemu, 6 bulan lalu, takdir mempertemukan kami sejenak, di sebuah pameran. Pameran patah hati. Ketika bertemu dengannya saat itu tiba-tiba hatiku terasa patah lagi.

…..

Temanku, mempunyai project membuat sebuah pameran patah hati. Sesuatu yang erat dengan kesedihan yang ditimbulkan dari hati yang patah, akan ditunjukkan dan dipamerkan ke mata orang lain; ke dunia.

Hal-hal yang mungkin selama ini hanya aku tangisi sendiri, hanya aku bagi dengan orang terdekat, ia ajak untuk diperlihatkan pada orang-orang asing, orang yang mungkin tidak mengenalku. Tawaran itu membuat aku membongkar isi kamar. Mencari-cari benda apa yang masih ditinggalkan masa lalu. Barang apa yang menyisakan luka perasaan di tiap ruasnya. Proses ini yang membuat aku harus memiliki keberanian lebih. Keberanian untuk menatap lagi hal-hal yang tak ingin aku ingat. Tapi, apa benar aku benar-benar tak ingin ingat lagi? Sedangkan dalam kenyataannya ada banyak hal yang masih tersimpan di sana.

Dulu, aku pernah membersihkan kamar ini, dan sudah membuang sebagian besar barang peninggalan masa lalu yang sudah tidak penting dan tidak berguna. Namun, rupanya tidak segampang itu habis. Ada yang masih aku sisakan. Ada yang masih sengaja aku simpan. Aku sisihkan dari benda-benda yang hendak aku buang.

Terlepas dari benda-benda tak bernyawa, rupanya ingatan jauh lebih mengerikan.

Benda-benda itu mentransmisikan sesuatu di luar kebendaannya. Mereka membawa perasaan kembali ke saat benda itu pertama ada di tanganku, sungguh sangat metafisik. Dari yang berwujud bisa menimbulkan perasaan-perasaan abstrak yang tak bisa aku definisikan.

Tiba-tiba aku merasa kamarku sudah berantakan. Terlalu banyak benda yang berserakan. Benda-benda yang sudah usang dan berdebu. Benda-benda yang sudah dijilati waktu. Seperti itu juga perasaanku, tak karuan dan hanya termangu-mangu. Ada satu kertas berisi puisi dari mantan kekasihku yang penyair. Tulisan di atas kertas itu sudah agak buram. Kertasnya juga sudah menguning dan berdebu. Benda itu yang paling using, tapi yang paling banyak menyita air mata. Kuputuskan, tak ada yang akan kukirimkan untuk dipamerkan.

Pameran berlangsung di bulan Februari, bulan yang identik dengan hari kasih sayang. Di bulan penuh cinta, pameran ini justru merayakan hati yang patah. Unik sekali. Lucu-lucu sekali barang-barang yang dipamerkan. Ada kumpulan nota restoran yang dijadikan satu dalam sebuah bingkai. Ada sebuah foto dan selembar tiket perjalanan kereta api, kumpulan kartu pos, sampai batu dan sandal japit. Melihat barang-barang itu aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Aku masih belum sampai hati memamerkan kenangan, dan memilih masih menyimpannya dalam-dalam serta rapat-rapat.

Di dalam remangnya ruang pameran tiba-tiba kulihat diri penyairku yang dulu. Samar kupikir aku hanya berhalusinasi. Namun ternyata ia benar-benar ada di sana. Ia melihatku. Di tengah ramainya orang-orang memenuhi pameran, aku dan dia berpandangan dalam diam sejenak. Mencoba menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari penglihatan kami.

“Kamila…”

“Sama siapa ke sini?” aku langsung bertanya.

“Sendiri. Kamu?”

“Sendiri juga.”

Canggung sekali bertemu dengan mantan kekasih di pameran benda-benda kenangan. Bukan barang-barang darinya tampaknya yang harus aku letakkan di ruangan. Ternyata, cukup dirinya yang berdiri di sana. Dia lah keutuhan dari setiap masa laluku. Masa lalu yang membuatku lupa memiliki ruang di hati dengan mantan kekasih lain sebelum dia.

“Tinggal dimana kamu Kamila selama di Yogya?”

“Di kosan Marisa.”

“Kos Marisa masih di Kaliurang?”

“Masih”

“Kamu mau langsung pulang ke sana atau kita mungkin bisa minum kopi dulu?”

“Aku mau langsung pulang saja naik taksi.”

Wajahnya sedikit kecewa. “Baiklah, kuantar kau sampai dapat taksi.”

Aku tak ingin lebih lama di sana. Apalagi jika harus minum kopi bersama. Tanpa kopi pun, malam itu aku tak bisa tertidur cepat. Dia itu kafein dosis tinggi yang selalu membuatku mampu terjaga melebihi bercangkir-cangkir kopi. Aku ingin mengobrol lebih banyak sebenarnya, tapi logikaku melarang keras. Menghindar menjadi pilihan yang tepat.

Sudah seperti apa dia sekarang, masihkah menulis puisi? Ah, Jogja, selalu berhasil membangkitkan ruh-ruh kenangan dari kuburan ingatan yang sudah lama tidak kutemui.

“Kamila”

Tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku. Naufal rupanya masih berada di sampingku ternyata. Mengenang penyairku membuatku lupa akan kehadirannya. Sebenarnya aku tak ingin mengingat lagi. Tapi bagaimana, kenangan selalu meruang. Pada setiap tempat, meski waktu telah jauh bergerak.

“Apa yang kau renungkan, Kamila?”

“Seorang penyair.”

“Aku?” tanyanya sambil tersenyum kecil

“Bukan. Penyairku di masa lalu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun