Mohon tunggu...
Cak Koekoeh
Cak Koekoeh Mohon Tunggu... Administrasi - Researcher

"Banyaknya ilmu yang beterbangan diatas kepala kita, maka ikatlah dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Psychological Warfare: Kegagalan Denuklirisasi Semenanjung Korea dan Dampaknya bagi Indonesia

2 September 2024   11:24 Diperbarui: 2 September 2024   11:43 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Denuklirisasi dan pelucutan senjata di semenanjung Korea telah terperangkap dalam jaringan persaingan antar-negara adidaya (Vaddi, 2024), antara Amerika Serikat dan China. Dua pilar perdamaian di Semenanjung Koreadenuklirisasi Korea Utara dan kerja sama antar-Koreakeduanya menemui jalan buntu (Chung et al., 2020). Hal ini telah memperdalam kekhawatiran pemerintah Korea Selatan yang awalnya mendorong keras denuklirisasi penuh dan pengembangan perdamaian dikawasan.

 

Psychological Warfare di Semenanjung Korea. 

Ancaman senjata nuklir merupakan alat intimidasi yang efisien karena penggunaannya yang relatif rendah, jika dikombinasikan dengan pemikiran strategis para pemimpin Korea Utara, menjadikannya senjata psikologis untuk melawan kekuatan regional (Barannikova, 2024). Tujuan dari perang psikologis adalah untuk mendapatkan keuntungan atas musuh dengan mengeksploitasi keraguan dan ketakutan tentang peluang kemenangan mereka. Pada tahun 2023, Amerika Serikat dan Korea Selatan melakukan 42 latihan militer gabungan untuk menargetkan Korea Utara dan beberapa latihan melibatkan perencanaan serangan nuklir dan penghancuran kepemimpinan Korea Utara.

Kim Jong Un menyatakan bahwa 2024 akan menjadi tahun penting untuk persiapan perang, sembari menyebut aksi konfrontatif Amerika Serikat dan Korea Selatan menjadi biang keladi meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea. Hal ini direspon oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat yang memulai latihan militer gabungan secara besar-besaran pada Senin 19 Agustus 2024 dengan tujuannya untuk memperkuat kemampuan pertahanan bersama dalam menghadapi Korea Utara. Latihan militer gabungan ini berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea, Namun demikian, keberanian Korea Utara melawan hegemoni AS dengan persenjataannya yang jauh lebih unggul di medan perang merupakan bukti bahwa mereka sangat kuat dalam perang psikologis, dan mereka telah menang dalam kampanye propaganda internasional (Powell, 2021). 

  

Dampak Psychological Warfare dari kegagalan Denuklirisasi di Semenanjung Korea bagi Indonesia

Pengembangan senjata nuklir atau uji coba rudal balistik Pyongyang sebagai risiko keamanan yang sangat mungkin terjadi dan berdampak besar bagi negara disekitar dan dunia (Wu et al., 2021). Masyarakat internasional secara tidak langsung juga menjadi korban dari kebijakan antagonis Korea Utara, yang menyebarkan ketakutan secara psikologis ke seluruh dunia. Perang psikologis yang dimainkan Korea Utara memiliki keberlanjutan dalam semua aspek politik, ekonomi, sosial dan militer.

Perang psikologis dari kegagalan denuklirisasi Semenanjung Korea memberikan dampak signifikan bagi Indonesia, antara lain: 

  • Aspek Politik. Korea Utara maupun musuh-musuhnya terlibat dalam taktik psikologis secara politik untuk memengaruhi opini publik dan persepsi internasional. Bagi Indonesia, yang secara historis menganjurkan pelucutan senjata nuklir, kegagalan denuklirisasi dapat menyebabkan persepsi bahwa upaya diplomatik sia-sia, yang berpotensi merusak inisiatif nonproliferasi Indonesia sendiri. Taktik perang psikologis yang digunakan oleh negara-negara yang terlibat di semenanjung Korea dapat memengaruhi keselarasan dan kemitraan Indonesia dalam forum internasional terkait proliferasi nuklir. 
  • Aspek Ekonomi. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh badan-badan internasional, berfungsi sebagai bentuk perang psikologis terhadap Korea Utara. Bagi Indonesia, hal ini menciptakan situasi yang rumit di mana Indonesia harus menavigasi hubungan diplomatiknya secara ekonomi dengan Korea Utara dan negara-negara lain yang mengadvokasi denuklirisasi. Keraguan ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan inovasi di Indonesia, karena investasi potensial dialihkan ke lingkungan yang lebih stabil. 
  • Aspek Sosial. Di Indonesia, narasi seputar ambisi nuklir Korea Utara dapat memengaruhi cara warga memandang kebijakan diplomatik antara Indonesia dan negara-negara lain yang terlibat dalam masalah Semenanjung Korea, hal itu dapat memperumit hubungan dengan negara-negara tersebut karena Indonesia berusaha mempertahankan sikap netralnya. 
  • Aspek Militer. Taktik perang psikologis yang digunakan oleh Korea Utara---seperti ancaman dan propaganda---berfungsi untuk menanamkan rasa takut dan ketidakpastian di negara-negara tetangga. Bagi Indonesia, hal ini mendorong perlunya peningkatan kewaspadaan dan kesiapan militer, khususnya di wilayah maritim yang dapat terpengaruh oleh eskalasi konflik. Kegagalan perang psikologis untuk mencapai denuklirisasi dapat menyebabkan Indonesia untuk mempertimbangkan peningkatan anggaran pertahanannya.

Selain itu, Indonesia dapat mengupayakan kerja sama militer yang lebih erat dengan negara-negara tetangga ASEAN dan kekuatan regional lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia, untuk secara kolektif mengatasi tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh Korea Utara yang memiliki senjata nuklir.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun