Psychological Warfare:
Kegagalan Denuklirisasi Semenanjung Korea dan Dampaknya bagi Indonesia
UmumÂ
Perlombaan global untuk memperoleh senjata nuklir masih terus berlangsung, Semenanjung Korea sebagai satu-satunya kawasan dengan persediaan hulu ledak nuklir yang terus bertambah (Kim, 2024) dan dianggap sebagai tempat paling memungkinkan terjadinya perang nuklir di masa mendatang (Vaddi, 2024).
Korea Utara telah memiliki senjata nuklir selama lebih dari satu dekade dan menggambarkan sebagai 'pedang berharga yang kuat' (Dalton & Kim, 2023). Namun, kesimpulan yang dicapai menurut Korea Utara selama perundingan pada tahun 2018--2019 bahwa dialog dan negosiasi tidak ada gunanya. Korea Utara memainkan perang psikologis untuk menarik simpati internasional dengan kekuatan nuklirnya yang berkelanjutan dalam semua aspek politik, ekonomi, sosial dan militer baik pada tingkat taktis maupun strategis (Makhroja, 2020). Kondisi ini menyebabkan hubungan antar-Korea telah merosot ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir karena kedua negara mengintensifkan perang psikologis lintas batas.
Di luar keuntungan militernya, senjata nuklir secara strategis dan taktis berfungsi sebagai alat perang psikologis (Barannikova, 2024). Psychological Warfare yang terjadi tersebut tidak hanya memberikan pengaruh terhadap regional kawasan semenanjung Korea, namun memberikan efek terhadap kawasan lain termasuk Asia Tenggara yang telah mendeklarasikan diri sebagai kawasan bebas nuklir dan Indonesia sebagai negara terbesar di Asia tenggara.
Bagaimana dampak Psychological Warfare dari kegagalan denuklirisasi Semenanjung Korea terhadap Indonesia?
 Â
Kegagalan Denuklirisasi Semenanjung Korea
Korea Utara telah melakukan enam kali uji coba nuklir dan lebih dari 150 rudal (Kristensen & Korda, 2021), dan kebijakan nuklirisasi ini terus berlanjut karena kebijakan pencegahan Amerika Serikat dalam latihan militer gabungan tahunan yang provokatif dengan Korea Selatan. Latihan militer ini selalu menjadi perdebatan dalam negosiasi denuklirisasi Korea Utara.
Â
Denuklirisasi dan pelucutan senjata di semenanjung Korea telah terperangkap dalam jaringan persaingan antar-negara adidaya (Vaddi, 2024), antara Amerika Serikat dan China. Dua pilar perdamaian di Semenanjung Koreadenuklirisasi Korea Utara dan kerja sama antar-Koreakeduanya menemui jalan buntu (Chung et al., 2020). Hal ini telah memperdalam kekhawatiran pemerintah Korea Selatan yang awalnya mendorong keras denuklirisasi penuh dan pengembangan perdamaian dikawasan.
Â
Psychological Warfare di Semenanjung Korea.Â
Ancaman senjata nuklir merupakan alat intimidasi yang efisien karena penggunaannya yang relatif rendah, jika dikombinasikan dengan pemikiran strategis para pemimpin Korea Utara, menjadikannya senjata psikologis untuk melawan kekuatan regional (Barannikova, 2024). Tujuan dari perang psikologis adalah untuk mendapatkan keuntungan atas musuh dengan mengeksploitasi keraguan dan ketakutan tentang peluang kemenangan mereka. Pada tahun 2023, Amerika Serikat dan Korea Selatan melakukan 42 latihan militer gabungan untuk menargetkan Korea Utara dan beberapa latihan melibatkan perencanaan serangan nuklir dan penghancuran kepemimpinan Korea Utara.
Kim Jong Un menyatakan bahwa 2024 akan menjadi tahun penting untuk persiapan perang, sembari menyebut aksi konfrontatif Amerika Serikat dan Korea Selatan menjadi biang keladi meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea. Hal ini direspon oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat yang memulai latihan militer gabungan secara besar-besaran pada Senin 19 Agustus 2024 dengan tujuannya untuk memperkuat kemampuan pertahanan bersama dalam menghadapi Korea Utara. Latihan militer gabungan ini berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea, Namun demikian, keberanian Korea Utara melawan hegemoni AS dengan persenjataannya yang jauh lebih unggul di medan perang merupakan bukti bahwa mereka sangat kuat dalam perang psikologis, dan mereka telah menang dalam kampanye propaganda internasional (Powell, 2021).Â
 Â
Dampak Psychological Warfare dari kegagalan Denuklirisasi di Semenanjung Korea bagi Indonesia
Pengembangan senjata nuklir atau uji coba rudal balistik Pyongyang sebagai risiko keamanan yang sangat mungkin terjadi dan berdampak besar bagi negara disekitar dan dunia (Wu et al., 2021). Masyarakat internasional secara tidak langsung juga menjadi korban dari kebijakan antagonis Korea Utara, yang menyebarkan ketakutan secara psikologis ke seluruh dunia. Perang psikologis yang dimainkan Korea Utara memiliki keberlanjutan dalam semua aspek politik, ekonomi, sosial dan militer.
Perang psikologis dari kegagalan denuklirisasi Semenanjung Korea memberikan dampak signifikan bagi Indonesia, antara lain:Â
- Aspek Politik. Korea Utara maupun musuh-musuhnya terlibat dalam taktik psikologis secara politik untuk memengaruhi opini publik dan persepsi internasional. Bagi Indonesia, yang secara historis menganjurkan pelucutan senjata nuklir, kegagalan denuklirisasi dapat menyebabkan persepsi bahwa upaya diplomatik sia-sia, yang berpotensi merusak inisiatif nonproliferasi Indonesia sendiri. Taktik perang psikologis yang digunakan oleh negara-negara yang terlibat di semenanjung Korea dapat memengaruhi keselarasan dan kemitraan Indonesia dalam forum internasional terkait proliferasi nuklir.Â
- Aspek Ekonomi. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh badan-badan internasional, berfungsi sebagai bentuk perang psikologis terhadap Korea Utara. Bagi Indonesia, hal ini menciptakan situasi yang rumit di mana Indonesia harus menavigasi hubungan diplomatiknya secara ekonomi dengan Korea Utara dan negara-negara lain yang mengadvokasi denuklirisasi. Keraguan ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan inovasi di Indonesia, karena investasi potensial dialihkan ke lingkungan yang lebih stabil.Â
- Aspek Sosial. Di Indonesia, narasi seputar ambisi nuklir Korea Utara dapat memengaruhi cara warga memandang kebijakan diplomatik antara Indonesia dan negara-negara lain yang terlibat dalam masalah Semenanjung Korea, hal itu dapat memperumit hubungan dengan negara-negara tersebut karena Indonesia berusaha mempertahankan sikap netralnya.Â
- Aspek Militer. Taktik perang psikologis yang digunakan oleh Korea Utara---seperti ancaman dan propaganda---berfungsi untuk menanamkan rasa takut dan ketidakpastian di negara-negara tetangga. Bagi Indonesia, hal ini mendorong perlunya peningkatan kewaspadaan dan kesiapan militer, khususnya di wilayah maritim yang dapat terpengaruh oleh eskalasi konflik. Kegagalan perang psikologis untuk mencapai denuklirisasi dapat menyebabkan Indonesia untuk mempertimbangkan peningkatan anggaran pertahanannya.
Selain itu, Indonesia dapat mengupayakan kerja sama militer yang lebih erat dengan negara-negara tetangga ASEAN dan kekuatan regional lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia, untuk secara kolektif mengatasi tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh Korea Utara yang memiliki senjata nuklir.
Â
Kesimpulan dan Rekomendasi.Â
Semenanjung Korea dianggap sebagai tempat yang paling memungkinkan terjadinya perang nuklir di masa mendatang yang dapat melibatkan empat negara pemilik senjata nuklir, termasuk Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara, dengan Amerika Serikat dan sekutunya, ditambah Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Korea Utara memainkan perang psikologis untuk menarik simpati internasional dengan kekuatan nuklirnya. Di luar keuntungan militernya, senjata nuklir secara strategis dan taktis berfungsi sebagai alat perang psikologis. Perang psikologis dari kegagalan Denuklirisasi Semenanjung Korea dapat berdampak signifikan bagi Indonesia dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan militer.
Beberapa rekomendasi bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk mengatasi psychological Warfare dari kegagalan denuklirisasi Semenanjung Korea secara efektif, antara lain:Â
- Mendorong dialog antar-Korea untuk membangun kepercayaan, menjelajahi langkah-langkah pengendalian senjata yang komprehensif yang menjembatani kekhawatiran keamanan Korea Utara dan mendorong negosiasi mengenai langkah-langkah yang sesuai untuk meningkatkan stabilitas regional.Â
- Indonesia perlu mengkalibrasi ulang strategi kebijakan luar negerinya untuk mempertahankan kedaulatan dan kedudukan regionalnya. Dampak perang psikologis dari kegagalan denuklirisasi semenanjung Korea melibatkan eksplorasi potensi kecemasan tentang pengaruh eksternal yang dapat mengganggu keseimbangan kekuatan di Asia Tenggara.Â
- Indonesia dapat mendorong perdagangan dan kerja sama ekonomi serta memperluas pertukaran di semua bidang untuk tumbuh bersama. Hubungan antar-Korea yang luas dapat membantu mengurangi ketegangan politik dan militer di semenanjung Korea.Â
- Menciptakan dialog regional untuk kerja sama keamanan, dengan fokus pada langkah-langkah membangun kepercayaan untuk mengatasi konflik-konflik zona nuklir, dan kolaborasi dengan negara-negara sahabat untuk manajemen krisis yang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H