Mohon tunggu...
Apriansyah Yudha
Apriansyah Yudha Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Asal mau berusaha, hidup akan memberikan segalanya" - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ce, Apakah Kau?

18 Desember 2013   18:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ce

Perjalan pulang aku melihat jalanan basah. Sepatuku kotor menginjak genangan dimana mana yang tak bisa ku hindari, kecuali hanya jika aku punya sayap untuk terbang. Kelembapan sekitar masih merekam segar air yang mengisi rongga udara yang menyentuh kulitku. Hujan mungkin tadi. Bodohnya aku sampai tak tahu jika tadi entah kapan tepatnya, tadi sore? Siang? Pagi? Dari tadi kapan hujan mengguyur?Yang jelas ku predikisi baru reda malam di perjalanan pulangku dari pabrik. Tit tit tit..pikiranku buyar.. ah ku kira itu suara klakson mobil yang jalannya tak sengaja ku blokade di jalan sempit ini, ternyata hanya sebuah motor berwarna abu yang ingin menepi. Motor itu mendekat, aku berjalan menjauh, motor itu tak juga menepi malah makin mendekatiku. Gelisah, spontan ku lihat siapa pengendara berjaket hitam itu.

“Sial, gue pikir gue mau diculik, diperkosa! Kaget gue!”sentakku kesal tapi lega ketika melihat wajah David.

“Ngarep lu diperkosa! Hujan, malam, becek gak ada ojek, perempuan keluyuran malam begini sengaja kan lu nyari kesempatan. Hahaha” jawab David sambil terbahak.

“Gila lu ya, nganggep gue sehina itu!!” menyebalkan David si china brengsek.

“Ayo naek lo, sekalian. Jam segini udah gak ada angkutan umum. Kasian amat, makannya jangan pulang malem gini” nada suara David mulai melembut. Ku taeki jok belakang motor maticnya.

“Ya, gimana lagi operasional jam kerja gue emang pulang jam 10 malem Ce” kataku pada David yang sengaja ku panggil Ce, alasannya karena dia itu China tok tok alias tulen, lebih jelasnya lagi karena kata “China”diawali huruf “C”. Ce dibaca seperti kita membaca nama tengah penyanyi internasional asal Jogjakarta, Anggun “C” Sasmi. Cukup “Ce” tak perlu embel embel Ncek, Cek, apalagi Ahong yang seperti kebanyakan orang China kita panggil. Cukup Ce. Alasan asal yang hanya seorang perempuan anggap sederhana namun terdengar lucu.

“Lu pindah aja kerjanya, cari yang agak perempuan” sergah David

Sembari mengerutkan dahi ku jawab si brengsek itu “Maksud lu apa Ce? Emang gue jadi buruh bangunan? Ngangkat batu, ngaduk pasir gitu? Biar kerja di pabrik gue cuman bungkus bungkus kardus produk jadi”

“Oh gue pikir lu yang bikin lantai beton gitu, lagian nama pabrik lu itu PT. 3Roda ya kan?, kayak merek Semen, hahaha” si brengsek itu terbahak lagi

“Bukan gila! Produk kita obat nyamuk bakar”

“hahahha.. pantes roda roda gitu namanya” dia terbahak lagi.

“brengsek!”

Lampu motor membelah kegelapan remang kota, kami mulai memasuki jalan raya yang lengang dengan lampu lampu penerangan jalan yang tidak lagi berfungsi. Tiba tiba laju motor David mulai kurang ajar, kecepatannya membuat dadaku kembang kempis. Ku lirik speedometer, aku makin kalang kabut.

“Ce!! Brengsek!” volume suara ku tinggikan, semabari ku tepuk pinggul David agak bertenaga.

“Kalo lu mau mati, jangan bawa bawa gue!” tambah ku lagi.

“Berhenti!!” sentakku, David melirik agak bingung.

“Berhenti!! gue jalan kaki aja, udah deket ini” tambahku lagi, namum motor masih melaju.

David yang sedikit kebingungan mulai mengerti apa maksudku.

“Hahaha.. gila lu cemen baru juga 120”

“120 apanya tadi hampir batas akhir itu jarum! 160!!” bantahku

“Bukan gitu Ce ini jalanan masih basah, licin brengsek, lu mau bunuh gue??!” David malah terlihat kegelian dan terbahak.Brengseeeeeeeeeeeekkk
“Yaudah, gue pelanin nih, liat” tangan kirinya menunjuk ke speedometer, dadaku mulai lega melihat jarum merah itu di angka 80.

“Yah udah segitu aja ampe nyampe!”

“Ok boss” jawab si brengsek itu sambil terkekeh.

Tak terasa kami sudah sampai di tempat kami tinggal. Kosanku. David memberhentikan motornya di depan gerbang warna putih tempatku turun, lalu dia mundur beberapa meter tepat di depan gerbang rumahnya. David adalah anak dari pemilik kos kosan tempat aku tinggal selama 3 tahun ini. David seorang mahasiswa Tekhnik Lingkungan di sebuah Politehnik swasta. Dia makhluk pejantan satu satunya yang menempati lahan sederhana yang disesaki 7 kamar kos kosan dan sebuah rumah ala Belanda yang dihuni David dan Nyonya Lin, ibunya. Mereka hidup dari uang bayaran kos kosan ini dan sebuah kios bakmi sebagai penopang segalanya, termasuk biaya kuliah sang putra sulung, David. Nyona Lin membuka kios bakmi di depan rumah. Sempat kalang kabut dua tahun lalu karena masyarakat meragukan ke-halalan masakan Nyonya Lin hanya karena mereka memelihara seekor anjing kampung coklat bernama Luna. Tapi sekarang semua sudah membaik karena halal atau tidak warga sini yang kebanyakan pendatang sudah tidak peduli. Aku juga tidak peduli karena aku tahu Nyonya Lin adalah seseorang yang sangat higienis, dan Luna begitu menggemaskan. Selain itu bakmi Nyonya Lin sangat lezat, berkuah kental, dengan irisan daging ayam dadu beraroma kaldu kecap dan bawang mengugah. Aku tak pernah mengerti apa yang orang orang itu ragukan, selain itu Nyonya Lin sangat ramah dan baik, ah entahlah... Tak pernah ada kebaikan yang menemukan jalan lurus di muka bumi ini. Lalu Tuan Lin, ayah David katanya meninggal karena keracunan obat herbal, ada yang menduga Tuan Lin meninggal bukan karena obat herbal namun karena kesalahan teknik akupuntur untuk menyembuhkan strokenya yg malah berujung maut di klinik yang diusut polisi karena disinyalir melakukan malpraktek, beberapa tahun setelah Tuan Lin meninggal, banyak pula yang meninggal. Aku tahu semua itu dari Kosasih tetangga kami. Kosasih lelaki kemayu yang selalu hadir di setiap pagi dan sore di halaman depan rumahnya hanya untuk melihat David pulang/pergi kuliah. Dia selalu curhat pada Nur, tetangga kamarku. Nur satu kampus dengan David, bahkan satu organisasi semacam kampanye perlindungan hutan. Nur salalu bercerita pada Kosasih bahwa David ini, David itu.. Yang selalu tanpa sengaja dan dengan sengaja ku dengar pembicaraan mereka. Dia bahkan terang terangan bercerita pada Nur bahwa dia menyimpan hati pada David, dari semenjak mereka satu kelas di sekolah dasar. Kosasih bercerita banyak tentang hal apapun, termasuk masa lalu keluarga David. Dalam benakku dia semacam sumber berita mengenai gosip siapapun, apapun dalam ruang lingkup lingkungan kami, mungkin karena dia pengangguran yang sering keliling komplek. Meski begitu pengetahuan Kosasih ku anggap sangat luas karena Nur dan Kosasih bisa tiba tiba berbincang soal gosip international terhangat tentang siapa, apa dan bagaimana aku tak pernah mengerti dan tak mau tau soal itu, yang membuatku tau itu terhangat karena Kosasih selalu mengucapkan “Gosssipp barrruuu” sebelum memulai perbincangan. Namun dia hampir selalu bertanya mengenai keseharian David di kampus. Saat itulah, baru aku mulai menajamkan telinga, memusatkan konsentrasi di balik tembok tipis yang membatas kami. Entah mengapa aku selalu ingin tahu, selalu ingin mendengar perbincangan mereka tentang Ce. Ce? Sejak kapan aku memanggil David, Ce? Rumit sekali cerita ini, serumit perasaan seorang wanita yang jarang akur dengan logika.

“Tika..” Suara Ce menyelinap. Kami hanya dipisahkan pagar kayu pendek yang dipasang ditengah halaman sebagai pembatas rumah dan bangunan kos kosan. Lampu taman memancarkan ketampanan makhluk jantan itu.

“Ya Ce..”

“Besok, gue jemput ke pabrik lu, lu tunggu ya, jangan dulu pulang”

“Ga usah Ce. Gue gak suka hutang budi ama orang, apalagi ama elo. Pasti minta balas budi nantinya. Udah ah gue ngantuk, besok gue masuk pagi lagi”

“Hmm.. yaudah, kalo gitu besok lu traktir gue makan sate Uda Gembul ya. Itung itung ongkos ojek nyampe sini, hahaha”

“iyeee kadal busuk!” David brengsek. Namun dalam hati, ku tersenyum. Mungkin akan seperti biasanya, dia selalu bilang minta ditraktir, namun si brengsek itu selalu telah membayar makanan yang telah kami makan. Entah bagaimana kronologisnya, yang jelas ketika aku bermaksud membayar, si cashier selalu bilang, “maaf mbak table sekian sudah dibayar”, menjengkelkan. Akal busuk laki laki. Senyum kembali terukir di wajahku.

Ce dan aku memasuki ruangan kami masing masing. Ce menghilang di balik pintu rumahnya lebih dulu sedangkan aku harus terus berjalan beberapa langkah menuju ujung halaman untuk memasuki kamarku yang paling ujung.

*****

Esok harinya, aku merasa kurang enak badan, mungkin pengaruh angin malam juga kelembapan udara yang dingin di musim hujan ini, namun itu bukan alasan untuk meninggalkan pekerjaan. Aku terbangun oleh keributan di luar kamar. Ribut ribut perbincangan Nur dan seorang lelaki muda. Kosasih.

“Tolong sampein. Gue nulis ini satu minggu, puisi plus surat cintaaa. Gue gak tahan lama lama gak ngungkapin” cericit Kosasih di depan pintu kamar Nur.

“Eh apaan ni? Salah alamat. Itu tuh rumahnya! ini kamar gue!”

“Ih, galak amat sih macan bangun tidur. Gue gak beraniii Ennur, gue gak mampu. Liat dia aja gue dug dug ser gak jelas”

“Yaelah lebay. Sumpah gue baru bangun dapet penampakan gini, kayaknya gue bakal dapat musibah” Ku dengar Nur terkekeh

“Please..”

“Urgh gila! Trus gue bilangnya gimana ke si David? Dari pengagum rahasia gitu? Nanti dia pikir gue lagi yang ngecengin dia. Ogah ah” Suara rada serak Nur menandai dia baru bangun.

“Nih liaaaatt...Buka tuh mata jangan dipake nonton bokep doang!” Kosasih menunjukan namanya tertera di muka surat.

“Gila lu. Berani amat, gue pikir lu cuman filrting maen maen aja ama si David”

“Sumpah ya.. gak guna gue curhat ke alu selama berbulan bulan ini!”

“Hahaha.. iya kampret, gue tau lu cinta mati. Udah sana sana! Gue mau mandi” Ku dengar Nur menguap.

“Sampein yaaa. Kasih ke dia. Please.. “

“ Iya til, pasti gue sampein. Taro aja atas CPU”

“Asyiikk yess! Gak cuma cuma gue curhat ama lu.. mmmm mmm..mmm.. cantik deh biarpun baru bangun tidur”

“Gak ngefek gue dipuji ama lu. Gak ada setrumnya elu mah! Hahaha”

“Janjiiiiiii??””

“Iyyaaampuuunnn, udah sana. Kalo lu masih disini gak bakal gue kasiin ke si David”

“Ih, jahat ah.. Janji duluuuuu...!”

“Iye janji. Sana.. “

“Sip. Makasih cantiiiikkkk. mmmmuah”

Kosasih beranjak. Tampaknya Nur mencerca di dalam kamar. “Banci kalas, makin songong dia datang ke kamar gue pagi pagi gini” lalu musik mengalun.

*****

Sepulang bekerja, ku pikir flu ku makin parah. Namun malam tidak hujan, aku tidak perlu terbang untuk menghindari genangan bekas hujan kemarin. Dan kurasa aku masih bisa menempuh perjalanan pabrik-kosan dengan baik. Tapi, diam diam aku menginginkan ada sebuah klakson motor dan motor yang menepi seakan hendak menculikku. Culik aku Ce...

Tit.. Tit.. tiiiittt... Ku dengar klakson berbunyi di belakangku, hatiku mengembang tanpa persiapan, ada semacam kesenangan yang menyelinap. Ku rasakan motor matic itu semakin mendekat. Ce, mendekatlah..

“Tika..” sebuah suara memanggilku. Namun ada yang berbeda. Dahiku mengkerut. Ini bukan Ce.

“Oh hai Nur, dari mana?”

“Gue habis nganterin Kosasih. Tetangga kita”

“O, cowo yang sering nongkrong di halaman kita?”

“Yang sering ke kamar gue malah. Kamu baru balik kerja ya? Hayu naek, gue juga mau balik”

“O, gak ngerepotin nih Nur?”

“Yaelah.. ngerepotin apa? Orang gue yang nawarin. Udah! Ayo naek”

Motor melaju di jalan lengang dengan lampu lampu penerangan yang tak berfungsi. Seperti mempenetrasi malam motor itu menyusup ke dalam kegelapan. Membuatku merasa hanya kami berdua yang menghuni bumi.

“Gila” Ku dengar Nur berbicara.

“Gue pikir, dia gak bakalan berhasil”

“Gila kenapa Nur? Siapa yang berhasil?”

“Oh enggak, gue cuman ngegumam aja, gue pikir kamu gak denger”

“Kedengeran lah, orang sepi kayak gini, hehe”

“Enggak, itu temen . Kemaren dia nitipin surat cinta gitu buat cowok. Gue pikir gak bakal diterima ternyata mereka sekarang malah udah jadian. Lucu dan aneh banget dunia ini Tik”

Dunia kurasakan makin sempit. Dadaku terhimpit. Ku tepis pikiran bodoh itu. Ngawur..

“Tadi, kamu habis nganterin Kosasih itu kan Nur?”

“Iya, kan udah bilang”

“Nganterin kemana? Bedua aja kalian?”

Nur tidak menjawab. Ku rasa dia sedang berpikir.

“Mmm ke Sate Uda Gembul. Bentar bentar Tik. Kok kamu malah nanya ke situ. Gue kesana ama si David kok, kita bertiga. Hahahahaha.. Jangan jangan kamu nyangka gue jadian ama si Kosasih? Hahaha gila.. Enggak. Dia tuh gak suka cewe! Keliatan banget kaliii. Hahaha”

Hening... Ku kumpulkan nafas dan seluruh keberanianku.

“Dia jadian ama David?” Pertanyaan itu begitu tepat sasaran seperti peluru yang percaya diri menembus udara, menembus dada.

Nur terdiam. Hening beberapa saat. Lalu terdengar dia menghela nafas.

“Kok lu tau?”

Ku cengkram pinggang Nur kuat kuat. Dalam laju, dalam gelap, dalam hening aku menangis.

Ce........ Brengseeeeeeeeeeeekkkk!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun