Mohon tunggu...
Apriansyah Yudha
Apriansyah Yudha Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Asal mau berusaha, hidup akan memberikan segalanya" - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ce, Apakah Kau?

18 Desember 2013   18:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yah udah segitu aja ampe nyampe!”

“Ok boss” jawab si brengsek itu sambil terkekeh.

Tak terasa kami sudah sampai di tempat kami tinggal. Kosanku. David memberhentikan motornya di depan gerbang warna putih tempatku turun, lalu dia mundur beberapa meter tepat di depan gerbang rumahnya. David adalah anak dari pemilik kos kosan tempat aku tinggal selama 3 tahun ini. David seorang mahasiswa Tekhnik Lingkungan di sebuah Politehnik swasta. Dia makhluk pejantan satu satunya yang menempati lahan sederhana yang disesaki 7 kamar kos kosan dan sebuah rumah ala Belanda yang dihuni David dan Nyonya Lin, ibunya. Mereka hidup dari uang bayaran kos kosan ini dan sebuah kios bakmi sebagai penopang segalanya, termasuk biaya kuliah sang putra sulung, David. Nyona Lin membuka kios bakmi di depan rumah. Sempat kalang kabut dua tahun lalu karena masyarakat meragukan ke-halalan masakan Nyonya Lin hanya karena mereka memelihara seekor anjing kampung coklat bernama Luna. Tapi sekarang semua sudah membaik karena halal atau tidak warga sini yang kebanyakan pendatang sudah tidak peduli. Aku juga tidak peduli karena aku tahu Nyonya Lin adalah seseorang yang sangat higienis, dan Luna begitu menggemaskan. Selain itu bakmi Nyonya Lin sangat lezat, berkuah kental, dengan irisan daging ayam dadu beraroma kaldu kecap dan bawang mengugah. Aku tak pernah mengerti apa yang orang orang itu ragukan, selain itu Nyonya Lin sangat ramah dan baik, ah entahlah... Tak pernah ada kebaikan yang menemukan jalan lurus di muka bumi ini. Lalu Tuan Lin, ayah David katanya meninggal karena keracunan obat herbal, ada yang menduga Tuan Lin meninggal bukan karena obat herbal namun karena kesalahan teknik akupuntur untuk menyembuhkan strokenya yg malah berujung maut di klinik yang diusut polisi karena disinyalir melakukan malpraktek, beberapa tahun setelah Tuan Lin meninggal, banyak pula yang meninggal. Aku tahu semua itu dari Kosasih tetangga kami. Kosasih lelaki kemayu yang selalu hadir di setiap pagi dan sore di halaman depan rumahnya hanya untuk melihat David pulang/pergi kuliah. Dia selalu curhat pada Nur, tetangga kamarku. Nur satu kampus dengan David, bahkan satu organisasi semacam kampanye perlindungan hutan. Nur salalu bercerita pada Kosasih bahwa David ini, David itu.. Yang selalu tanpa sengaja dan dengan sengaja ku dengar pembicaraan mereka. Dia bahkan terang terangan bercerita pada Nur bahwa dia menyimpan hati pada David, dari semenjak mereka satu kelas di sekolah dasar. Kosasih bercerita banyak tentang hal apapun, termasuk masa lalu keluarga David. Dalam benakku dia semacam sumber berita mengenai gosip siapapun, apapun dalam ruang lingkup lingkungan kami, mungkin karena dia pengangguran yang sering keliling komplek. Meski begitu pengetahuan Kosasih ku anggap sangat luas karena Nur dan Kosasih bisa tiba tiba berbincang soal gosip international terhangat tentang siapa, apa dan bagaimana aku tak pernah mengerti dan tak mau tau soal itu, yang membuatku tau itu terhangat karena Kosasih selalu mengucapkan “Gosssipp barrruuu” sebelum memulai perbincangan. Namun dia hampir selalu bertanya mengenai keseharian David di kampus. Saat itulah, baru aku mulai menajamkan telinga, memusatkan konsentrasi di balik tembok tipis yang membatas kami. Entah mengapa aku selalu ingin tahu, selalu ingin mendengar perbincangan mereka tentang Ce. Ce? Sejak kapan aku memanggil David, Ce? Rumit sekali cerita ini, serumit perasaan seorang wanita yang jarang akur dengan logika.

“Tika..” Suara Ce menyelinap. Kami hanya dipisahkan pagar kayu pendek yang dipasang ditengah halaman sebagai pembatas rumah dan bangunan kos kosan. Lampu taman memancarkan ketampanan makhluk jantan itu.

“Ya Ce..”

“Besok, gue jemput ke pabrik lu, lu tunggu ya, jangan dulu pulang”

“Ga usah Ce. Gue gak suka hutang budi ama orang, apalagi ama elo. Pasti minta balas budi nantinya. Udah ah gue ngantuk, besok gue masuk pagi lagi”

“Hmm.. yaudah, kalo gitu besok lu traktir gue makan sate Uda Gembul ya. Itung itung ongkos ojek nyampe sini, hahaha”

“iyeee kadal busuk!” David brengsek. Namun dalam hati, ku tersenyum. Mungkin akan seperti biasanya, dia selalu bilang minta ditraktir, namun si brengsek itu selalu telah membayar makanan yang telah kami makan. Entah bagaimana kronologisnya, yang jelas ketika aku bermaksud membayar, si cashier selalu bilang, “maaf mbak table sekian sudah dibayar”, menjengkelkan. Akal busuk laki laki. Senyum kembali terukir di wajahku.

Ce dan aku memasuki ruangan kami masing masing. Ce menghilang di balik pintu rumahnya lebih dulu sedangkan aku harus terus berjalan beberapa langkah menuju ujung halaman untuk memasuki kamarku yang paling ujung.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun