Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta di Pondok Hutan Terlarang

5 September 2019   13:00 Diperbarui: 28 Maret 2020   20:28 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Duaarr!" 

Secara reflek aku  yang saat ini tidak memakai kacamata dan kerudung berwarna hitam untuk menutupi kepalaku  itu langsung memeluk lelaki sampan yang berada di dekatku, aku memang sedari tadi takut dengan suara petir, apalagi suara petir yang terdengar kencang barusan seperti dekat diatas pondok. 

"Mas, aku takut." Bisikku pelan, sambil terus memeluk erat tubuh lelaki sampan. 

"Tidak ada yang perlu di takutkan, mudah-mudahan kita aman berada di dalam pondok ini," katamu pelan sambil membuang puntung rokok dari tangannya.  Sambil mengusap-usap rambut kepalaku, membuat aku tenang.

Dalam diam, di antara derasnya suara air hujan di dalam pondok di tengah-tengah Hutan larangan kami saling berpelukan. Dapat kurasakan hembusan nafas dan debaran jantungnya saat memeluk erat tubuhku dan mengusap rambut kepalaku ini.

Desiran darah di tubuhnya seperti kembali menyatu dengan getaran birahiku. Kurasakan kecupan lembut di keningku, dan lelaki sampan mencoba melumat bibirku yang gemetar kedinginan, aku yang dari tadi merasakan hawa dingin dengan malu aku balas lumatan bibirnya, yang terasa sedikit manis rasa tembakau. Sepertinya tak ingin lepas bibir ini di dalam bibirnya. 

Masih erat aku  memeluk  tubuhnya, pelan-pelan lelaki sampan  merebahkan tubuhku  di atas kulit kayu yang menjadi alas bale-bale yang terbuat dari potongan-potongan batang kayu kecil itu. Sambil terus melumat bibirku yang terus aku balas lumatan bibirnya.  

Di antara derasnya air hujan, di dalam pondok kayu di dalam Hutan larangan. Aku dan lelaki sampan saling melumat dan saling mendekap. Dengan lembut lelaki sampan  berusaha membuka kancing baju yang aku kenakan. Di antara asap yang berasal dari pembakaran kayu-kayu di bawah tungku yang tadi ia nyalakan saat menjerang air. Aku menggelinjang kegelian saat lelaki sampan  menghujami tubuhku dengan ciuman, aku  hanya mampu mendesah tanpa mampu mencegah, ketika jemari tangan lelaki sampan itu pelan-pelan berusaha menyingkapkan dan masuk ke balik kain rok panjang yang aku kenakan.


Catatan : Di buat oleh, Apriani Dinni dan Warkasa1919. Baca juga Aku dan Cinta di Hutan Larangan yang di buat oleh, Warkasa1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun