Ku lihat lelaki sampan kembali ke arah tungku, sepertinya sibuk mencari sesuatu, hilir mudik disekitar tungku sambil tangannya mengorek-ngorek barang yang ada disekitar tungku.
Sepertinya lelaki sampan tak menemukan yang dicarinya di dekat tungku, karena ia menuju ke sudut pondok yang letaknya tak begitu jauh dari tungku. Sepertinya lelaki sampan menemukan apa yang dicarinya, ternyata ia menemukan gula, kopi dan rokok yang entah namanya aku kurang tahu.Â
Dengan santai ia melinting rokok, dari cara ia melinting rokok aku jadi teringat almarhum kakekku yang suka merokok dengan cara dilinting seperti itu. Setelah menghisapnya dalam-dalam, lelaki sampan segera menyalakan api di tungku perapian. Setelah api menyala, ketika lelaki sampan hendak mengambil air di tempat penampungan air untuk merebus air dan membuat kopi, aku yang dari tadi diam melihat perbuatan lelaki sampan, spontan aku menegurnya. Â
"Mas, nggak baik mengambil dan memakai barang-barang milik orang di dalam pondok kayu ini tanpa seizin orangnya, mas," kataku pelan, berusaha mengingatkan lelaki sampan, agar tidak sembarangan memakai barang-barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
"Iya aku tahu, tapi biasanya barang-barang seperti gula, kopi, rokok dan lainnya yang sengaja di tinggalkan oleh pemiliknya di dalam pondok di tengah-tengah hutan seperti ini, setahuku memang boleh di gunakan, terlebih oleh orang-orang yang sedang membutuhkan seperti kita ini." Dalihnya  sambil tertawa kecil menatap ke arahku.
Kemudian lelaki sampan menjelaskan dengan panjang lebar padaku.Â
"Izin ya Tuk, cucu mau meminta dan mau menumpang membuat kopi," kata lelaki sampan  pelan, sedikit bercanda sambil tertawa melihat ke arahku yang  masih takut-takut dengan sikap konyolnya selama berada di dalam pondok kayu ini.Â
Setelah mengambil dan menjerang air di atas tungku, sambil mengisap asap rokok dalam-dalam, sambil menghembuskan asapnya pelan-pelan, lelaki sampan  berjalan ke arahku yang tengah duduk di atas bale-bale kayu.
"Maaf, tadi sampan yang kita naiki tak bisa aku kendalikan lagi, makanya kita bisa sampai terdampar di tempat ini," kata lelaki sampan  pelan, merasa bersalah sendiri saat melihat aku yang tengah duduk di sebelah lelaki sampan  ini menggigil kedinginan.Â
"Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku tahu tadi mas sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa mengendalikan sampannya, karena arus sungai yang deras itu tadi mematahkan kayu pendayung sampan yang mas miliki, untung tadi kita tidak tenggelam, walau terdampar di tempat ini, tapi aku bersyukur kita masih bisa selamat hingga saat ini," jawabku pelan, sambil tersenyum malu-malu menatap lelaki sampan.
Di luar pondok kayu, hujan kembali turun dengan lebatnya. Di antara cahaya kilat dan suara petir yang sepertinya saling bersahutan, mengandalkan cahaya api dari tungku yang baru saja selesai lelaki sampan  nyalakan saat menjerang air tadi, cahaya di dalam pondok ini terlihat makin temaram.