Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta di Pondok Hutan Terlarang

5 September 2019   13:00 Diperbarui: 28 Maret 2020   20:28 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

<< Sebelumnya 

****

Setelah mandi dan memakai baju dengan terburu-buru, aku melihat lelaki sampan tersenyum geli sambil melirik ke arahku, tak berapa lama ia menuju ke tempat penampungan air, aku tak menyangka dengan santai lelaki sampan itu membuka celana panjangnya di depanku. Sambil melirik ke arahku yang jengah melihatnya hanya memakai celana dalam di depan mataku, ia mencuci celana panjangnya dari kotoran tanah yang melekat di celana panjang yang ia kenakan tadi.

Melihat lelaki sampan hanya mengenakan celana dalam, wajahku terasa panas, tak mau terlihat oleh lelaki sampan aku cepat-cepat palingkan wajahku ke tempat lain, jatungku berdebar melihat lelaki sampan hanya memakai celana dalam di depan mataku. Terdengar gemericik air, sepertinya ia langsung mandi, sepertinya lelaki sampan merasakan air yang begitu dingin mengguyur tubuhnya. Aku terus palingkan wajah ke tempat lain walau sebenarnya ingin melihat ke arah lelaki yang tengah mandi itu.

Memang kulit kayu yang menutupi pondok tempat dimana aku dan lelaki sampan  ini  tengah berteduh, hanya menutupi dinding sebelah kiri, depan dan belakangnya saja. Sedangkan dinding bagian kanan, di tempat penampungan air hujan tempat mandi, sama sekali tidak ada penyekat yang menutupinya sama sekali.

Di sebelah bale-bale kayu, tempat aku menggigil kedinginan terdapat tungku api, yang  lama tidak terpakai, mungkin sudah lama pondok kayu ini ditinggal penghuninya, agak aneh juga ternyata di tengah hutan terlarang terdapat pondok kayu yang masih kokoh kayu-kayunya, terbersit dalam pikiran siapa yang membuat pondok kayu di tengah hutan terlarang ini, khawatir juga siapa tahu tempat persembunyian para penyamun, kutepis rasa takut ini ketika melihat lelaki sampan selesai mandi dan tersenyum kepadaku. 

****

Wajah lelaki sampan terlihat segar dan bersih setelah mandi,  ia melihat ke arah pergelangan kakiku yang mulai membengkak, kulihat ia khawatir dengan keadaan kakiku yang terkilir akibat tersandung akar kayu tadi. 

"Gimana keadaan kakimu yang terkilir tadi?" Tanyanya  setelah berada di dekatku, tetesan air kulihat menetes dari rambut ikal lelaki sampan. 

"Masih sedikit sakit, Mas," Jawabku pelan sambil melihat ke arah pergelangan kakiku.  Aku terbiasa memanggil mas pada setiap lelaki, meski saat ini aku mendapat tugas di daerah Sumatera, padahal aku sering mendengar mereka saling sapa dengan memanggil abang, tapi lidahku masih kaku memanggil abang pada lelaki sampan ini.

"Coba kulihat, semoga tidak parah." katanya sambil jongkok di depanku, lalu memegang pergelangan kakiku yang terasa sakit itu. 

Aku mengaduh menahan rasa sakit, saat tangan lelaki sampan menyentuh pergelangan kakiku. Kulihat kulit pergelangan kakiku memerah.

****

"Masih terasa sakit?" Tanyanya setelah selesai mengurut pergelangan kakiku, aku luruskan kedua kakiku di atas kedua pahanya, aku tersenyum menatap lelaki tampan yang duduk di atas bale-bale disebelahku. 

Walaupun bale-bale kayu ini terlihat sederhana, tapi menurutku cukup nyaman jika di pakai untuk tidur, apalagi jika dalam keadaan tubuh yang sudah begitu letih, karena seharian berjalan kaki dari tepi hutan larangan sampai ke tengah hutan larangan yang jaraknya lumayan jauh, apalagi dalam cuaca yang sedang tak bersahabat seperti saat ini.

"Udah sedikit berkurang, terima kasih Mas." Kataku pelan sambil tersenyum menatap wajah lelaki sampan. 

Setelah kedua kaki aku turunkan dari atas paha lelaki sampan, ia langsung turun dari atas bale-bale, mendekati ke arah tungku mencari sesuatu, entah apa yang tengah dicarinya. 

Ternyata ia mengambil sebuah kendi, setelah melihat kedalam kendi dan memastikan aman, lelaki sampan langsung meneguk air di dalam kendi, dan kulihat ia diam setelah minum air kendi, kemudian ia menyodorkan kendi berisi air putih ke arahku yang sendari tadi mengawasi gerak gerik lelaki sampan itu. 

"Minumlah," kata lelaki sampan  sambil menyodorkan kendi berisi air yang di genggamannya itu ke arahku.

Ada keraguan ketika aku menerima kendi dari tanganku. Jujur aku takut meminum air sembarangan apalagi di tengah hutan seperti ini, dan pondok kayu yang sudah lama ditinggal penghuninya, entah berapa lama air itu dalam kendi, bisa bulanan bahkan tahunan.

"Minumlah, kalau memang air ini beracun tentu aku sudah mati kelojotan dengan mulut berbusa setelah meminumnya air ini tadi." Kata lelaki sampan pelan sambil tertawa ke arahku  yang masih terlihat ragu-ragu menerima kendi dari tangan kanannya itu.

Lelaki sampan berhasil meyakinkanku, dan memang aku melihat ia tidak apa-apa setelah meminum air kendi tadi. Dengan perlahan, setelah mengintip air di dalam kendi terlebih dulu, akhirnya sambil melihat ke arah lelaki sampan  aku beranikan diri meminum air itu. 

Ku lihat lelaki sampan kembali ke arah tungku, sepertinya sibuk mencari sesuatu, hilir mudik disekitar tungku sambil tangannya mengorek-ngorek barang yang ada disekitar tungku.

Sepertinya lelaki sampan tak menemukan yang dicarinya di dekat tungku, karena ia menuju ke sudut pondok yang letaknya tak begitu jauh dari tungku. Sepertinya lelaki sampan menemukan apa yang dicarinya, ternyata ia menemukan gula, kopi dan rokok yang entah namanya aku kurang tahu. 

Dengan santai ia melinting rokok, dari cara ia melinting rokok aku jadi teringat almarhum kakekku yang suka merokok dengan cara dilinting seperti itu. Setelah menghisapnya dalam-dalam, lelaki sampan segera menyalakan api di tungku perapian. Setelah api menyala, ketika lelaki sampan hendak mengambil air di tempat penampungan air untuk merebus air dan membuat kopi, aku yang dari tadi diam melihat perbuatan lelaki sampan, spontan aku menegurnya.  

"Mas, nggak baik mengambil dan memakai barang-barang milik orang di dalam pondok kayu ini tanpa seizin orangnya, mas," kataku pelan, berusaha mengingatkan lelaki sampan, agar tidak sembarangan memakai barang-barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

"Iya aku tahu, tapi biasanya barang-barang seperti gula, kopi, rokok dan lainnya yang sengaja di tinggalkan oleh pemiliknya di dalam pondok di tengah-tengah hutan seperti ini, setahuku memang boleh di gunakan, terlebih oleh orang-orang yang sedang membutuhkan seperti kita ini." Dalihnya  sambil tertawa kecil menatap ke arahku.

Kemudian lelaki sampan menjelaskan dengan panjang lebar padaku. 

"Izin ya Tuk, cucu mau meminta dan mau menumpang membuat kopi," kata lelaki sampan  pelan, sedikit bercanda sambil tertawa melihat ke arahku yang  masih takut-takut dengan sikap konyolnya selama berada di dalam pondok kayu ini. 

Setelah mengambil dan menjerang air di atas tungku, sambil mengisap asap rokok dalam-dalam, sambil menghembuskan asapnya pelan-pelan, lelaki sampan  berjalan ke arahku yang tengah duduk di atas bale-bale kayu.

"Maaf, tadi sampan yang kita naiki tak bisa aku kendalikan lagi, makanya kita bisa sampai terdampar di tempat ini," kata lelaki sampan  pelan, merasa bersalah sendiri saat melihat aku yang tengah duduk di sebelah lelaki sampan  ini menggigil kedinginan. 

"Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku tahu tadi mas sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa mengendalikan sampannya, karena arus sungai yang deras itu tadi mematahkan kayu pendayung sampan yang mas miliki, untung tadi kita tidak tenggelam, walau terdampar di tempat ini, tapi aku bersyukur kita masih bisa selamat hingga saat ini," jawabku pelan, sambil tersenyum malu-malu menatap lelaki sampan.

Di luar pondok kayu, hujan kembali turun dengan lebatnya. Di antara cahaya kilat dan suara petir yang sepertinya saling bersahutan, mengandalkan cahaya api dari tungku yang baru saja selesai lelaki sampan  nyalakan saat menjerang air tadi, cahaya di dalam pondok ini terlihat makin temaram.

"Duaarr!" 

Secara reflek aku  yang saat ini tidak memakai kacamata dan kerudung berwarna hitam untuk menutupi kepalaku  itu langsung memeluk lelaki sampan yang berada di dekatku, aku memang sedari tadi takut dengan suara petir, apalagi suara petir yang terdengar kencang barusan seperti dekat diatas pondok. 

"Mas, aku takut." Bisikku pelan, sambil terus memeluk erat tubuh lelaki sampan. 

"Tidak ada yang perlu di takutkan, mudah-mudahan kita aman berada di dalam pondok ini," katamu pelan sambil membuang puntung rokok dari tangannya.  Sambil mengusap-usap rambut kepalaku, membuat aku tenang.

Dalam diam, di antara derasnya suara air hujan di dalam pondok di tengah-tengah Hutan larangan kami saling berpelukan. Dapat kurasakan hembusan nafas dan debaran jantungnya saat memeluk erat tubuhku dan mengusap rambut kepalaku ini.

Desiran darah di tubuhnya seperti kembali menyatu dengan getaran birahiku. Kurasakan kecupan lembut di keningku, dan lelaki sampan mencoba melumat bibirku yang gemetar kedinginan, aku yang dari tadi merasakan hawa dingin dengan malu aku balas lumatan bibirnya, yang terasa sedikit manis rasa tembakau. Sepertinya tak ingin lepas bibir ini di dalam bibirnya. 

Masih erat aku  memeluk  tubuhnya, pelan-pelan lelaki sampan  merebahkan tubuhku  di atas kulit kayu yang menjadi alas bale-bale yang terbuat dari potongan-potongan batang kayu kecil itu. Sambil terus melumat bibirku yang terus aku balas lumatan bibirnya.  

Di antara derasnya air hujan, di dalam pondok kayu di dalam Hutan larangan. Aku dan lelaki sampan saling melumat dan saling mendekap. Dengan lembut lelaki sampan  berusaha membuka kancing baju yang aku kenakan. Di antara asap yang berasal dari pembakaran kayu-kayu di bawah tungku yang tadi ia nyalakan saat menjerang air. Aku menggelinjang kegelian saat lelaki sampan  menghujami tubuhku dengan ciuman, aku  hanya mampu mendesah tanpa mampu mencegah, ketika jemari tangan lelaki sampan itu pelan-pelan berusaha menyingkapkan dan masuk ke balik kain rok panjang yang aku kenakan.


Catatan : Di buat oleh, Apriani Dinni dan Warkasa1919. Baca juga Aku dan Cinta di Hutan Larangan yang di buat oleh, Warkasa1919. Cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun