Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menikahlah dengan Suamiku (2)

17 Juli 2019   11:07 Diperbarui: 22 Juli 2019   23:11 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Dua

<< Sebelumnya.

----

Dan sekarang mereka ada dihadapanku meminta aku menjadi istri untuk suaminya? Tuhan apa yang aku harus aku lakukan?

---

Orangtua mana yang mengizinkan anaknya menjadi istri kedua, tangisan perempuan berhati tulus itu belum bisa meluluhkan hati bapakku.

Mereka pulang dengan tangan hampa, perempuan itu masih menangis ketika pulang. Putri kecilmu yang cantik masih memegang erat tanganku.

"Bunda ayo ikut pulang, ayo bunda," rengeknya, aku hanya bisa memeluknya dan menangis. Engkau menatapku dengan sorot mata begitu dalam dan berkaca-kaca, terasa kepedihan. Bagiku restu orangtua paling utama.

Engkau dengan lembut melepas pelukanku dengan putri cantikmu, engkau usap kepalaku penuh perasaan.

"Sabarlah, berdoalah semoga hati bapak luluh, mas akan selalu menunggu kabar baik darimu." Bisikmu sebelum berlalu.

Dari balik kaca ternyata bapak memperhatikan kami. Ketika aku masuk rumah bapak diam menatapku.

Aku langsng masuk kamar dan menangis, terdengar dering gawai ternyata engkau menghubungi dan terdengar suara tangis Putri cantikmu memanggil namaku. Kami bertangisan di telepon.

"Ceritakanlah apa adanya pada bapakmu, alasan kakak menginginkan engkau menjadi isteriku," katamu sebelum menutup telepon.

----

Mata bapak terlihat berkaca-kaca, ketika aku menceritakan alasan perempuan berhati tulus itu meminta aku untuk mendampingi suaminya bersama dia dan Putri cantiknya.

"Apa kamu ikhlas berbagi tempat tidur dengan perempuan lain?" terdengar suara bapak bergetar.

"Ya." jawabku yakin.

"Apa kamu tidak akan menyesal menjadi istri ke-dua?" bapak bertanya lagi.

"Tidak pak, aku tidak akan menyesal, bila dia jodoh buatku dari Tuhan," aku menjawab pelan tapi pasti.

"Kamu bukan anak kecil lagi sudah bisa mengambil keputusan sendiri, bapak yakin kamu tahu semua resikonya, apakah anak-anakmu tahu akan hal ini?" bapak bertanya penuh hati-hati.

"Iya, mereka sudah besar dan menyerahkan keputusan pada bundanya."

Bapak terdiam dan masuk ke dalam kamar.

Yach aku punya dua anak, yang pertama perempuan dan yang bungsu laki-laki, yang perempuan sudah bekerja dan menikah tinggal di Bekasi bersama suaminya dan si bungsu sudah bekerja masih tinggal bersamaku.

---

Siang itu, setelah naik pesawat selama 1 jam 40 menit aku sampai di Bandar Udara Sultan Syarif Kasiem II dengan selamat.

Dari kejauhan aku melihat engkau dan Putri cantikmu menunggu kedatanganku di ruang tunggu dengan tak sabar, Putri cantikmu berlari ke arahku begitu ia melihatku.

"Bundaaaaaaa," teriaknya sambil tersenyum kegirangan langsung memeluk erat dan kami berpelukan, engkau memelukku dari belakang kita bertiga berpelukan erat.

---

Dua bulan setelah kejadian itu, engkau memintaku untuk datang ke tempatmu, karena perempuan  yang aku panggil kakak tambah menurun kesehatannya dan ia sering memanggil namaku.

Engkaupun berbicara dengan bapakku lewat telepon, entah apa yang engkau bicarakan saat itu hingga membuat hati bapak luluh dan akhirnya mengizinkanku menemuimu.

Dari bandara kami tak membuang waktu dan langsung menuju rumah sakit yang hanya memakan waktu 20 menit perjalanan itu.

Terlihat tubuh lemah penuh infus, wajah pucat tersenyum ketika melihat kedatanganku, aku mencium tangannya dan ku kecup kedua pipinya, terasa panas.

Perempuan itu tak melepas pegangan tangannya dari tanganku, menggenggam erat.

"Akhirnya engkau datang Din, kakak senang melihatnya," terdengar lemah suaranya. Aku anggukkan kepala sambil menangis, aku usap kepalanya dan aku kecup keningnya.

"Maafkan aku dan bapak ya kak," jawabku lirih, perempuan berhati tulus itu hanya tersenyum melihatku menangis di hadapannya.

Perempuan yang aku panggil kakak itu, meraih tangan suaminya yang berdiri tak jauh dari tubuhnya.

Tangan kanan perempuan berhati tulus itu memegang tangan kananku dan  tangan kirinya memegang tangan kanan suaminya, kedua tangan kami disatukan di dadanya.

"Aku mohon menikahlah, demi Putri cantik kita." Bisiknya pelan sambil menatap mata suaminya dan mataku secara bergantian.


Bersambung

ADSN, 170719

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun