Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat Kekasih

11 Juli 2019   20:31 Diperbarui: 11 Juli 2019   20:42 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayang,

Suratmu telah aku terima dan aku baca,  terasa perih tak kuasa aku menahan deraian airmata, terlambat aku mengetahuinya. Ternyata cintamu sangat besar dan tak berubah semenjak pertama kita bertemu. Begitupun denganku, dan asal kamu tahu,  aku mencintaimu dari pertama kita bertemu dan jujur saja aku selalu menunggu kata kata-kata cintamu untukku keluar dari mulutmu.

Sayang,

Hari ini bersama seikat mawar aku kembali mengunjungi tempat peristirahatan terakhirmu. Tak lama setelah kematianmu, aku berusaha menelusuri jejak masa lalumu, hingga dari petunjuk terakhir orang yang pernah mengenalmu, akhirnya aku sampai di hadapan orang kepercayaanmu yang engkau titipi surat buatku.

Sayang,

Lima tahun telah berlalu, semenjak pertemuan kita yang terakhir di warung kopi itu, tempat dimana kita biasa meneguk secangkir kopi susu berdua sambil berkata, "Persetan dengan orang-orang di sekeliling kita yang selalu menatap aneh ke arah kita berdua." 

Sayang,

Jujur saja aku masih berharap engkau datang menemuiku. Hari demi hari hingga tahun berganti tiada kabar darimu, hingga Yudha, orang yang pernah berkelahi denganmu itu datang kerumah orang tuaku untuk melamarku. Hari-hari pertamaku membina rumah tangga bersama Yudha pun aku masih saja terus berharap, semoga suatu saat aku masih bisa bertemu denganmu. 

Sayang,

Jujur aku tak pernah mencintainya. Aku menerima Yudha atas desakan orangtuaku, mereka jengah dengan omongan orang, anak gadisnya perawan tua. Andai engkau tahu, hingga Yudha telah berhasil memberikanku dua orang buah hatipun aku masih berharap engkau yang datang menemuiku.

Sayang,

Setelah kepergianmu, hari demi hari aku masih selalu datang ketempat dimana kita terakhir bertemu dulu, dengan harapan kamu akan kembali datang menemuiku di tempat itu. Hingga  satu hari sebelum menikahpun aku masih mengharapkan kedatanganmu di tempat ini. Tapi hingga acara pernikahan dengan Yudha selesai, engkau menghilang seperti di telan Hantu.  Engkau menghilang tanpa aku tahu sebabnya, aku sering mencari kabar dengan menemui orangtua dan adik-adikmu, tapi ternyata merekapun sama sepertiku, mereka juga kehilangan jejakmu.

Sayang,

Tanpamu, aku hidup bersama dengan lelaki yang tidak pernah bisa menggantikanmu di dalam hatiku, saat itu aku hampir putus asa karena masih terus berharap bisa hidup bersamamu. Pada saat melahirkan anak pertamaku, saat aku mengalami pendarahan yang hebat, jujur saja saat itu aku berharap agar Tuhan segera mencabut nyawaku. Karena waktu itu aku berpikir bahwa mungkin itu adalah satu-satunya jalan agar aku bisa kembali bertemu denganmu.

Sayang,

Tak lama setelah Yudha pergi meninggalkanku selamanya, tiba-tiba saja kamu kembali menghubungiku. Aku masih tidak percaya saat itu. Saat pertama kali kembali mendengar suaramu. Saat pertama kali aku mengangkat panggilan dari nomor telepon yang tidak aku kenal itu.

Sayang,

Jujur saja aku kaget saat pertama kali kembali bertemu denganmu, setelah 21 tahun berlalu tidak pernah ada kabar darimu, sepertinya kamu tidak terlalu kaget dengan penampilanku. Saat pertama kali kamu melihat gadis tomboymu itu memakai kerudung, Aku tahu bahwa saat itu engkau hanya bercanda, saat bertanya apakah aku hendak pergi ketempat pengajian? karena dari raut wajahmu, aku tahu bahwa engkau sepertinya begitu tahu dengan perubahanku itu.

"Engkau masih cantik di mataku, seperti 21 tahun yang lalu," katamu waktu itu sambil tersenyum menatapku.

Jujur aku salah tingkah mendengarnya waktu itu, beruntung saat itu ada banyak pengunjung di dalam warung kopi, di tempat kita biasa duduk pada 21 tahun yang lalu. Pipiku merona merah waktu itu.

Sayang,

Setelah terjadi penembakan di depan mataku, saat memeluk tubuh bersimbah darahmu, masih dengan darah yang keluar dari mulut dan hidungmu, saat itu kamu berusaha meminta maaf karena telah meninggalkanku. Sambil menjerit dan terus menciumi bibirmu aku terus berteriak memanggil namamu.

"Aku mencintai. Aku mencintaimu! Jangan tinggalkan aku..." rintihku sambil memeluk kepalamu di atas pangkuanku.

Saat itu aku meraung keras sambil mendekap tubuhmu, aku tak peduli darahmu membasahi baju dan wajahku, aku tak peduli bau amis darah di wajahmu, aku terus menciumi wajahmu. Aku mendekapmu sepenuh jiwa, tak ingin lepas, aku berontak saat mereka menarik tubuhku agar melepaskan pelukanku di jazadmu.

Sayang,

Tak lama setelah itu aku tak sadarkan diri, dan yang terakhir aku ingat adalah ketika tubuhku ditarik paksa oleh Pasukan Khusus berlambang Burung Hantu dengan seragam hitam dan selalu memanggul senapan serbu saat mereka berusaha melepaskan pelukanku di tubuhmu.

Sayang,

Semenjak kematianmu aku tidak pernah berhenti mencari tahu masa lalumu, hingga satu persatu misteri tentang jejak masa lalumu itu mulai terbuka satu persatu, aku bertemu dengan orang kepercayaanmu yang pernah engkau titipi surat buatku.

Di tempat yang terpencil, setelah membaca isi suratmu, akhirnya aku tahu ternyata selama ini engkau tidak pernah benar-benar pergi jauh dariku.

Sayang,

Aku tinggalkan kota kelahiran kita, di tempat baru, tidak jauh dari tempat peristirahatanmu yang terakhir, aku ingin memulai hidup baru. Aku bawa serta anak-anak tinggal di kota tempat di mana jazadmu ini dimakamkan.

Sayang,

Aku ingin jika suatu saat aku pergi menghadap Tuhanku, aku ingin jazadku ini di makamkan di sebelah makammu.

Sayang,

Bagiku engkau adalah lelaki bermata teduh, lelaki pembelaku, cintaku tak pernah luntur sama seperti dulu awal kita bertemu, dimataku engkau bukan seorang teroris, sebab aku percaya, engkau lakukan itu karena keadaan dan nasib yang terkadang tidak memihakmu.

Sayang,

Aku tahu bahwa dari dulu kamu tidak pernah mau menjadi adikku. Di samping batu nisan makammu, di rumah peristirahatan terakhirmu. diantara hembusan angin yang menggugurkan bunga kamboja di sekitar makammu, saat ini aku hanya ingin mengatakan bahwa akupun tidak pernah  menganggapmu adikku, karena jujur saja akupun tidak mau punya adik sepertimu, karena aku ingin menjadi  kekasihmu. Selamanya, karena engkau adalah cinta sejatiku


-Selesai-
ADSN, 110719

Catatan : Cerpen ini di buat oleh, Apriani Dinni sebagai balasan cerpen milik  Warkasa1919 yang berjudul Surat dari Masa Lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun