Indonesia, dengan populasi mayoritas Muslim, telah lama menjadi negara yang kaya akan tradisi keislaman. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, menjadi benteng keilmuan yang menghasilkan banyak ulama berintegritas. Ulama-ulama ini biasanya diakui karena pengetahuan agama yang mendalam, akhlak yang baik, serta peran mereka dalam membimbing umat.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, terjadi pergeseran yang memunculkan fenomena "ulama instan"- individu yang tanpa latar belakang keilmuan agama yang kuat dan mendalam mengklaim dirinya sebagai tokoh agama. Fenomena ini menciptakan tantangan baru bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Tidak hanya mencoreng citra Islam di mata publik, tetapi juga memicu berbagai polemik di tengah masyarakat.
Salah satu contoh yang baru-baru ini cukup menyita perhatian masyarakat adalah kasus seorang tokoh bernama Gus Miftah. Ia dikenal sebagai seorang dai dengan gaya komunikasi yang santai, tetapi sering menimbulkan kontroversi.
Gus, gelar yang umumnya diberikan kepada keturunan kiai atau tokoh pesantren, kini sering digunakan tanpa dasar yang jelas. Bahkan, ada yang menggunakannya untuk hal-hal yang dinilai tidak perlu, seperti memberikan gelar ini sebagai bentuk 'giveaway,' termasuk kepada mereka yang sama sekali tidak memahami nilai-nilai agama atau bahkan kepada mereka yang bukan beragama Islam.
Dalam sebuah peristiwa, Gus Miftah menuai banyak kritik dan komentar karena mengucapkan kata-kata yang dianggap kurang pantas kepada seorang penjual es teh yang hadir di majelisnya. Ucapan tersebut dinilai tidak sesuai, terutama dari seorang yang diharapkan menjadi panutan.
Terlebih lagi, ia baru saja dilantik sebagai utusan presiden di bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan, tetapi tindakannya justru dianggap minim toleransi terhadap sesama. Kasus ini mencerminkan masalah yang lebih luas, yaitu bagaimana gelar dan citra agama dapat disalahgunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
Fenomena "ulama instan" ini tidak hanya muncul akibat kurangnya kontrol sosial terhadap siapa yang dapat dianggap sebagai ulama, tetapi juga karena adanya beberapa individu yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi. Beberapa bahkan melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai Islam, seperti perilaku asusila dengan dalih agama atau menyebarkan ajaran radikal yang berkedok jihad. Fenomena ini menunjukkan celah besar dalam pemahaman dan literasi agama masyarakat, yang mudah terpesona oleh tampilan luar tanpa mempertimbangkan substansi keilmuan. Selain itu, ada sejumlah faktor utama yang memengaruhi munculnya fenomena ini:
1. Minimnya Literasi Agama di Kalangan Masyarakat
Banyak masyarakat Indonesia yang beragama Islam hanya secara formal - Muslim KTP. Tanpa pemahaman mendalam, mereka mudah terpengaruh oleh figur-figur yang tampil meyakinkan. Peci, sorban, gamis, atau bahkan kemampuan berbicara yang persuasif sering kali cukup untuk memberikan kesan religius, meskipun tidak didukung oleh pengetahuan agama yang memadai.
2. Kekaguman pada Retorika dan Penampilan
Retorika yang menarik dan gaya bicara yang penuh semangat menjadi modal utama bagi para "ulama instan." Dengan kemampuan ini, mereka berhasil membangun citra sebagai tokoh yang karismatik. Tidak hanya itu, banyak dari mereka memiliki tim yang secara profesional mengelola citra mereka, memanfaatkan media sosial untuk memperluas pengaruh dan menciptakan basis pengikut yang besar serta loyal.
3. Fanatisme Tanpa Dasar
Fanatisme terhadap figur agama sering kali didasarkan pada emosi, bukan logika atau pemahaman mendalam. Sebagian masyarakat cenderung membela idolanya secara membabi buta, tanpa memeriksa fakta atau mempertimbangkan kritik yang valid. Akibatnya, esensi Islam sebagai agama yang mengajarkan keseimbangan, akhlak mulia, dan penghormatan terhadap sesama sering kali terabaikan.
4. Keuntungan Finansial
Popularitas di bidang agama juga membuka peluang ekonomi yang signifikan. Dari honor ceramah hingga donasi para pengikut, profesi sebagai tokoh agama bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Sayangnya, hal ini mendorong sebagian orang untuk memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi, mengesampingkan integritas dan keikhlasan dalam berdakwah.
Dampak pada Masyarakat
Meskipun masih banyak ulama yang memiliki integritas tinggi dan menjadi panutan bagi umat, fenomena seperti ini sering kali muncul dan dapat menyesatkan masyarakat. Ketidaktahuan dalam membedakan ulama sejati dengan figur yang hanya mengandalkan popularitas dapat menyebabkan kebingungan, bahkan mengaburkan ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam beberapa kesempatan, perilaku atau ucapan yang tidak sesuai dari figur-figur ini menciptakan stigma negatif terhadap Islam di mata publik. Fenomena ini membawa sejumlah dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat. Salah satu dampaknya adalah munculnya perpecahan di tengah umat. Konflik yang sering kali terjadi antara pengikut "ulama instan" dengan pihak-pihak yang memberikan kritik. Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, perdebatan ini sering berubah menjadi ajang saling mencela yang justru melemahkan persatuan umat.
Selain itu, fenomena ini turut menyebabkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama secara umum. Banyak orang mulai skeptis terhadap ulama, bahkan terhadap mereka yang sejatinya memiliki kredibilitas tinggi. Hal ini sangat merugikan para ulama sejati yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk membimbing umat dengan ilmu dan akhlak.
Tidak hanya itu, citra Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin juga terancam dan mulai tidak dianggap benar. Perilaku menyimpang yang ditampilkan oleh sebagian oknum yang mengaku ustadz ini sering kali mencoreng wajah Islam, baik di mata generasi muda maupun masyarakat non-Muslim. Islam, yang sejatinya mengajarkan kedamaian, keindahan, dan toleransi, justru tampak seolah-olah bertentangan dengan nilai-nilai tersebut akibat ulah segelintir individu yang tidak bertanggung jawab.
Membangun Kesadaran dan Literasi
Untuk mengatasi permasalahan ini, langkah-langkah konkret perlu diambil oleh berbagai pihak. Salah satu solusi penting adalah meningkatkan literasi agama di masyarakat. Pendidikan agama tidak seharusnya hanya berfokus pada ritual semata, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai tokoh agama dan membedakan antara ulama sejati dan ulama "instan."
Kesadaran untuk memverifikasi fakta juga harus ditanamkan. Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat harus dibiasakan untuk menilai tokoh agama secara kritis, terutama mereka yang tampil meyakinkan tetapi tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat. Kebiasaan untuk mengecek latar belakang, rekam jejak, dan kredibilitas tokoh agama harus menjadi bagian dari budaya sehari-hari.
Peran media dalam membentuk opini publik juga tidak boleh diabaikan. Media massa dan media sosial harus lebih selektif dalam memberitakan tokoh agama, terutama yang kontroversial. Glorifikasi tanpa dasar hanya akan memperburuk situasi. Pemerintah, di sisi lain, juga harus lebih berhati-hati dalam menunjuk tokoh agama sebagai perwakilan di bidang keagamaan, memastikan bahwa mereka memiliki kredibilitas dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terakhir, penguatan institusi pendidikan Islam tradisional seperti pesantren menjadi sangat penting. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam yang berintegritas. Dengan mendukung keberadaan pesantren dan ulama sejati, masyarakat akan memiliki rujukan yang jelas dalam memahami ajaran Islam.
Penutup
"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir membenci." (QS. As-Saff: 8). Ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun ada individu atau kelompok yang berusaha merusak citra Islam, Allah akan selalu menjaga kemurnian agama-Nya. Umat Islam harus tetap berpegang teguh pada ajaran yang benar, menghindari tipu daya, dan memupuk akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Islam adalah agama yang menekankan akhlak, ilmu, dan penghormatan terhadap sesama. Dalam menghadapi fenomena ustadz, dai, atau ulama "instan" ini, umat memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemurnian ajaran agama ini. Dengan meningkatkan literasi agama, mendukung ulama yang berintegritas, dan membangun kesadaran kritis, kita bisa menciptakan masyarakat Muslim yang lebih matang, solid, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H