Retorika yang menarik dan gaya bicara yang penuh semangat menjadi modal utama bagi para "ulama instan." Dengan kemampuan ini, mereka berhasil membangun citra sebagai tokoh yang karismatik. Tidak hanya itu, banyak dari mereka memiliki tim yang secara profesional mengelola citra mereka, memanfaatkan media sosial untuk memperluas pengaruh dan menciptakan basis pengikut yang besar serta loyal.
3. Fanatisme Tanpa Dasar
Fanatisme terhadap figur agama sering kali didasarkan pada emosi, bukan logika atau pemahaman mendalam. Sebagian masyarakat cenderung membela idolanya secara membabi buta, tanpa memeriksa fakta atau mempertimbangkan kritik yang valid. Akibatnya, esensi Islam sebagai agama yang mengajarkan keseimbangan, akhlak mulia, dan penghormatan terhadap sesama sering kali terabaikan.
4. Keuntungan Finansial
Popularitas di bidang agama juga membuka peluang ekonomi yang signifikan. Dari honor ceramah hingga donasi para pengikut, profesi sebagai tokoh agama bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Sayangnya, hal ini mendorong sebagian orang untuk memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi, mengesampingkan integritas dan keikhlasan dalam berdakwah.
Dampak pada Masyarakat
Meskipun masih banyak ulama yang memiliki integritas tinggi dan menjadi panutan bagi umat, fenomena seperti ini sering kali muncul dan dapat menyesatkan masyarakat. Ketidaktahuan dalam membedakan ulama sejati dengan figur yang hanya mengandalkan popularitas dapat menyebabkan kebingungan, bahkan mengaburkan ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam beberapa kesempatan, perilaku atau ucapan yang tidak sesuai dari figur-figur ini menciptakan stigma negatif terhadap Islam di mata publik. Fenomena ini membawa sejumlah dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat. Salah satu dampaknya adalah munculnya perpecahan di tengah umat. Konflik yang sering kali terjadi antara pengikut "ulama instan" dengan pihak-pihak yang memberikan kritik. Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, perdebatan ini sering berubah menjadi ajang saling mencela yang justru melemahkan persatuan umat.
Selain itu, fenomena ini turut menyebabkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama secara umum. Banyak orang mulai skeptis terhadap ulama, bahkan terhadap mereka yang sejatinya memiliki kredibilitas tinggi. Hal ini sangat merugikan para ulama sejati yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk membimbing umat dengan ilmu dan akhlak.
Tidak hanya itu, citra Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin juga terancam dan mulai tidak dianggap benar. Perilaku menyimpang yang ditampilkan oleh sebagian oknum yang mengaku ustadz ini sering kali mencoreng wajah Islam, baik di mata generasi muda maupun masyarakat non-Muslim. Islam, yang sejatinya mengajarkan kedamaian, keindahan, dan toleransi, justru tampak seolah-olah bertentangan dengan nilai-nilai tersebut akibat ulah segelintir individu yang tidak bertanggung jawab.
Membangun Kesadaran dan Literasi
Untuk mengatasi permasalahan ini, langkah-langkah konkret perlu diambil oleh berbagai pihak. Salah satu solusi penting adalah meningkatkan literasi agama di masyarakat. Pendidikan agama tidak seharusnya hanya berfokus pada ritual semata, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai tokoh agama dan membedakan antara ulama sejati dan ulama "instan."