Mohon tunggu...
Andri P Heriyanto
Andri P Heriyanto Mohon Tunggu... -

Berlatar belakang pendidikan Akuntansi, Perpajakan dan Digital Forensics. Saat ini sedang menempuh pendidikan Professional Doctorate of Information Technology di Edith Cowan University-Western Australia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Penggelapan Pajak, Persepsi Korupsi dan Negara Tax Haven

16 April 2016   23:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita melihat kenyataan dan opini tersebut di atas, maka tidak salah jika timbul pertanyaan: siapakah negara yang paling korup itu sesungguhnya?  Seperti judul salah satu makalah yang ditulis oleh John Christensen-Direktur Tax Justice Network-dalam kesempatan di World Social Forum di Nairobi Kenya pada bulan Januari 2007: ‘Mirror, Mirror on the Wall, Who’s the Most Corrupt of All?’

Aliran Uang dari Negara Berkembang

Global Financial Integrity (GFI)-satu lembaga konsultasi dan penelitian yang berbasis di Amerika Serikat-pada tahun 2010 menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa India telah kehilangan uang senilai US$ 462 miliar selama kurun waktu 60 tahun. Uang dari hasil penggelapan pajak dan korupsi di negara tersebut diperkirakan mengalir ke luar negeri. Uang yang mengalir ke luar negeri tersebut semakin deras sejak India membuka pintu ekonominya pada tahun 1991.  Rata-rata setiap tahunnya India kehilangan uang senilai US$ 16 miliar antara tahun 2002 hingga 2006.

Menurut laporan tersebut salah satu penyebab dari illicit financial flow atau aliran uang haram adalah praktek trade misspricing. Caranya adalah melaporkan harga jual lebih rendah dari harga pasar untuk produk atau jasa yang diekspor dan melaporkan harga beli lebih tinggi dari harga pasar untuk produk atau jasa yang diimpor. 

Jika kita menggunakan istilah yang berlaku di perpajakan, maka praktek tersebut sering disebut dengan Transfer Pricing.  Sebagian besar negara di dunia mengkategorikan praktek tersebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) yang masuk dalam kategori pelanggaran administrasi perpajakan dan bukan penggelapan pajak (tax evasion) yang masuk dalam kategori pidana pajak, tetapi apapun bentuk pengkategorian praktek tersebut, satu hal yang pasti adalah praktek tersebut sangat merugikan banyak negara di dunia dan mencederai rasa keadilan dan kepercayaan publik.

GFI juga memberikan laporan untuk Tunisia.  Diperkirakan negara tersebut kehilangan uang senilai US$ 1 miliar per tahun antara tahun 2000 hingga 2008 dari praktek korupsi, suap, trade misspricing, dan aktivitas kriminal lainnya. Secara keseluruhan, GFI memperkirakan bahwa aliran uang haram dari negara-negara berkembang-hampir seluruhnya melalui negara Tax Haven-berjumlah tidak kurang dari US$ 800 milyar per tahun. Jumlah uang yang cukup untuk membebaskan dunia dari kemiskinan lebih dari enam belas kali!

Korban dari negara Tax Haven dan praktek Transfer Pricing tidak hanya menimpa negara-negara berkembang saja.  Amerika Serikat sebagai negara maju juga menjadi korban dari praktek Transfer Pricing.  Presiden Amerika Serikat yang sekarang: Barack Obama sejak masih menjabat Senator pada tahun 2007 bersama-sama dengan Senator Carl Levin dan Norm Coleman telah memberikan sorotan yang tajam terhadap penggelapan pajak yang melibatkan negara Tax Haven.  

Selama empat tahun, mereka melakukan investigasi terkait masalah negara Tax Haven, penggelapan pajak, dan juga para profesional yang merancang, memasarkan serta mengimplementasikan skema penggelapan pajak tersebut. Mereka bertiga kemudian merancang dan mengusulkan undang-undang (bill) yang bertujuan untuk menghentikan penggelapan pajak dan aliran uang hasil penggelapan pajak tersebut ke luar negeri.  Mereka memperkirakan kerugian yang ditanggung oleh AS senilai US$ 100 miliar setiap tahunnya akibat penggelapan pajak tersebut.

Kondisi yang sama juga dihadapi oleh Australia, sehingga pada tahun 2006 negara tersebut membentuk gugus tugas yang terdiri dari Polisi Federal Australia, Otoritas Perpajakan Australia, Komisi Kriminal Australia dan juga beberapa lembaga penegak hukum lainnya untuk menjalankan Wickenby Project. Proyek tersebut bertujuan melindungi integritas keuangan dan sistem regulasi Australia melalui pencegahan dan penindakan setiap individu dan organisasi yang terbukti mempromosikan atau terlibat dalam penggelapan pajak ataupun pencucian uang serta kaitannya dengan negara Tax Haven.  Sampai dengan tanggal 28 Februari 2011, proyek tersebut telah mencapai hasil yaitu sebanyak 62 orang telah diajukan dakwaannya, 16 orang diputus bersalah, menerbitkan surat ketetapan pajak dengan nilai total $1,064 miliar dan telah berhasil memasukkan uang kas ke negara senilai $553.64 juta.  

Menarik jika AS dan Australia-dua negara kaya di dunia-masih tetap memperjuangkan uang (penerimaan) yang seharusnya menjadi miliknya, namun kemudian mengalir ke negara lain. Jika penerimaan hilang tersebut dilihat dari perspektif negara berkembang seperti negara kita, maka kehilangan tersebut sangat berarti.  Kehilangan penerimaan berarti kehilangan kemampuan untuk membangun infrastruktur yang sangat penting bagi pelayanan publik dan faktor pendorong investasi, kehilangan kemampuan membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai bagi seluruh masyarakat, kehilangan kemampuan memberikan fasilitas kredit murah bagi nelayan dan petani.  Kehilangan penerimaan negara juga berarti mengurangi kemampuan negara dalam penegakan hukum dan juga menjaga kedaulatan negara.

Persepsi Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun