Mohon tunggu...
Andri P Heriyanto
Andri P Heriyanto Mohon Tunggu... -

Berlatar belakang pendidikan Akuntansi, Perpajakan dan Digital Forensics. Saat ini sedang menempuh pendidikan Professional Doctorate of Information Technology di Edith Cowan University-Western Australia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Penggelapan Pajak, Persepsi Korupsi dan Negara Tax Haven

16 April 2016   23:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan penulis:

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Berita Pajak pada tahun 2010. Penulis tergerak untuk menyajikannya kembali di Forum Kompasiana, karena hangatnya pemberitaan mengenai Panama Papers belakangan ini.  Tujuan utama dari tulisan ini ingin membentuk opini dari masyarakat bahwa Penggelapan Pajak termasuk didalamnya dengan mendirikan Special Purpose Vehicle (SPV) atau 'perusahaan kertas' (paper company) di negara Tax Haven juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. 

Banyak pihak beropini bahwa pendirian perusahaan bodong di Tax Haven tidak serta merta merupakan tindakan ilegal. Padahal tindakan penggelapan pajak (tax evasion) termasuk tindak pidana di bidang perpajakan. Disisi lain, berita tentang penegakan hukum di bidang korupsi oleh KPK seakan jadi berita yang seksi dan mudah untuk menarik emosi banyak pihak. Semua orang seakan sanggup berdiri di garda depan sebagai penumpas segala perilaku korupsi.  Tetapi ketika ada dua orang pegawai Ditjend Pajak (satu orang PNS dan honorer tenaga keamanan) yang tewas, karena berusaha menegakkan hukum di bidang perpajakan, beberapa orang bersikap sinis dan mencurigai adanya kesalahan prosedur. 

Mungkin masyarakat masih belum sadar sepenuhnya bahwa pajak yang dihimpun oleh DJP juga harus dilindungi dan didukung seperti halnya melindungi penggunaan APBN agar tidak dikorupsi. Sebab dengan semakin besarnya pemasukan negara dari sektor pajak, maka semakin banyak dana yang dapat digunakan untuk pembangunan dan mengurangi beban negara dalam bentuk hutang luar negeri.  Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika seluruh bangsa Indonesia sepakat bahwa tindak penggelapan pajak merupakan salah satu bentuk korupsi uang rakyat.  Sebab sejak awal uang-uang itu adalah milik rakyat yang harus masuk ke dalam kas negara.

Pendahuluan

Almarhum Profesor Aliya Babs Fafunwa, mantan Menteri Pendidikan di Nigeria, pada saat menghadapi proses negosiasi yang berlarut-larut untuk menarik kembali seluruh aset negaranya yang dicuri oleh mantan Presiden Nigeria Sani Abaca pernah menyampaikan opininya pada tahun 2005: "It is rather ironical that the European based Transparency International does not think to list Switzerland as the first or second most corrupt nation in the world for harbouring, encouraging and enticing all robbers of public treasuries around the world to bring their loot for safe-keeping in their dirty vaults." Ironis memang jika melihat Corruption Perceptions Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparancy International (TI) menetapkan Swiss sebagai negara nomor 5 ‘paling bersih dari tindakan korupsi’ di dunia (pada tahun 2004), namun di sisi lain Nigeria dikategorikan sebagai salah satu negara paling korup di dunia.

Jika memperhatikan rangking negara-negara yang bebas korupsi menurut TI, maka kita akan melihat bahwa 40% dari negara-negara tersebut adalah negara-negara Tax Haven yaitu negara yang memiliki tarif pajak minim atau kadang tidak ada sama sekali (lihat tabel). Negara-negara Tax Haven juga terbukti secara aktif menjadi tempat penyimpanan dan juga mengalirnya illicit financial flow atau aliran uang haram dari negara lain terutama negara-negara berkembang.  

Aliran uang haram tersebut berasal dari uang penggelapan pajak, tindak kriminal seperti perdagangan narkoba dan juga korupsi yang tidak saja dilakukan oleh pejabat publik negara bersangkutan melainkan juga dilakukan oleh sektor swasta-baik individu maupun organisasi dalam dan luar negeri.  Negara-negara yang dikategorikan sebagai negara Tax Haven seperti Swiss, United Kingdom, Luksemburg, Hongkong, USA, Belgia, Irlandia dan Singapura sejak CPI diterbitkan oleh TI pada tahun 1995 selalu mendapat rangking tertinggi hingga kini.

Tabel: Rangking Negara Tax Haven Menurut CPI Tahun 2010

[caption caption="Tabel Ranking Negara Tax Haven | Sumber : Christensen, J & Hampton MP (2005) "Tax Us If You Can," TJN-IS"][/caption]Andy Rowell dalam bukunya yang mengupas konflik minyak di Nigeria mengatakan tentang perubahan persepsi dirinya terhadap Inggris (London) dan Amerika Serikat (Washington) khususnya terkait dengan korupsi di Nigeria dan juga negara-negara lain di Afrika. Dia mengatakan bahwa ‘pokok korupsi’ yang sesungguhnya bukanlah di Lagos (Nigeria) melainkan di London dan Washington. 

Menurutnya banyak mekanisme yang membuat Nigeria tetap menjadi negara miskin (dan korup) serta adanya jaringan dari bank-bank berbasis di negara-negara Tax Haven yang digunakan oleh perusahaan kontraktor minyak dari Inggris dan Amerika Serikat untuk ‘menghisap’ keuntungan yang seharusnya menjadi milik Nigeria.  

Jika kita melihat kenyataan dan opini tersebut di atas, maka tidak salah jika timbul pertanyaan: siapakah negara yang paling korup itu sesungguhnya?  Seperti judul salah satu makalah yang ditulis oleh John Christensen-Direktur Tax Justice Network-dalam kesempatan di World Social Forum di Nairobi Kenya pada bulan Januari 2007: ‘Mirror, Mirror on the Wall, Who’s the Most Corrupt of All?’

Aliran Uang dari Negara Berkembang

Global Financial Integrity (GFI)-satu lembaga konsultasi dan penelitian yang berbasis di Amerika Serikat-pada tahun 2010 menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa India telah kehilangan uang senilai US$ 462 miliar selama kurun waktu 60 tahun. Uang dari hasil penggelapan pajak dan korupsi di negara tersebut diperkirakan mengalir ke luar negeri. Uang yang mengalir ke luar negeri tersebut semakin deras sejak India membuka pintu ekonominya pada tahun 1991.  Rata-rata setiap tahunnya India kehilangan uang senilai US$ 16 miliar antara tahun 2002 hingga 2006.

Menurut laporan tersebut salah satu penyebab dari illicit financial flow atau aliran uang haram adalah praktek trade misspricing. Caranya adalah melaporkan harga jual lebih rendah dari harga pasar untuk produk atau jasa yang diekspor dan melaporkan harga beli lebih tinggi dari harga pasar untuk produk atau jasa yang diimpor. 

Jika kita menggunakan istilah yang berlaku di perpajakan, maka praktek tersebut sering disebut dengan Transfer Pricing.  Sebagian besar negara di dunia mengkategorikan praktek tersebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) yang masuk dalam kategori pelanggaran administrasi perpajakan dan bukan penggelapan pajak (tax evasion) yang masuk dalam kategori pidana pajak, tetapi apapun bentuk pengkategorian praktek tersebut, satu hal yang pasti adalah praktek tersebut sangat merugikan banyak negara di dunia dan mencederai rasa keadilan dan kepercayaan publik.

GFI juga memberikan laporan untuk Tunisia.  Diperkirakan negara tersebut kehilangan uang senilai US$ 1 miliar per tahun antara tahun 2000 hingga 2008 dari praktek korupsi, suap, trade misspricing, dan aktivitas kriminal lainnya. Secara keseluruhan, GFI memperkirakan bahwa aliran uang haram dari negara-negara berkembang-hampir seluruhnya melalui negara Tax Haven-berjumlah tidak kurang dari US$ 800 milyar per tahun. Jumlah uang yang cukup untuk membebaskan dunia dari kemiskinan lebih dari enam belas kali!

Korban dari negara Tax Haven dan praktek Transfer Pricing tidak hanya menimpa negara-negara berkembang saja.  Amerika Serikat sebagai negara maju juga menjadi korban dari praktek Transfer Pricing.  Presiden Amerika Serikat yang sekarang: Barack Obama sejak masih menjabat Senator pada tahun 2007 bersama-sama dengan Senator Carl Levin dan Norm Coleman telah memberikan sorotan yang tajam terhadap penggelapan pajak yang melibatkan negara Tax Haven.  

Selama empat tahun, mereka melakukan investigasi terkait masalah negara Tax Haven, penggelapan pajak, dan juga para profesional yang merancang, memasarkan serta mengimplementasikan skema penggelapan pajak tersebut. Mereka bertiga kemudian merancang dan mengusulkan undang-undang (bill) yang bertujuan untuk menghentikan penggelapan pajak dan aliran uang hasil penggelapan pajak tersebut ke luar negeri.  Mereka memperkirakan kerugian yang ditanggung oleh AS senilai US$ 100 miliar setiap tahunnya akibat penggelapan pajak tersebut.

Kondisi yang sama juga dihadapi oleh Australia, sehingga pada tahun 2006 negara tersebut membentuk gugus tugas yang terdiri dari Polisi Federal Australia, Otoritas Perpajakan Australia, Komisi Kriminal Australia dan juga beberapa lembaga penegak hukum lainnya untuk menjalankan Wickenby Project. Proyek tersebut bertujuan melindungi integritas keuangan dan sistem regulasi Australia melalui pencegahan dan penindakan setiap individu dan organisasi yang terbukti mempromosikan atau terlibat dalam penggelapan pajak ataupun pencucian uang serta kaitannya dengan negara Tax Haven.  Sampai dengan tanggal 28 Februari 2011, proyek tersebut telah mencapai hasil yaitu sebanyak 62 orang telah diajukan dakwaannya, 16 orang diputus bersalah, menerbitkan surat ketetapan pajak dengan nilai total $1,064 miliar dan telah berhasil memasukkan uang kas ke negara senilai $553.64 juta.  

Menarik jika AS dan Australia-dua negara kaya di dunia-masih tetap memperjuangkan uang (penerimaan) yang seharusnya menjadi miliknya, namun kemudian mengalir ke negara lain. Jika penerimaan hilang tersebut dilihat dari perspektif negara berkembang seperti negara kita, maka kehilangan tersebut sangat berarti.  Kehilangan penerimaan berarti kehilangan kemampuan untuk membangun infrastruktur yang sangat penting bagi pelayanan publik dan faktor pendorong investasi, kehilangan kemampuan membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai bagi seluruh masyarakat, kehilangan kemampuan memberikan fasilitas kredit murah bagi nelayan dan petani.  Kehilangan penerimaan negara juga berarti mengurangi kemampuan negara dalam penegakan hukum dan juga menjaga kedaulatan negara.

Persepsi Korupsi

Sejak pertengahan tahun 90-an, TI serta lembaga dunia seperti IMF dan World Bank memang telah mendorong masyarakat Internasional untuk menghapus tindak korupsi secara global.  Korupsi pada tingkatan lebih tinggi juga telah dibidik melalui Konvensi Anti Penyuapan dari OECD pada tahun 1999 dan juga UN Convention Against Corruption pada tahun 2003.  Semua pihak telah setuju dan sepakat jika korupsi merupakan hambatan atau halangan bagi pertumbuhan dan stabilitas.  Korupsi juga ini dipandang sebagai faktor yang mengancam keadilan dan stabilitas sosial, mencederai kepercayaan publik atas institusi negara dan pemerintahan, serta merusak kepercayaan publik atas integritas usaha.

Secara umum, pemberantasan korupsi secara global seperti yang didengungkan selama ini adalah korupsi dalam persepsi berupa penyalahgunaan kewenangan atau jabatan untuk kepentingan pribadi.  Jika kita melihat praktik penggelapan pajak serta kaitannya dengan aliran uang ke negara-negara Tax Haven yang juga terbukti telah menghambat pertumbuhan dan stabilitas serta mengancam keadilan dan stabilitas sosial serta mencederai kepercayaan publik, maka mengapa persepsi korupsi secara global juga tidak dapat menjangkau penggelapan pajak, praktik Transfer Pricing atau trade misspricing serta aliran uang dari praktik tersebut ke negara Tax Haven?  Bukankah negara-negara berkembang sebagai sang pemilik sah penerimaan yang hilang juga berhak memiliki kesempatan untuk dapat menjadi negara-negara yang bersih korupsi?

Aksi Nasional Pengamanan dan Optimalisasi Penerimaan Negara

Pada suatu kesempatan diskusi dengan salah seorang pejabat Bappenas terkait Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang sejak tahun 2004 sudah digulirkan di Indonesia, penulis pernah mengajukan usulan agar aksi nasional juga diadakan untuk pengamanan dan optimalisasi penerimaan negara.  Jika APBN dapat dianalogikan sebagai satu ‘tong air’, maka rencana aksi nasional dan upaya pemberantasan korupsi yang ada sekarang ini memiliki tujuan yang mulia yaitu agar air yang ada dalam satu ‘tong air’ tadi tidak bocor dan dapat mengalir ke sasaran yang sesungguhnya.

Tapi adakah upaya nasional untuk mengamankan dan menjaga aliran air yang seharusnya masuk ke dalam tong tadi? Bukan tidak mungkin jika ada aksi nasional pengamanan dan optimalisasi penerimaan negara yang didukung oleh seluruh rakyat dan pemerintah, maka negara kita dapat memiliki lebih dari satu ‘tong air.’  

Perjuangan memberantas korupsi yang dilakukan oleh negara kita selama ini berdasarkan skor CPI memang telah menunjukkan perubahan positif walaupun kurang signifikan dan lambat. Jika melihat kondisi tersebut timbul pertanyaan apakah kita telah melakukan strategi dan target yang tepat?  Jika kita melihat korelasi positif antara tingginya penerimaan negara suatu negara dengan rendahnya tingkat korupsi, maka mengapa kita tidak mengutamakan pengamanan dan optimalisasi penerimaan negara di samping menjaga pengeluaran negara agar bebas dari penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun