Ia hampir tertidur ketika matanya terusik oleh sesuatu yang tadinya tak begitu kentara ia rasakan. Seperti melihat bayangan, atau seperti ilusi mata yang dikendalikan oleh otak yang lelah. Melihat sesuatu yang mungkin ada, yang seringnya lebih mungkin tidak ada. Tapi tidak kali ini, ia yakin sudah, ada sesuatu, atau seseorang yang sedang bersamanya di dalam kamar tidurnya yang tak begitu luas itu.
Dikatakan tak begitu luas, namun seringkali dirasakannya terlalu luas untuk diisi dengan kesepiannya yang mulai meluber kala malam tiba. Mengisi setiap sudut di dalam benak untuk terus mengingatkannya akan kehangatan yang bisa didapatkannya dari teman yang dapat mengusir sepinya yang dingin itu. Hal yang membuat ia secara menyedihkan tidak bersikap sebagaimana mestinya.
Seperti seharusnya tuan rumah yang kedatangan tamu tak diundang. Menghardiknya, memukul sambil mengusir, berteriak minta tolong, atau hal-hal lain yang biasanya. Tapi tidak kali ini, tidak kepada orang ini. Kesepiannya menyebabkan ia tak lagi mempedulikan apa dan kenapa seseorang itu ada di dalam kamar tidurnya saat ini, karena ditemani pencuri lebih baik daripada tidak ditemani siapapun baginya.
"Kau datang untuk mengambil nyawaku?" Pembukaan yang begitu menyedihkan untuk sebuah perkenalan.
"Apakah menurutmu aku akan menjawabnya jikalau memang itu yang akan kulakukan?"
"Entah, pertanyaanku barusan memang bodoh."
"Kebodohan atau kepintaran itu hanyalah sekedar ilusi."
"Jadi, kau datang untuk berfilsafat denganku?"
"Tidak juga."
"Kalau begitu, adakah kau datang untuk menemaniku?"
"Bisa dibilang begitu."
"Syukurlah kalau begitu. Tuhan sungguh tidak buta."
Matanya yang telah terbiasa dengan gelapnya ruangan itu tak juga dapat mengidentifikasi siapakah gerangan sesuatu itu. Namun ia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya hanya untuk membuat orang itu terusik atau tersinggung, dan lalu pergi. Ia tak ingin kembali sendiri dan sepi dalam waktu yang secepat itu.
"Aku rasa kau tidak percaya akan Tuhan."
Ia lantas tersinggung. Harga dirinya tak mengijinkan hal ini terjadi. Ia lebih memilih kesepian daripada difitnah dan dihina seperti ini. Siapapun orang ini, tiadalah berhak untuk langsung menghakiminya seperti ini. Tidak dengan penghakiman yang sepenuhnya berupa fitnahan.
"Baiknya kau jelaskan lebih lanjut sebelum aku mengusirmu dari sini."
"Bukankah kau yang lebih tahu tentang ini?"
"Oke, cukup. Aku sudah salah menilai ini semua. Sekarang, lekaslah kau pergi sebelum aku bertindak."
"Mengapa kau begitu banyak menyimpan kemarahan?"
Ia beranjak dan bangkit dari tepi ranjang.
"Aku bilang cukup! Pergi kau dari sini!"
"Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?"
Ia lalu membabi buta lemparkan pukulan ke berbagai arah, hanya untuk menyakiti udara. Lagi bertubi ia lemparkan, dengan hasil nihil yang sama.
"Jangan main-main denganku, tunjukkan dirimu kalau kau berani!"
"Terus, bakarlah terus amarahmu itu, biar menyala dan menerangi ruang gelap ini, mungkin kau akan dapat melihatku pada saat itu."
Bergegas ia menghampiri saklar lampu terdekat yang dapat diraihnya, dan menyalakannya dengan bunyi ctak! yang begitu kentara. Ruangan itu bermandikan cahaya lampu beberapa saat kemudian. Segera matanya memburu ke berbagai sudut, mencari orang itu, yang anehnya ia rasakan menghilang kehadirannya ketika ia menyalakan saklar lampu itu.
Setelah berbagai sudut ruangan itu ia jelajahi dengan matanya dan tak juga dapat menemukan apa yang ia hendak cari, ia mengarahkan pandangannya ke satu-satunya titik yang belum ia tujukan matanya. Pada bidang persegi panjang yang tergantung di dinding itu, raut amarah yang dipancarkan mata menatap balik kepadanya. Urat-urat yang timbul menghiasi wajah itu, berkilauan karena lapisan keringat.
Ia terdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H