Bapak kepada siapa Rindu menyanyikan pertanyaannya menoleh. Kacamata hitamnya seakan menatap ke arah mata Rindu, atau begitu setidaknya yang Rindu rasakan. Senyum si bapak mengembang bak roti kurang bahan, senyum setengah ditahan. Karena dia tak begitu bisa mengukur senyum seperti apa yang pas untuk dia umbar. Sedang istrinya pernah mengatakan senyum lepasnya terasa menyeramkan karena gigi palsunya yang tak mau dia pasang. Sementara bagi si bapak, dia hanya akan merasa lebih palsu dengan memasang gigi palsunya. Dia orang yang apa adanya. Sedangkan perihal kacamata hitam, tak lebih karena matanya yang di mata istrinya akan tidak nyaman bagi orang-orang yang melihatnya. Begitulah orang buta. Tak dapat melihat pandangan orang yang tak dapat melihat. Melihat lebih dari sekedar luaran belaka.
"Ya, Dik, sebentar ya," lalu kembali membalikkan badannya dan melanjutkan mengurut pasien yang sedang ia tangani. "Sedang ada tamu. Adik duduk dulu saja."
"Baik, Pak," lanjut Rindu sambil duduk di sebuah kursi yang menempel di dinding. Lalu menunggu.
"Ayo, Dik, silahkan," kata Pak Djoko, Tukang Urut Tuna Netra, sebagaimana yang tertulis di depan rumahnya, sambil menunjuk ke kasur yang ada di hadapannya. Rindu lalu beranjak bangkit dan berbaring di kasur tersebut. Tetiba dia merasa sedikit lelah, sehingga pertanyaan yang tadinya dia ingin ajukan sekarang, dia tunda dulu. Mungkin setelah diurut, barulah ia akan bertanya.
Pak Djoko lalu mempersiapkan segalanya dan mulai mengurut Rindu. Tak lama dia angkat bicara,
"Wah, kecapaian ya Dik? Terasa sekali lelahmu, otot-otot yang kaku, menegang. Keseringan berlari sepertinya."
Rindu mengangguk mengiyakan, lupa bahwa Pak Djoko tidak bisa melihat.
"Hidup itu jangan terlalu diburu, Dik, nanti juga dapat. Tak perlu cemburu, nanti juga lihat."
Kata-kata itu lalu mengantarkan pikiran Rindu mengawang, dan dibarengi dengan pijitan Pak Djoko yang nyaman, Rindu pun terlelap.
---
"Pak Djoko itu siapa, Pak?" bertanya Rindu kecil kepada ayahnya.