Oleh: Giani Maris Amini
Selembar sarung kulemparkan kedepan muka gadis itu, berharap dia mengerti apa yang kumaksud. Seorang gadis malam dengan gontai mengenakan celana pendek merah jambu, menyusuri jalan seorang diri dengan sebotol minuman keras di tangannya. Paras cantik bak dewi malam memang menggiurkanku, namun tak meluluhkanku. Aku lelaki normal, mana mungkin tak sedikitpun hasratku untuk mencumbunya malam ini. Dia seorang diri dihadapanku dan tak berdaya pula. Pikiran binatang itu terus berkecambuk dipikiranku.
Dewi malam pun perlahan mulai sadar dengan keadaannya yang serba terbuka dihadapanku, dengan tenaga tersisa, dia mulai meraih sarung yang telah ku lemparkan tadi dan berupaya menutupi badan seadanya. Tidak telanjang bulat, namun cukup terbuka dan setiap mata lelaki mana pun akan terkesima bila melihat sang dewi malam tergolek manja didepannya. Efek minuman yang dia tenggak perlahan memudar, dia semakin segar dari keadaannya beberapa saat lalu. “Uangku.... mana uangku....?” Tiba-tiba dia berteriak. “Kau mencuri uangku ya.. kau pasti mencuri uangku..!”. Aku tak mengerti apa yang ia maksudkan, dia seakan putus asa melihat kenyataan uangnya hilang, bahkan aku tak menemukan selembar pun ketas keramat itu di sekitaran dia terbaring.
Walau angin malam membuat sarung itu sedikit demi sedikit jatuh dari tubuh gadis itu, menamppakkan kulit putih bersih mulus nyaris tak ada bekas luka. Hanya goresan merah yang terpampang di lehernya. “Mungkin gigitan nyamuk” pikirku. Tanpa ada dialog sedikit pun dia meninggalkanku sendiri yang sedang berfantasi karenanya. Lamunan yang ku bangun sedari tadi sudah setinggi langit dan hanya tinggal menyelesaikan kubah di atasnya, begitu saja runtuh. Sesal pasti kurasa, begitu bodoh lelaki sepertiku membiarkan gadis itu pergi begitu saja tanpa ada dialog yang lebih intim. Jiwa binatang ku terus mendorongku untuk mengejarnya berharap dia mengerti apa yang bisa ku lakukan untuk membantunya dengan imbalan yang setimpal. Namun kiranya jiwa manusiawiku lebih kuat, ku biarkan gadis itu pergi beralaskan kulit kakinya yang lembut tak ada ukiran sedikitpun, dengan menenteng sepatu yang seharusnya ia pakai untuk melindungi kakinya.
Aku begitu terpaku melihat sang dewi malam yang baru saja kulepaskan berjalan dengan indahnya menjauh dari diriku. Botol minuman yang telah kosong ia tinggalkan, mungkin kenang-kenangan yang ia berikan untukku. Kulihat botol itu dengan teliti, tak jauh beda dengan botol yang biasa kubeli. ”Jack Daniel” begitulah tulisan yang tercantum di botol itu. Kucium baunya masih menyisakkan wangi sang dewi malam itu, kuciumi terus sampai ku puas mencoba membangun kembali fantasi yang telah hancur tadi.
***
Dunia malam kerap menjadi pilihan bagi mereka yang putus asa. “Bukan ingin atau cita-cita. Tapi terpaksa.” Begitu ujar Dessy sang dewi malam yang kutemui malam itu. Karena semua rasa penasaranku padanya membawaku terus mencari keberadaan Dessy yang akhirnya kutemui dia disebuah gang yang ramai ketika malam hari dan sepi di siang hari. “Gang kucing,” begitulah mereka menyebutnya. Pemandangan yang tak pernah kuduga sebelumnya, ternyata di tempat inilah dewi-dewi malam menebarkan rona asmara mereka, menebar spora di setiap sudut gang menyapa ramah kepada setiap kumbang yang datang. Aku juga kumbang, mana mungkin aku tak tergoda oleh madu-madu mereka. Dessy menggandeng tanganku erat, seolah kita adalah sepasang kekasih yang sedang merajut cinta. Entah apa yang kurasa, dari semua dewi-dewi yang kulihat begitu cantik, hanya Dessy yang membuat hatiku terenyuh. Aku heran mengapa mata – mata para dewi disini sangat memandang sinis kepada kami berdua cemburukah mereka?. Padahal kumbang-kumbang lain masih berterbangan siap mencari madu-madu yang manis.
“Sudahlah Mas, jangan lihat mereka, mereka selalu sirik kepadaku. Karena selalu mendapatkan kumbang jantang yang muda seperti kamu.” Dessy membuyarkan lamunanku. Ternyata persaingan dalam hal seperti inipun sudah tak asing lagi bagi Dessy, mengingat dia sudah hampir 2 tahun bergelut didunia yang kelam ini.
***
Setelah perjalanan waktu terus berlalu, dan pertemuankun dengan Dessy begitu intens yang hanya bukan di gang kucing saja kami bertemu, membuat kedekatanku dengannya semakin kuat. Entah mantra apa yang ia berikan kepadaku, hingga aku seakan tak mau meninggalkan dia. “Aku terpaksa Mas melakukan ini semua, aku hanya ingin ibu sembuh dari sakitnya.” Ujar Dessy. “Lantas tak ada jalan lain?. Kamu cantik, bisa saja kamu menjadi model.” Timpalku. “Tapi itu lama Mas, tak bisa secara instan, perlu proses yang ribet.” Jawabnya. Memang ironi gadis seperti Dessy yang hidup di negeri dinasti ini. Perlu perjuangan dan selalu membutuhkan modal jika ingin melakukan sesuatu. Ya... terkecuali melakukan hal itu. Walaupun tidak sembarang orang juga bisa memasuki gang kucing tersebut, tetap ada pajak-pajak tertentu. Namun tak seribet mengurus askes di rumah sakit besar tempat ibunya dirawat. Padahal letak gang kucing itu dekat sekali dengan daerah pemerintah kota, namun terlihat seperti terlindungi.
“Apa ibumu sekarang sudah membaik?” Tanyaku “ kondisi ibu belum kunjung membaik mas. Kalo saya tidak bekerja seperti ini, mana mungkin saya dan ibu saya bisa diterima di rumah sakit ini. Mereka selalu melihat pasien dari penampilan. Apabila penampilan kita menjanjikan, mereka mau menerima. Begitupun sebaliknya, lusuh tak terurus mereka hanya memandang kami dengan sebelah mata. Seperti memberikan isyarat kami tinggal menunggu ajal. Begitu terangnya.