Mohon tunggu...
Aosin Suwadi
Aosin Suwadi Mohon Tunggu... -

Menjajal melintas Rimba Raya Dunia Maya, dari sebuah SMA Negeri 6 di Banten

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dewi Malam

22 Februari 2015   01:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Giani Maris Amini

Selembar sarung kulemparkan kedepan muka gadis itu, berharap dia mengerti apa yang kumaksud. Seorang gadis malam dengan gontai mengenakan celana pendek merah jambu, menyusuri jalan seorang diri dengan sebotol minuman keras di tangannya. Paras cantik bak dewi malam memang menggiurkanku, namun tak meluluhkanku. Aku lelaki normal, mana mungkin tak sedikitpun hasratku untuk mencumbunya malam ini. Dia seorang diri dihadapanku dan tak berdaya pula. Pikiran binatang itu terus berkecambuk dipikiranku.

Dewi malam pun perlahan mulai sadar dengan keadaannya yang serba terbuka dihadapanku, dengan tenaga tersisa, dia mulai meraih sarung yang telah ku lemparkan tadi dan berupaya menutupi badan seadanya. Tidak telanjang bulat, namun cukup terbuka dan setiap mata lelaki mana pun akan terkesima bila melihat sang dewi malam tergolek manja didepannya. Efek minuman yang dia tenggak perlahan memudar, dia semakin segar dari keadaannya beberapa saat lalu. “Uangku.... mana uangku....?” Tiba-tiba dia berteriak. “Kau mencuri uangku ya.. kau pasti mencuri uangku..!”. Aku tak mengerti apa yang ia maksudkan, dia seakan putus asa melihat kenyataan uangnya hilang, bahkan aku tak menemukan selembar pun ketas keramat itu di sekitaran dia terbaring.

Walau angin malam membuat sarung itu sedikit demi sedikit jatuh dari tubuh gadis itu, menamppakkan kulit putih bersih mulus nyaris tak ada bekas luka. Hanya goresan merah yang terpampang di lehernya. “Mungkin gigitan nyamuk” pikirku. Tanpa ada dialog sedikit pun dia meninggalkanku sendiri yang sedang berfantasi karenanya. Lamunan yang ku bangun sedari tadi sudah setinggi langit dan hanya tinggal menyelesaikan kubah di atasnya, begitu saja runtuh. Sesal pasti kurasa, begitu bodoh lelaki sepertiku membiarkan gadis itu pergi begitu saja tanpa ada dialog yang lebih intim. Jiwa binatang ku terus mendorongku untuk mengejarnya berharap dia mengerti apa yang bisa ku lakukan untuk membantunya dengan imbalan yang setimpal. Namun kiranya jiwa manusiawiku lebih kuat, ku biarkan gadis itu pergi beralaskan kulit kakinya yang lembut tak ada ukiran sedikitpun, dengan menenteng sepatu yang seharusnya ia pakai untuk melindungi kakinya.

Aku begitu terpaku melihat sang dewi malam yang baru saja kulepaskan berjalan dengan indahnya menjauh dari diriku. Botol minuman yang telah kosong ia tinggalkan, mungkin kenang-kenangan yang ia berikan untukku. Kulihat botol itu dengan teliti, tak jauh beda dengan botol yang biasa kubeli. ”Jack Daniel” begitulah tulisan yang tercantum di botol itu. Kucium baunya masih menyisakkan wangi sang dewi malam itu, kuciumi terus sampai ku puas mencoba membangun kembali fantasi yang telah hancur tadi.

***

Dunia malam kerap menjadi pilihan bagi mereka yang putus asa. “Bukan ingin atau cita-cita. Tapi terpaksa.” Begitu ujar Dessy sang dewi malam yang kutemui malam itu. Karena semua rasa penasaranku padanya membawaku terus mencari keberadaan Dessy yang akhirnya kutemui dia disebuah gang yang ramai ketika malam hari dan sepi di siang hari. “Gang kucing,” begitulah mereka menyebutnya. Pemandangan yang tak pernah kuduga sebelumnya, ternyata di tempat inilah dewi-dewi malam menebarkan rona asmara mereka, menebar spora di setiap sudut gang menyapa ramah kepada setiap kumbang yang datang. Aku juga kumbang, mana mungkin aku tak tergoda oleh madu-madu mereka. Dessy menggandeng tanganku erat, seolah kita adalah sepasang kekasih yang sedang merajut cinta. Entah apa yang kurasa, dari semua dewi-dewi yang kulihat begitu cantik, hanya Dessy yang membuat hatiku terenyuh. Aku heran mengapa mata – mata para dewi disini sangat memandang sinis kepada kami berdua cemburukah mereka?. Padahal kumbang-kumbang lain masih berterbangan siap mencari madu-madu yang manis.

“Sudahlah Mas, jangan lihat mereka, mereka selalu sirik kepadaku. Karena selalu mendapatkan kumbang jantang yang muda seperti kamu.” Dessy membuyarkan lamunanku. Ternyata persaingan dalam hal seperti inipun sudah tak asing lagi bagi Dessy, mengingat dia sudah hampir 2 tahun bergelut didunia yang kelam ini.

***

Setelah perjalanan waktu terus berlalu, dan pertemuankun dengan Dessy begitu intens yang hanya bukan di gang kucing saja kami bertemu, membuat kedekatanku dengannya semakin kuat. Entah mantra apa yang ia berikan kepadaku, hingga aku seakan tak mau meninggalkan dia. “Aku terpaksa Mas melakukan ini semua, aku hanya ingin ibu sembuh dari sakitnya.” Ujar Dessy. “Lantas tak ada jalan lain?. Kamu cantik, bisa saja kamu menjadi model.” Timpalku. “Tapi itu lama Mas, tak bisa secara instan, perlu proses yang ribet.” Jawabnya. Memang ironi gadis seperti Dessy yang hidup di negeri dinasti ini. Perlu perjuangan dan selalu membutuhkan modal jika ingin melakukan sesuatu. Ya... terkecuali melakukan hal itu. Walaupun tidak sembarang orang juga bisa memasuki gang kucing tersebut, tetap ada pajak-pajak tertentu. Namun tak seribet mengurus askes di rumah sakit besar tempat ibunya dirawat. Padahal letak gang kucing itu dekat sekali dengan daerah pemerintah kota, namun terlihat seperti terlindungi.

“Apa ibumu sekarang sudah membaik?” Tanyaku “ kondisi ibu belum kunjung membaik mas. Kalo saya tidak bekerja seperti ini, mana mungkin saya dan ibu saya bisa diterima di rumah sakit ini. Mereka selalu melihat pasien dari penampilan. Apabila penampilan kita menjanjikan, mereka mau menerima. Begitupun sebaliknya, lusuh tak terurus mereka hanya memandang kami dengan sebelah mata. Seperti memberikan isyarat kami tinggal menunggu ajal. Begitu terangnya.

Saat kudengar cerita Dessy, yang butuh perjuangan keras hanya untuk mendapatkan haknya sangatlah kontras dengan mereka yang seenaknya menikmati fasilitas yang mewah dan berlebihan yang bukan haknya. Kehidupan di negri dinasti ini memang harus pintar-pintar mencari celah untuk menaikan harga diri dan derajat keluarga, yang bisa saja di beli oleh mereka yang berkuasa. Kami berdua hanya bisa menunggu ketika ibunya Dessy sedang diperiksa dokter. Memang menurut pernyataan Dessy, ibunya sudah 3 minggu koma, tanpa memberitahu kepadaku sebelumnya. Penyakit Leokimia yang menyerang tubuh ibu Dessy semakin lama semakin melemahkan tubuhnya.

Tiba-tiba dokter keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan pasien yang tidak lain adalah ibunya Dessy, dokter itu sangat panik dan memanggil-manggil suster yang lain supaya menyiapkan stok darah golongan AB. “Dok, stok darah AB kosong, di PMI terdekat juga tidak ada dok. Bagaimana ini?” Kata suster dengan paniknya. Dessy semakin khawatir dengan keadaan ibunya, dia sangat shock dan menangis histeris melihat keadaan ibunya yag sedang kritis. Mana mungkin aku mendonor, darahku mempunyai golongan yang berbeda. Tanpa pikir panjang Dessy langsung menyodorkan tangannya untuk diambil darahnya. Mereka mempunyai golongan darah yang sama. Pantaslah mereka kan anak dan ibu.

Setelah melewati pengecekan sebelum dambil darahnya, dokter sangat terkejut dengan hasil lab dari sample darah Dessy. “Astagfirulloh, maaf bu Dessy, anda harus banyak bersabar. Mengingat kondisi ibu Anda dan hasil lab yang kami periksa dari darah, ternyata ibu positif mengidap AIDS, mohon maaf bu!” Ujar dokter. “Apa...!” Dessy terkejut mendengar pernyataan dokter tersebut, bagaikan tersengat aliran listrik 1000 volt, dia langsung tak sadarkan diri menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap penyakit kotor tersebut. Sungguh malang nian nasib dewi malamku ini, dia harus menerima kenyataan pahit, ibunya tak bisa tertolong karena stok darah yang kosong memperlambat penanganan medis. Dan dewiku ini harus tegar pula menerima nasib untuk menghadapi penyakitnya.

Terus, bagaimana nasibku? Apakah aku akan terus bersamanya, dan menerima semua yang ada pada dirinya termasuk penyakitnya? Jujur selama ini aku belum pernah mencumbunya, mana mungkin aku juga mempunyai penyakit yang sama. Tapi aku sangat mencintainya.” Pikiran yang saat ini terus berkecambuk di kepalaku, membuatku bingung antara terus mendampinginya, atau meninggalkannya. “Mas, jangan kau pikirkan nasibku ini, selama ini kau telah banyak membantuku, sampai semua pemakaman ibupun kamu yang urusi. Sekarang dengan keadaanku ini, aku hanya tinggal menunggu waktu di mana aku harus menebus semua dosaku selama ini. Pergilah mas, carilah bunga yang mekar di pagi hari dan hanya kamulah yang akan memetiknya. Jangan cari bunga layu yang telah dipetik orang dan dibuang karena bosan.” Kata-kata dessy di sela istirahatnya.

Aku belum menanggapi perkataan Dessy. Hasratku terus ingin merawatnya, dengan semua yang aku punya dan aku bisa. Mana mungkin Dewi malam yang selalu aku kagumi, kubiarkan tergolek lemah tak berdaya sendirian. Dan sekarang rasa sayangku semakin besar padanya, sampai aku tak peduli lagi dengan semua keadaannya. Setiap hari aku selalu menghiburnya, setiap hari pula aku selalu membawakan bunga mawar merah yang sangat ia sukai, karena menurutnya menjadi sekuntum mawar merah yang segar adalah impiannya.

Penderitaanya belum berakhir, setelah dokter memeriksa untuk yang kesekian kalinya, kondisi Dessy terus memburuk, bahkan dokter berani memfonis umur Dessy tidak lama lagi. Aku dan Dessy sudah pasrah sekali dengan semua yang dikatakan dokter. Dessy pun tak menunjukkan ketakutannya, justru ia tersenyum, aku bingung sekali melihat ketegaran Dessy. “Aku tidak takut mati Mas, yang aku takutkan adalah ketika hari-hari terakhirku tanpamu dan bunga mawar merah segar itu.” Dessy tersenyum sambil memainkan mawar yang kuberi tadi pagi. “ Lantas aku sendirian? Sudah sejak lama aku menginginkanmu, sudah sejak lama aku terus mencari keberadaanmu, dan disaat kita bertemu, apakah hanya untuk dipisahkan?.” Jawabku. Dessy tak menjawab pertanyaanku, dia hanya menghela nafas dalam-dalam beberapa kali, dan tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Aku panik, dan langsung menekan tombol alarm supaya dokter melihat keadaan Dessy. Dengan cekatan dokter berusaha menenangkan Dessy akupun diminta untuk menunggu di luar.

Selama kurang lebih 10 menit aku menunggu hasil yang baik, namun Tuhan berkata lain. Dokter keluar dengan gurat sedih diwajahnya. “Maaf, pasien tidak tertolong.” Begitulah yang dia ucapkan dan langsung pergi meninggalkanku.

***

Pemakaman Dessy selesai. Aku mengingat kembali pertemuanku bersama Dessy, dan sampai akhirnya aku mengantarnya pula pada akhir kisah hidupnya. Dewi malam yang sangat aku kagumi dan aku sayangi sekarang telah pergi untuk selamanya, namun kisahnya akan selalu abadi dalam hidupku. Kisah bagaimana perjuangan seorang gadis yang rela menjadi tuna susila demi ibunya yang menurutku sangat jauh lebih baik dari kisah para penikmat harta di negri Dinasti ini. Setiap hari aku tak lupa mengantarkan setangkai mawar merah yang selalu ia sukai ke tempat di mana dia akan menenukan kedamaian dan jauh dari hiruk pikuk tuntutan dan tanpa menyaksikan lagi penguasa yang berfoya-foya menikmati semua yang bukan sebagai haknya.
SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun