Dalam hati, aku tertawa, ketika seorang ibu berpikir demikian.
"Itu semua sudah lewat, sudah sangat lama."
"Kamu terlalu banyak nuntut, banyak omong, kamu memang pembangkang dari kecil." Selalu kalimat itu yang mereka ulang.
"Seorang anak berkata jujur kepada orang tuanya dianggap pembangkang, disebut durhaka. Lalu, orang tua sendiri bagaimana? Apa kewajibannya anak? Pendidikan seperti inikah yang diajarkannya?"
Lalu, ibuku makin marah. Dia memosisikan diri jadi korban di sini. Siapa yang salah? Siapa yang memulai? Aku yang pembangkang atau mereka yang otoriter?
Di satu sisi, aku lega karena untuk sementara terlepas dari ucapan yang selalu menyakitkan hati. Namun, aku sadar, di sisi lain mereka adalah orang tuaku.
Ibu selalu melibatkan Bapak ketika bermasalah dengan anaknya. Akibatnya, anak-anak yang selalu kena hantam tangan atau barang lain.
Aku merasa jadi pendosa. Bagi mereka, aku ini iblis. Namun, lihatlah luka yang aku rasakan.
Aku tak butuh disebut malaikat atau pembenar, tetapi jujur aku berusaha waras tanpa mengeluh.
Aku berpikir, apa mereka akan merasa kehilangan dan lebih menyayangi ketika aku mati?
Sebenarnya, yang kualami ini tak beda jauh dengan perlakuan mereka terhadap kakakku yang sulung. Perlakuannya juga tidak lebih baik. Namun, kakakku itu pendiam, apa pun ia terima.