Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Aku Anakmu

9 April 2022   12:27 Diperbarui: 9 April 2022   12:30 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Pixabay. Com

Sore itu, aku termenung mengingat semua kejadian. Dari semua yang telah kulakukan, seolah tak peronah benar di matanya. Aku tak pernah minta dilahirkan dari rahimnya, tetapi mengapa selalu aku yang disalahkan?

Kelahiranku seperti sebuah aib, yang tak seharusnya terjadi dan harus disembunyikan. Bahkan, dienyahkan jika perlu.

Bisakah hal itu terhenti ketika aku telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri? Nyatanya tidak. Bagi  Ayah dan Ibu,  aku tak lebih dari beban yang memberatkan hidup mereka.

Aku berpikir keras, mencari tahu dan berusaha memahami alasan orang tuaku sampai berkata begitu. Mungkin, mereka kecewa dengan hubungannya yang dulu. Atau mungkin, jenis kelamin yang tak sesuai dengan harapan mereka, atau ada alasan lainnya?

Ketika menginjak remaja dan memasuki dewasa, aku juga sudah berusaha mencari tahu, kenapa orang tuaku sampai tega berkata seperti itu. Harusnya kami saling bicara, mencari solusi dari semua masalah. Namun, nyatanya apa? Hanya umpatan yang selalu kuterima.

Sebenarnya, aku telah memaklumi kenapa mereka sampai berkata begitu. Sebaliknya, mereka pun harusnya juga menyadari, kenapa aku yang tak bersalah harus menerima perlakuan kasarnya.

 Aku anaknya, bukan tempat melampiaskan kecewa. Namun, sepertinya memang sulit kalau tak ada pihak ketiga yang menengahi. Semua itu wajib dicoba.

Aku selalu mencoba untuk bahagia, yang kelihatannya baik-baik saja, tetapi sebenarnya hatiku telah mati. Hampir dua puluh lima tahun aku mencoba melupakan, tetapi nyatanya, ucapan itu masih membekas.

Aku tak seharusnya menyimpan dendam. Bagaimanapun juga, ia orang tuaku. Aku ada karena mereka. Seburuk apa pun perlakuannya, mereka juga yang sudah membesarkan aku.

Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, aku selalu dibanding-bandingkan. Anak pertama perempuan, dia kalem, baik, dan penurut. Bahkan, saking menurutnya, setiap perlakuan orang tua yang semena-mena pun diterimanya.

Orang tuaku tipe orang tua yang ringan tangan, omongannya juga pedas. Takut anaknya mati, tetapi bisanya hanya marah-marah kalau anaknya sakit. Kalau belum parah, tak akan diantar ke klinik atau rumah sakit untuk diobati.

 Sementara, aku tipe anak yang tomboy, tak bisa ditekan dan selalu mengemukakan pendapatku ketika merasa tidak setuju. Otomatis, bagi mereka aku adalah anak pembangkang dan tak bisa diatur.

Bagiku, selalu dibandingkan, dicemooh bahkan disebut sampah atau aib sekali pun, itu sudah seperti sayur dan lauknya, intinya sering sekali.

Jujur, aku paling tak suka kalau ibuku sudah bilang, "Kamu, tuh, gak bisa, ya, gak bikin orang tua malu? Penyakitan, pembangkang, dan gak berguna."

Kalau tak ingat mereka orang tuaku, ingin rasanya aku bilang, "Anjink!"

Percayalah, sebenarnya aku adalah anak yang cepat tanggap, cuma aku tipe pendendam. Mungkin mereka tak sadar dengan karakterku karena bagi mereka anak berprestasi itu ya yang penurut.

Kakakku, rangking lima di sekolah, sedangkan aku tanpa belajar saja rangking dua. Itu bagi mereka sampah.

 Suatu hari, ketika ada konflik dengan Ibu, aku sendiri lupa awalnya bagaimana yang jelas waktu itu bukan kesalahanku. Namun, aku yang dimakinya.

Spontan saja aku menjawab, "Kenapa kalian nggak bunuh saja aku sekalian? Biar kalian puas! Capek aku selalu dibandingin mulu!"

Merasa diserang, mereka pun menjawab, "Kalo saja nggak ingat ada penjara, sudah dari dulu kamu Ibu bunuh. Rugi punya anak pembangkang seperti kamu!"

Masih ingat rasanya waktu itu, sakit, tetapi tak bisa menangis. Rasanya sekarat, tetapi nyawa enggan melayang. Sejak saat itu, mereka selalu bilang kalimat laknat itu setiap marah.

 Aku memutuskan hal besar dalam hidupku. Seorang Audrey harus hidup di jalannya sendiri.

 Aku makin memberontak, makin tak tahu aturan. Namun, prestasiku tetap bagus, tetapi bagi mereka hal itu tetap sampah.

 Aku masuk sekolah dasar di usia yang belum genap enam tahun. Dan semua kekerasan atau kejadian menyakitkan itu mulai saat aku kelas satu. Bisa kebayang bukan? Bagaimana hancurnya aku.

Mungkin masalahnya karena pendidikan orang tuaku yang rendah. Namun, ada temanku yang orang tuanya malah buta huruf, tetapi tidak begitu juga pola mengasuh anak-anaknya. Bisa jadi  orang tuaku  tak begitu paham dengan mendidik anak, sehingga kalimat apa yang seharusnya diucapkan dan bagaimana memperlakukan aku dengan baik mereka tak tahu.

Awalnya aku berpikir begitu. Sejujurnya, aku berusaha mengerti mereka beberapa tahun terakhir, tetapi apa katanya?

"Halahh, kamu loh pembangkang, wajar kalo kamu digituin."

Lagi-lagi, aku merasa tersudut.

"Seorang anak tak meminta dilahirkan, seorang anak tak bisa memilih lahir dari rahim siapa. Aku juga nantinya jadi seorang ibu yang tahu betapa susahnya melahirkan, mendidik bahkan melindungi anaknya. Tapi, tak pernah terbersit sedikit pun menganggap mereka beban. Karena yang menentukan saat aku hamil ya aku sendiri. Bukan begitu, Bu?"

Ibuku hanya diam. Aku berpikir sesaat. Tiba-tiba, di luar keinginanku, mulutku melemparkan kata-kata.

"Seorang anak, tak pernah berhutang pada orang tuanya, tetapi orang tua yang berhutang pada anaknya karena telah dengan suka rela menjadi pelengkap hubungannya. Itu pemikiranku."

 Akibat ucapanku, beliau memojokkan lagi dengan berkata, "Ga ada waktu untuk ndidik kamu, kami sibuk cari duit buat makan. Kamu marah karena gak disekolahin kan?"

Dalam hati, aku tertawa, ketika seorang ibu berpikir demikian.

"Itu semua sudah lewat, sudah sangat lama."

"Kamu terlalu banyak nuntut, banyak omong, kamu memang pembangkang dari kecil." Selalu kalimat itu yang mereka ulang.

"Seorang anak berkata jujur kepada orang tuanya dianggap pembangkang, disebut durhaka. Lalu, orang tua sendiri bagaimana? Apa kewajibannya anak? Pendidikan seperti inikah yang diajarkannya?"

Lalu, ibuku makin marah. Dia memosisikan diri jadi korban di sini. Siapa yang salah? Siapa yang memulai? Aku yang pembangkang atau mereka yang otoriter?

Di satu sisi, aku lega karena untuk sementara terlepas dari ucapan yang selalu menyakitkan hati. Namun, aku sadar, di sisi lain mereka adalah orang tuaku.

Ibu selalu melibatkan Bapak ketika bermasalah dengan anaknya. Akibatnya, anak-anak yang selalu kena hantam tangan atau barang lain.

Aku merasa jadi pendosa. Bagi mereka, aku ini iblis. Namun, lihatlah luka yang aku rasakan.

Aku tak butuh disebut malaikat atau pembenar, tetapi jujur aku berusaha waras tanpa mengeluh.

Aku berpikir, apa mereka akan merasa kehilangan dan lebih menyayangi ketika aku mati?

Sebenarnya, yang kualami ini tak beda jauh dengan perlakuan mereka terhadap kakakku yang sulung. Perlakuannya juga tidak lebih baik. Namun, kakakku itu pendiam, apa pun ia terima.

Mungkin, sekarang mereka merasa masih kuat dan belum butuh kami, anak-anaknya. Akan tetapi, suatu saat mereka akan menyesal telah salah memperlakukan kami.

 Tuhan, tolong lembutkan hatinya. Bukalah pikirannya. Bukankah Kau selalu mengabulkan doa setiap hamba-Mu?

Berikan mereka pemahaman. Berikan mereka pengertian. Anak bukanlah tempat melampiaskan emosi.

Di bulan Ramadhan ini, aku mohon hidayah-Mu, Tuhan. Di bulan yang mulia ini, aku mohon petunjuk-Mu. Rahmati kami, berkahi kami, ya Allah.

 Engkau yang telah kuasa menciptakan hatinya, Engkau juga yang bisa melembutkannya. Dari-Mu kami berasal, dan kepada-Mu jua kami kembali.

Jadikan Ramadhan tahun ini sebagai pembuka pintu maaf bagi kami. Jadikan hikmah Ramadhan ini menjadi titik balik bagi kami agar saling menyayangi layaknya orang tua dan anak. Jadikan semua ini pelajaran berharga dan saling mengoreksi diri, untuk berubah dan benar-benar kembali fitri. Aamiin.

Ilustrasi gambar oleh Pixabay. Com
Ilustrasi gambar oleh Pixabay. Com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun