Orang tuaku tipe orang tua yang ringan tangan, omongannya juga pedas. Takut anaknya mati, tetapi bisanya hanya marah-marah kalau anaknya sakit. Kalau belum parah, tak akan diantar ke klinik atau rumah sakit untuk diobati.
 Sementara, aku tipe anak yang tomboy, tak bisa ditekan dan selalu mengemukakan pendapatku ketika merasa tidak setuju. Otomatis, bagi mereka aku adalah anak pembangkang dan tak bisa diatur.
Bagiku, selalu dibandingkan, dicemooh bahkan disebut sampah atau aib sekali pun, itu sudah seperti sayur dan lauknya, intinya sering sekali.
Jujur, aku paling tak suka kalau ibuku sudah bilang, "Kamu, tuh, gak bisa, ya, gak bikin orang tua malu? Penyakitan, pembangkang, dan gak berguna."
Kalau tak ingat mereka orang tuaku, ingin rasanya aku bilang, "Anjink!"
Percayalah, sebenarnya aku adalah anak yang cepat tanggap, cuma aku tipe pendendam. Mungkin mereka tak sadar dengan karakterku karena bagi mereka anak berprestasi itu ya yang penurut.
Kakakku, rangking lima di sekolah, sedangkan aku tanpa belajar saja rangking dua. Itu bagi mereka sampah.
 Suatu hari, ketika ada konflik dengan Ibu, aku sendiri lupa awalnya bagaimana yang jelas waktu itu bukan kesalahanku. Namun, aku yang dimakinya.
Spontan saja aku menjawab, "Kenapa kalian nggak bunuh saja aku sekalian? Biar kalian puas! Capek aku selalu dibandingin mulu!"
Merasa diserang, mereka pun menjawab, "Kalo saja nggak ingat ada penjara, sudah dari dulu kamu Ibu bunuh. Rugi punya anak pembangkang seperti kamu!"
Masih ingat rasanya waktu itu, sakit, tetapi tak bisa menangis. Rasanya sekarat, tetapi nyawa enggan melayang. Sejak saat itu, mereka selalu bilang kalimat laknat itu setiap marah.