Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menuai Polemik, PPDB Syarat Usia Perlu Ditinjau Ulang

26 Juni 2020   21:40 Diperbarui: 27 Juni 2020   06:00 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orangtua murid mengelar aksi di depan Gedung Balaikota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (23/6/2020) (Sumber: Tribunnews/Herudin)

Rasanya sudah bukan zamannya lagi membahas PPDB dengan syarat usia. 

Semakin hari orangtua semakin cerdas mendidik putra-putrinya, gizi pun dipenuhi dengan segala macamnya. Tak heran jika masih kecil anak-anak sudah pandai membaca atau bersekolah. 

Namun, jika masih ada sekolah yang mensyaratkan umur sebagai cara untuk memilih siswa-siswinya, perlu kita tinjau lagi peraturan tersebut. Sudah benarkah menetapkan aturan seperti itu? 

Jika faktor psikologis sebagai pertimbangannya, tidak semua siswa mempunyai latar belakang yang sama, lho. Ada yang masih sedikit umurnya tetapi mampu berpikir luas. Akan tetapi ada juga yang umurnya sudah dewasa tetapi cara berpikirnya masih seperti anak kecil. 

Sebatas pengetahuan saya, dengan adanya syarat masuk SD umur 7 tahun pertimbangannya agar anak mampu menerima pelajaran dan tugas di sekolah dengan baik. Namun, hal itu bukan jaminan anak tersebut akan jadi siswa cerdas, pandai atau teladan bukan? 

Murid sekolah (Sumber: JhonDl@pixabay.com)
Murid sekolah (Sumber: JhonDl@pixabay.com)
Sebaliknya, saat masuk SD usia masih 5 tahun, tetapi ia sanggup mengerjakan tugas dan nilainya mampu mengalahkan siswa yang umurnya banyak, apa akan diskriminasi karenanya? 

Hal ini saya alami sendiri, maaf bukan bermaksud sombong, tetapi bagi saya bisa jadi acuan. Putri pertama saya sebelum umur tiga tahun sudah lancar berbicara. Banyak pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan hal baru yang ditemuinya. 

Merasa kewalahan, saya pun memasukkannya ke sebuah play group agar mendapat teman dan bermain serta bereksplorasi sesuai kemampuannya. Ternyata dia bisa mengimbangi temannya yang usianya lebih tinggi darinya. 

Saya tidak punya target apa pun selain anak saya bisa mendapatkan informasi dan bermain menambah wawasannya. Bukannya usia golden age harus dimanfaatkan?

Tidak sampai di situ, saat usianya lima tahun dia sudah ingin menambah pengetahuannya dengan masuk SD, TK aja belum lulus. Tentu awalnya saya tidak menghiraukan, tetapi melihat niatnya yang sungguh-sungguh agar bisa sekolah bareng teman mainnya di rumah, ia merengek dan menangis minta didaftarkan. 

Pendek kata, demi kemajuan anak saya akan selalu mendukung. Dan ternyata banyak sekali kebetulan yang dialami putri saya ini. Dia bisa terpilih ikut akselerasi saat SD, jadi hanya 5 tahun menempuh SD. Lulus pun nilainya memuaskan dan diterima di SMP negeri favorit di Sidoarjo dengan jalur tes, selain juga dia mampu menghafal hampir 3 Juz. 

Saat di bangku SMP, nilainya juga tidak mengecewakan meskipun tidak terpilih lagi untuk program akselerasi. Lulus pun nilainya urutan kedua tertinggi di sekolahan. Bagi saya sudah lebih dari cukup untuk anak seusia dia dengan pencapaian sebanyak itu. 

Memasuki SMA, saya baru berpikir memindahkan sekolahnya ke Surabaya agar mendapat sekolah yang terbaik untuknya. Bukan berarti karena di Sidoarjo sekolahnya kurang bagus, tetapi kalau dia bisa bersaing dengan yang lain untuk mendapat yang terbaik, kenapa enggak? 

Dengan nilainya yang tinggi dan cara pendaftaran yang fair, akhirnya dia diterima dan masuk di salah satu SMA favorit di Surabaya, ya SMA 5. Baru lulus tahun ini, di usianya yang baru 16 tahun. Hebat kan? Belum apa-apa, karena ada yang usia 17 tahun sudah dokter. 

Dari situ saya berpikir, usia sedikit harusnya bukan halangan bagi anak mendapatkan pendidikan yang terbaik. Usia banyak juga bukan jaminan anak sukses menyelesaikan semua mata pelajaran.

Di atas yang saya ceritakan anak pertama saya, sedang anak yang kedua maunya saya samakan caranya. Tetapi tidak bisa karena ternyata kemampuannya beda. Dan saya nggak bisa memaksakan itu. 

Jadi, jika ada sekolah yang mensyaratkan umur sebagai patokan, sangat disayangkan sekali. Hak anak mendapat pelajaran yang sesuai dengan kemampuannya jadi dikebiri. 

Bisa jadi itu hanya terjadi pada beberapa anak saja, tetapi tiap anak juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama kan? Kenapa harus menunggu yang lain jika dia bisa menyelesaikan dalam waktu yang lebih cepat?

Jika persyaratan usia diberlakukan untuk masuk SD, mungkin masih bisa dimaklumi. Agar anak lebih mandiri dan tidak minta ditungguin orangtua. Namun jika persyaratan itu digunakan untuk jenjang SMP atau SMA, ya nggak fairlah! 

Paling mentog, anak tidak bisa masuk sekolah negeri larinya ke swasta, apa semua orangtua mampu menyekolahkan anaknya ke swasta? Pertimbangan dasar memilih sekolah negeri karena biayanya murah, apalagi jika sekolahnya bagus. 

Pendidikan sejak dini (Sumber: Sasint@Pixabay.com)
Pendidikan sejak dini (Sumber: Sasint@Pixabay.com)
Dengan adanya sistem zonasi pun sebenarnya banyak siswa yang dirugikan lho. Bagi mereka yang nilainya tinggi dan tinggalnya jauh dari sekolah, pasti gagal masuk sekolah negeri. Sebaliknya, meskipun nilainya jelek sekali pun tapi tinggal dekat sekolah, pasti dapat sekolah negeri. 

Masih bagus jika ada kebijakan menyaring nilai tinggi untuk bisa masuk sekolah negeri dengan kuota tertentu, dan yang lainnya sistem zonasi. Jadi masih ada harapan bagi anak-anak yang tinggalnya jauh dari sekolah negeri bisa masuk melalui saringan nilai. 

Namun hal ini nanti akan menimbulkan masalah di pihak sekolah. Di mana selisih nilai antara zonasi dan yang ikut saringan nilai sangat jauh. Akan ada beda percepatan dalam penerimaan materi pelajaran. Bisa sih dibedakan kelasnya, tetap akan terlihat kesenjangannya. 

Usul saja, semoga tulisan ini bisa sampai ke Mas Nadiem, beri kesempatan anak untuk bersaing nilai melalui PPDB menggunakan tes potensi akademik seperti yang pernah putri saya ikuti tahun lalu. 

Bagi yang ingin menuju ke sekolah favoritnya, beri kesempatan tes untuk masuk tanpa adanya embel-embel zonasi. Dan bagi yang dekat dengan sekolah negeri beri kesempatan melalui zonasi melalui pertimbangan jangan hanya berdasarkan jarak kilometer, nilai tetap jadi pertimbangan. 

Dengan bersaing secara fair, anak-anak pun akan terbiasa bersaing dengan sehat. Mereka akan mempersiapkan segalanya jauh lebih baik. Menyadari jika memang harus kalah dengan sportif. 

Orangtua juga biar belajar, uang bukan jaminan anaknya mendapat sekolah favorit. Tak ada istilah titipan atau siluman. Sudah jadi rahasia rahasia umum kan ini? 

Jadi, PPDB yang sehat adalah PPDB yang fair, bersaing secara transparan. Toh, zonasi juga tidak mengurangi angka kemacetan, jika itu pertimbangan awalnya. Bagi yang tidak diterima di sekolah di dekat tinggalnya tetap akan memilih sekolah swasta favoritnya. 

Masih mending jika itu anak orang mampu. Nah, jika itu anak kurang mampu? Apalagi adanya pandemi menyebabkan gelombang PHK pelan-pelan mulai mendekat. Jadi, mohon ditinjau lagi. 

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun